Pendapat ulama dalam hal menentukan permulaan wajib haji
tidak sama, sebagian mengatakan pada tahun keenam Hijriah, yang lain mengatakan
pada tahun kesembilan Hijriah.
Haji diwajibkan atas orang yang kuasa, satu kali seumur
hidup. Firman Allah SWT:
وَلِلَّهِ
عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ
مَنِ ٱسۡتَطَاعَ
إِلَيۡهِ
سَبِيلٗاۚ
Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Ali Imran : 97)
Sedangkan hadis Rasulullah menjelaskan bahwa:
بُنِيَّ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ
لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَاِقَامِ الصَّلَاةِ
وَاِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحِجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانِ
Islam itu ditegakkan di atas lima dasar: (1) Bersaksi bahwa tidak ada tuhan
yang hak (patut disembah) kecuali allah dan bahwa sannya Nabi Muhammad itu
utusa Allah, (2) Mendirikan Shalat yang limawaktu, (3) membayar zakat, (4)
Mengerjakan haji ke baitullah, (5) berpuasa dalam bulan ramadhan (Muttafaq Alaih)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ خَطَبناَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَااَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ
عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوْا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ ياَ رَسُوْلَ اللهِ
فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهاَ ثَلاَثاً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمْ اِسْتَطَعْتُمْ ذَرُوْنِى مَا تَرَكْتُكُمْ
(رواه احمد والنسائي ومسلم)
Dari Abu Hurairah “Rasulullah SAW telah berkata dalam pidato beliau, “hai
manusia! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu mengerjakan ibadah haji,
maka hendaklah kamu kerjakan.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah tiap tahun, ya
Rasulullah?” beliau dian tidak menjawab, dan yang bertanya itu mendesak sampai
tiga kali, Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Kala saya jawah “ya” sudah tentu
menjadi wajib tiap-tiap tahun, sedangkan kamu tidak akan kuasa mengerjakannya,
biarkanlah saja apa yang saya tinggalkan (artinya jangan ditanya, karena boleh
jadi jawabannya memberatkan kamu (Riwayat Ahmad, Muslim, dan Nasa’i)
Ibadah haji itu wajib segera dikerjakan, artinya, apabila
orang tersebut telah memenuhi syarat-sayaratnya, tetapi masih dilalaikannya
juga (tidak dikerjakannya pada tahun itu), maka ia berdosa karena kelalaiannya.
Sabda Rasulullah SAW:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعَجَلُوْا اِلَى الْحَجِّ فَاِنَّ اَحَدُكُمْ لاَ يَدْرِى
مَا يُعْرِضُ لَهُ (رواه احمد)
Dari Ibnu Abbas, Nabi Besar SAW telah berkata, “Hendaklah kamu bersegera
mengerjakan haji karena sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari suatu
halangan yang akan merintanginya.” (Riwayat Ahmad).
A. Miqat
1. Pengertian Miqat
Miqot adalah batas bagi
dimulainya Ibadah Haji atau Umrah (batas-batas yang telah
ditetapkan). Apabila melintasi Miqat, seseorang yang ingin mengerjakan Haji
atau Umrah perlu mengenakan kain Ihram dan melakukan Niat.
Miqat secara harfiah berarti batas yaitu garis demarkasi
atau garis batas antara boleh atau tidak, atau
perintah mulai atau berhenti, yaitu kapan mulai melapazkan Niat dan maksud
melintasi batas antara Tanah Biasa dengan Tanah Suci.
Sewaktu memasuki Tanah
Suci itulah semua jama’ah harus berpakaian Ihram dan mengetuk pintu perbatasan
yang dijaga oleh penghuni – penghuni surga. Ketuk pintu atau salam
itulah yang harus diucapkan Talbiyah dan keadaan berpakaian Ihram. Miqat yang dimulai dengan pemakaian pakaian
ihram harus dilakukan sebelum melintasi batas yang dimaksud.
2. Macam-macam Miqat
Miqat
dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Miqat Zamaniyah (Waktu)
Miqat zamaniyah adalah beberapa bulan yang telah ditentukan dimana tidak
boleh berihram untuk haji kecuali dalam bulan-bulan tersebut, yaitu bulan
syawal, Dzulqa’idah dan sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Siang hari nahar (IdulAdha) termasuk kedalamnya. Demikian menurut
pendapat Hanafi dan Maliki. Hambali berpendapat: Miqat Zamaniyah adalah bulan syawal,
Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Syafi’i berpendapat: Miqat Zamaniyah adalah bulan
syawal, Dzulqa’dah, dan sepuluh malam pertama bulan
Dzulhijjah.
