Minggu, 12 Juni 2016

HAJI



Pendapat ulama dalam hal menentukan permulaan wajib haji tidak sama, sebagian mengatakan pada tahun keenam Hijriah, yang lain mengatakan pada tahun kesembilan Hijriah.[1]
Haji diwajibkan atas orang yang kuasa, satu kali seumur hidup. Firman Allah SWT:
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (Ali Imran : 97)
Sedangkan hadis Rasulullah menjelaskan bahwa:
بُنِيَّ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَاِقَامِ الصَّلَاةِ وَاِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحِجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانِ

Islam itu ditegakkan di atas lima dasar: (1) Bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang hak (patut disembah) kecuali allah dan bahwa sannya Nabi Muhammad itu utusa Allah, (2) Mendirikan Shalat yang limawaktu, (3) membayar zakat, (4) Mengerjakan haji ke baitullah, (5) berpuasa dalam bulan ramadhan (Muttafaq Alaih)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ خَطَبناَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَااَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوْا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ ياَ رَسُوْلَ اللهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهاَ ثَلاَثاً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمْ اِسْتَطَعْتُمْ ذَرُوْنِى مَا تَرَكْتُكُمْ (رواه احمد والنسائي ومسلم)

Dari Abu Hurairah “Rasulullah SAW telah berkata dalam pidato beliau, “hai manusia! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu mengerjakan ibadah haji, maka hendaklah kamu kerjakan.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah tiap tahun, ya Rasulullah?” beliau dian tidak menjawab, dan yang bertanya itu mendesak sampai tiga kali, Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Kala saya jawah “ya” sudah tentu menjadi wajib tiap-tiap tahun, sedangkan kamu tidak akan kuasa mengerjakannya, biarkanlah saja apa yang saya tinggalkan (artinya jangan ditanya, karena boleh jadi jawabannya memberatkan kamu (Riwayat Ahmad, Muslim, dan Nasa’i)
Ibadah haji itu wajib segera dikerjakan, artinya, apabila orang tersebut telah memenuhi syarat-sayaratnya, tetapi masih dilalaikannya juga (tidak dikerjakannya pada tahun itu), maka ia berdosa karena kelalaiannya.[2]
Sabda Rasulullah SAW:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعَجَلُوْا اِلَى الْحَجِّ فَاِنَّ اَحَدُكُمْ لاَ يَدْرِى مَا يُعْرِضُ لَهُ (رواه احمد)

Dari Ibnu Abbas, Nabi Besar SAW telah berkata, “Hendaklah kamu bersegera mengerjakan haji karena sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari suatu halangan yang akan merintanginya.” (Riwayat Ahmad).

A.    Miqat
1.      Pengertian Miqat
Miqot adalah batas bagi dimulainya Ibadah Haji atau Umrah (batas-batas yang telah ditetapkan). Apabila melintasi Miqat, seseorang yang ingin mengerjakan Haji atau Umrah perlu mengenakan kain Ihram dan melakukan Niat.[3]
Miqat secara harfiah berarti batas yaitu garis demarkasi atau garis batas antara boleh atau tidak, atau perintah mulai atau berhenti, yaitu kapan mulai melapazkan Niat dan maksud melintasi batas antara Tanah Biasa dengan Tanah Suci.
Sewaktu memasuki Tanah Suci itulah semua jama’ah harus berpakaian Ihram dan mengetuk pintu perbatasan yang dijaga oleh penghuni – penghuni surga. Ketuk pintu atau salam itulah yang harus diucapkan Talbiyah dan keadaan berpakaian Ihram. Miqat yang dimulai dengan pemakaian pakaian ihram harus dilakukan sebelum melintasi batas yang dimaksud.
2.      Macam-macam Miqat
Miqat dibagi menjadi dua, yaitu:[4]
a.       Miqat Zamaniyah (Waktu)
Miqat zamaniyah adalah beberapa bulan yang telah ditentukan dimana tidak boleh berihram untuk haji kecuali dalam bulan-bulan tersebut, yaitu bulan syawal, Dzulqa’idah dan sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Siang hari nahar (IdulAdha) termasuk kedalamnya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Hambali berpendapat:  Miqat Zamaniyah adalah bulan syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Syafi’i berpendapat: Miqat Zamaniyah adalah bulan syawal, Dzulqa’dah, dan sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah.
Jika seseorang berihram untuk haji pada bulan selain pada bulan-bulan yang tadi, maka hukumnya makruh, tetepi hajinya tetap sah. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan pendapat yang paling sahih dari syafi’I adalah ihramnya jadi ihram umrah, tidak sah untuk ihram haji. Dawud berpendapat: Tidak sah untuk haji dan tidak sah untuk umrah.