Jika seseorang berihram untuk haji
pada bulan selain pada bulan-bulan yang tadi, maka hukumnya makruh, tetepi
hajinya tetap sah. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali.
Sedangkan pendapat yang paling sahih dari syafi’I adalah ihramnya jadi ihram
umrah, tidak sah untuk ihram haji. Dawud
berpendapat: Tidak sah untuk haji dan tidak sah untuk umrah.
b. Miqat Makaniyah (Tempat)
Miqat makaniyah adalah tempat-tempat
yang
telah ditentukan untu berihram. Bagi penduduk makkah, miqat makaniyah adalah
kota makkah itu sendiri. Sedangkan bagi orang yang tempat tinggalnya jauh dari
miqat, maka jika ia kehendaki, ia boleh memulai ihramnya dari rumahnya dan
boleh juga dari miqat. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab.
3. Ketentuan-ketentuan Miqat
a. Miqat Zamaniyah (Waktu)
Syafi’i berpendapat bahwa jika seseorang berihram untuk haji pada bulan
selain pada bulan-bulan yang tadi, maka hukumnya makruh, tetepi hajinya tetap
sah. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan pendapat
yang paling sahih dari syafi’i adalah ihramnya jadi ihram umrah, tidak sah
untuk ihram haji. Dawud
berpendapat: Tidak sah untuk haji dan tidak sah untuk umrah.
Adapun batas
yang ditentukan berdasarkan waktu, Miqat Zamani disebut dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah
ayat 189 dan 197.
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
“Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan [bagi ibadat] haji;
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya akan tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu beruntung. (189)
[Musim] haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka
tidak boleh rafats berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan,
niscaya Allah mengetahui nya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (197)
Ayat
pertama menjelaskan kedudukan bulan sabit sebagai tanda waktu bagi manusia dan
Miqat bagi jama’ah haji.
Sedangkan ayat kedua
menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan Bulan – Bulan Haji atau waktu haji
adalah beberapa bulan tertentu.
Para Ulama
sepakat bahwa bulan yang dimaksud adalah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijah.
Yaitu mulai dari tanggal 1 syawal s/d 10 Zulhijah, yang jumlah
keseluruhannya adalah 69 hari. akan tetapi untuk bulan Zulhijah masih ada
perbedaan pendapat apakah seluruh atau sebagian saja.
Bagi Haji,
Miqat bermula pada bulan Syawal sampai terbit fajar tanggal 10 Zulhijah
yaitu ketika Ibadah Haji dilaksanakan. Sedangkan untuk Umrah, Miqat bermula pada sepanjang
tahun pada waktu Umrah dapat dilakukan.
b. Miqat Makaniyah (Tempat)
Para imam mazhab
berbeda pandapat tentang mana yang lebih utama dalam memulai ihram. Hanafi
berpendapat: yang lebih utama adalah dari rumahnya.
Pendapat hanafi ini
sama dengan pendapat asy-syafi’i yang paling sahih manurut pendapat yang
dilakukan oleh ar-Rafi’. Maliki dan Hambali berpendapat:
Meulainya dari miqat adalah lebih utama. Ini juga salah satu pendapat syafi’I
yang dianggap paling sahih oleh an-Nawawi.
Pendapat inilah yang sesuai dengan hadis sahih:
الموا
قيتا لمعروفة لاهلها ولمن مر عليها من غير هم
Miqat-miqat
yang sudah dikenal itu adalah untuk ahlinya (makkah) dan untuk orang yang
datang ke makkah yang bukan ahlinya.
Hukum ini menjadi kesepakatan para ulama.
Barang siapa yang telah sampai pada miqat dengan
maksud berhaji, maka ia tidak boleh melewatinya dengan tidak melaksanakan
ihram. Jika ia melewatinya dengan tidak ihram, maka ia harus kembali lagi ke
miqat untuk berihram. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab.