b.      Miqat Makaniyah (Tempat)
Miqat makaniyah adalah tempat-tempat  yang telah ditentukan untu berihram. Bagi penduduk makkah, miqat makaniyah adalah kota makkah itu sendiri. Sedangkan bagi orang yang tempat tinggalnya jauh dari miqat, maka jika ia kehendaki, ia boleh memulai ihramnya dari rumahnya dan boleh juga dari miqat. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab.

3.      Ketentuan-ketentuan Miqat
a.       Miqat Zamaniyah (Waktu)
Syafi’i berpendapat bahwa jika seseorang berihram untuk haji pada bulan selain pada bulan-bulan yang tadi, maka hukumnya makruh, tetepi hajinya tetap sah. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan pendapat yang paling sahih dari syafi’i adalah ihramnya jadi ihram umrah, tidak sah untuk ihram haji. Dawud berpendapat: Tidak sah untuk haji dan tidak sah untuk umrah.
Adapun batas yang ditentukan berdasarkan waktu, Miqat Zamani disebut dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 189 dan 197.
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan [bagi ibadat] haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya  akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (189)
[Musim] haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahui nya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (197)
Ayat pertama menjelaskan kedudukan bulan sabit sebagai tanda waktu bagi manusia dan Miqat bagi jama’ah haji. Sedangkan ayat kedua menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan Bulan – Bulan Haji atau waktu haji adalah beberapa bulan tertentu.
Para Ulama sepakat bahwa bulan yang dimaksud adalah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijah. Yaitu mulai dari tanggal 1 syawal s/d 10 Zulhijah, yang jumlah keseluruhannya adalah 69 hari. akan tetapi untuk bulan Zulhijah masih ada perbedaan pendapat apakah seluruh atau sebagian saja.
Bagi Haji, Miqat bermula pada bulan Syawal sampai terbit fajar tanggal 10 Zulhijah  yaitu ketika Ibadah Haji dilaksanakan. Sedangkan untuk Umrah, Miqat bermula pada sepanjang tahun pada waktu Umrah dapat dilakukan.