An-Nakha’I dan al-Hasan al-Basri berpendapat : Ihram
dan miqat itu tidak wajib hukumnya. Apabila ia tidak kembali ke miqat karena
tempat itu berbahaya untuk waktunya sudah sempit, maka ia harus membayar dam
untuk melewati miqat tanpa ihram tersebut. Demikian menurut kesepakatan
para imam mazhab. Sa’id bin Jubair berpendapat: ihramnya tidak sah jika tidak
dari miqat.
Orang yang memasuki kota makkah tanpa berihram, maka
ia tidak diharuskan mengqada. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i, Hambali. Hanafi berpendapat:
diharuskan mengqadanya kecuali ia penduduk makkah, maka tidak wajib.
Semua Miqat ditetapkan langsung oleh Nabi sebagaimana
disebutkan disebutkan dalam hadis-hadis Bukhari, Muslim dll. Namun untuk miqat
Zatu Irqin terdapat dua riwayat.
Menurut Bukhari miqat ini ditetapkan oleh Umar bin
Khatab, sedangkan menurut riwayat Abu Daud miqat ini ditetapkan oleh Rasulallah.
Ada lima tempat agak jauh dari Kota Suci Makkah yang peziarah tidak boleh
menyeberang sebelum mereka berada dalam keadaan Ihram jika mereka bermaksud
untuk memasuki Masjid Al-Haram untuk Haji atau Umrah.
Batas-batas
disebut Miqats dan lima batas telah ditentukan oleh Nabi Muhammad.
Beberapa ditambahkan kemudian untuk kenyamanan peziarah dari India dan
tempat asal lebih ke timur.
1)
Dhu’l-Hulayfah –
(450km)
Masjid Zulhulaifah sekitar 9
kilometer dari Madinah dan sekitar 450 kilometer dari Makkah. Miqat bagi para
jemaah yang datang dari arah Madinah menuju ke Makkah untuk menunaikan umrah
ataupun haji. Juga dikenali dengan nama Bir Ali.
Al-Juhfah
(sebelumnya Mahya’ah) adalah salah satu dari lima Miqat Makani dalam berhaji
yang biasa digunakan penduduk Arab Saudi bagian utara dan negara-negara Afrika
Utara dan Barat, serta penduduk negeri Syam (Lebanon, Yordania, Syiria, dan
Palestina). Miqat ini
terletak 22 km tenggara kota Rabigh.
3)
Dzatu Erq / Dhat Irq / Zatu Irqin
– (94km)
Miqat ini
adalah sekitar 85 kilometer menuju sisi timur laut Mekah.Ini adalah miqat bagi
rakyat Iran, Irak dan bagi mereka yang datang dari arah itu.
4)
Yalamlam –
(54km)
Yalamlam adalah sebuah kota di
Provinsi Mekkah Arab Saudi di Lembah Yalamlam. Ini terletak 125 km Tenggara
Mekah dan 125 km Timur Jeddah Saudi Aramco Kilang. Para peziarah yang datang dari
negara-negara timur seperti : Yaman, Indonesia, Singapore, Malaysia.
5) Qornul Manazil – (94km)
Qarn al-Manazil : Miqat ini adalah
tempat yang berbukit sekitar 90 kilometer di sebelah timur Makkah. Ini adalah miqat bagi penduduk Nejd
/ bagi mereka yang datang dari arah itu. Bagi mereka yang tinggal
di Makkah. Tempat untuk Ihram Haji adalah Makkah itu sendiri (rumah sendiri). Untuk
Umrah ialah keluar dari tanah Haram Makkah yaitu sebaiknya.
B.
Ihram
1.
Pengertian Ihram
Kata Ihram diambil dari bahasa arab, dari kata “Al-haram”
yang bermakna terlarang atau tercegah.
Dinamakan ihram karena seseorang yang masuk kepada kehormatan ibadah haji
dengan niatnya. Dia
dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima’, menikah,
berucap ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini dapat diambil satu
definisi syar’i bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji
dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan.
2.
Tata Cara Ihram
Telah diketahui bersama bahwa seorang yang berniat
melakukan haji atau umrah, diharuskan mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam melaksanakan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh
hadits-hadits yang shohih, sebagai pengamalan dari hadits Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ
“Ambillah dariku manasik kalian”.
Adapun tata
cara yang dicontohkan oleh Nabi SAW antara lain:
a.
Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan
perempuan, baik dalam keadaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu.
b.
Disunnahkan memakai minyak
wangi ketika ihram.
c.
Mengenakan dua helai kain
putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
d.
Disunahkan berihram setelah
shalat.
e.
Berniat untuk melaksanakan
salah satu dari tiga manasik, dan niat tersebut disunnahkan untuk diucapkan.
f.
Memilih salah satu dari
bentuk ibadah haji : Ifrad – Qiran – Tamatu’
Seorang
yang manasik ifrad mengatakan: لَبَيْكَ
حَجًا atau لَبَيْكَ
الَّلهُمَّ حَجًّا
Seorang
yang manasik tamatu’ mengatakan : لَبَيْكَ عُمْرَةً
atau لَبَيْكَ
الَّلهُمَّ عُمْرَةً
ketika
hari Tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan : لَبَيْكَ
حَجًّا atau لَبَيْكَ
الَّلهُمَّ حَجًّا
sunnah
yang manasik Qiran menyatakan : لَبَيْكَ
عُمْرَةً و حَجًّا
j.
Talbiyah yaitu membaca :
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ
لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ
وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
3.
Pakaian Ihram
Pakaian ihram pria terdiri dari dua lembar kain, sehelai
melilit tubuh mulai dari pinggang hingga dibawah lutut dan sehelai lagi
diselempangkan mulai dari bahu kiri kebawah ketiak kanan. Pria itu tidak boleh mengenakan
celana, kemeja, tutup kepala dan juga tidak boleh menutup mata kaki.
Bagi
wanita pakaian ihram lebih bebas tetapi disunatkan yang berwarna putih, yang
penting menutup seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan mereka, yang
penting tidak ada jahitan.
·
Lengan baju mesti sepanjang pergelangan tangan
·
Kerudung yang digunakan harus panjang,
·
Tidak jarang serta menutupi bagian Dada Baju,
·
Gaun atau rok harus sepanjang tumit,
·
Memakai Kaos kaki
·
Sepatu sebaiknya tidak bertumit dan terbuat dari karet.
4.
Larangan dalam Berihram
Pada saat Ihram jama’ah dilarang melakukan perbuatan
sebagai berikut :
·
Menebang pepohonan.
·
Mempermainkan atau membunuh
binatang
·
Memotong kuku
·
Menikah, menikahkan
(melamar)
·
Melakukan hubungan Seks
atau bercumbu
·
Berbicara kotor
·
Bertengkar dan
·
Mencaci maki.
Dengan demikian mereka harus bersabar sampai tiba waktu
Tahallul. Apabila melanggar salah satu ketentuan diatas maka jamma’ah
diwajibkan membayar Dam atau denda.
Adapun hal-hal yang
tidak diharamkan dalam berikhram antara lain adalah:
·
Mengenakan arloji, kacamata, sabuk uang, cincin, kacamata
hitam.
·
Mandi atau mandi dengan sabun diberi wewangian dan lembut
untuk mencuci dan menggaruk kepala dan tubuh seseorang, bahkan jika mungkin
rambut rontok
·
Mengubah seseorang garmen Ihraam, melepaskan pakaian Ihraam
tidak meniadakan keadaan Ihraam.
·
Memiliki hunian di atas kepala seseorang, baik di dalam
mobil, di bawah payung, atau di tenda atau gedung.
·
Menutup kaki (tapi tidak kepala mereka) saat tidur, dengan
mereka Ihraam atau selimut.
5.
Etika dalam Berihram
Adapun etika-etika dalam berikhram yaitu:
·
Hindari berjalan-jalan dengan hanya bagian bawah Ihraam
Anda.
·
Jaga bahu kanan ditutupi (kecuali saat Tawaf)
·
Hindari melempar akhir ‘kehilangan’ dari Ihraam Anda
melewati bahu Anda, karena Anda mungkin ‘memukul’ orang di belakang Anda di
wajah.
·
Jaga Anda Ihraam bersih dan tidak menggunakannya sebagai
kain untuk menyeka tangan Anda
·
Berhati-hati mengenai bagaimana Anda duduk, terutama pada
tangga, untuk menghindari membuka diri Anda.
·
Seperti hal yang biasa bagi Anda untuk menjadi tanpa
pakaian, Anda dapat dengan mudah mengekspos bagian pribadi Anda. Hal ini sangat umum sambil duduk di
tangga di dalam masjid.