b.      Miqat Makaniyah (Tempat)
Para imam mazhab berbeda pandapat tentang mana yang lebih utama dalam memulai ihram. Hanafi berpendapat: yang lebih utama adalah dari rumahnya.
Pendapat hanafi ini sama dengan pendapat asy-syafi’i yang paling sahih manurut pendapat yang dilakukan oleh ar-Rafi’. Maliki dan Hambali berpendapat: Meulainya dari miqat adalah lebih utama. Ini juga salah satu pendapat syafi’I yang dianggap paling sahih oleh an-Nawawi.
Pendapat inilah yang sesuai dengan hadis sahih:
الموا قيتا لمعروفة لاهلها ولمن مر عليها من غير هم
Miqat-miqat yang sudah dikenal itu adalah untuk ahlinya (makkah) dan untuk orang yang datang ke makkah yang bukan ahlinya.[5]
Hukum ini menjadi kesepakatan para ulama.
Barang siapa yang telah sampai pada miqat dengan maksud berhaji, maka ia tidak boleh melewatinya dengan tidak melaksanakan ihram. Jika ia melewatinya dengan tidak ihram, maka ia harus kembali lagi ke miqat untuk berihram. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab.
An-Nakha’I dan al-Hasan al-Basri berpendapat : Ihram dan miqat itu tidak wajib hukumnya. Apabila ia tidak kembali ke miqat karena tempat itu berbahaya untuk waktunya sudah sempit, maka ia harus membayar dam untuk melewati miqat tanpa ihram tersebut. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab. Sa’id bin Jubair berpendapat: ihramnya tidak sah jika tidak dari miqat.
Orang yang memasuki kota makkah tanpa berihram, maka ia tidak diharuskan mengqada. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i, Hambali. Hanafi berpendapat: diharuskan mengqadanya kecuali ia penduduk makkah, maka tidak wajib.
Semua Miqat ditetapkan langsung oleh Nabi sebagaimana disebutkan disebutkan dalam hadis-hadis Bukhari, Muslim dll. Namun untuk miqat Zatu Irqin terdapat dua riwayat.
Menurut Bukhari miqat ini ditetapkan oleh Umar bin Khatab, sedangkan menurut riwayat Abu Daud miqat ini ditetapkan oleh Rasulallah. Ada lima tempat agak jauh dari Kota Suci Makkah yang peziarah tidak boleh menyeberang sebelum mereka berada dalam keadaan Ihram jika mereka bermaksud untuk memasuki Masjid Al-Haram untuk Haji atau Umrah.
Batas-batas disebut Miqats dan lima batas telah ditentukan oleh Nabi Muhammad.  Beberapa ditambahkan kemudian untuk kenyamanan peziarah dari India dan tempat asal lebih ke timur.
1)      Dhu’l-Hulayfah  –  (450km)
Masjid Zulhulaifah sekitar 9 kilometer dari Madinah dan sekitar 450 kilometer dari Makkah. Miqat bagi para jemaah yang datang dari arah Madinah menuju ke Makkah untuk menunaikan umrah ataupun haji. Juga dikenali dengan nama Bir Ali.
Al-Juhfah (sebelumnya Mahya’ah) adalah salah satu dari lima Miqat Makani dalam berhaji yang biasa digunakan penduduk Arab Saudi bagian utara dan negara-negara Afrika Utara dan Barat, serta penduduk negeri Syam (Lebanon, Yordania, Syiria, dan Palestina). Miqat ini terletak 22 km tenggara kota Rabigh.
3)      Dzatu Erq / Dhat Irq / Zatu Irqin  –  (94km)
Miqat ini adalah sekitar 85 kilometer menuju sisi timur laut Mekah.Ini adalah miqat bagi rakyat Iran, Irak dan bagi mereka yang datang dari arah itu.
4)      Yalamlam  –  (54km)
Yalamlam adalah sebuah kota di Provinsi Mekkah Arab Saudi di Lembah Yalamlam. Ini terletak 125 km Tenggara Mekah dan 125 km Timur Jeddah Saudi Aramco Kilang. Para peziarah yang datang dari negara-negara timur seperti : Yaman, Indonesia, Singapore, Malaysia. 
5)      Qornul Manazil  –  (94km)
Qarn al-Manazil : Miqat ini adalah tempat yang berbukit sekitar 90 kilometer di sebelah timur Makkah. Ini adalah miqat bagi penduduk Nejd / bagi mereka yang datang dari arah itu. Bagi mereka yang tinggal di Makkah. Tempat untuk Ihram Haji adalah Makkah itu sendiri (rumah sendiri). Untuk Umrah ialah keluar dari tanah Haram Makkah yaitu sebaiknya.[6]

B.     Ihram
1.      Pengertian Ihram
Kata Ihram diambil dari bahasa arab, dari kata “Al-haram” yang bermakna terlarang atau tercegah. Dinamakan ihram karena seseorang yang masuk kepada kehormatan ibadah haji dengan niatnya. Dia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini dapat diambil satu definisi syar’i bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan.

2.      Tata Cara Ihram
Telah diketahui bersama bahwa seorang yang berniat melakukan haji atau umrah, diharuskan mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang shohih, sebagai pengamalan dari hadits Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ
Ambillah dariku manasik kalian”. 
Adapun tata cara yang dicontohkan oleh Nabi SAW antara lain:
a.       Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu.
b.      Disunnahkan memakai minyak wangi ketika ihram.
c.       Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
d.      Disunahkan berihram setelah shalat.
e.       Berniat untuk melaksanakan salah satu dari tiga manasik, dan niat tersebut disunnahkan untuk diucapkan.
f.       Memilih salah satu dari bentuk ibadah haji :  Ifrad  –  Qiran  – Tamatu’
Seorang yang manasik ifrad mengatakan: لَبَيْكَ حَجًا atau   لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
Seorang yang manasik tamatu’ mengatakan : لَبَيْكَ عُمْرَةً   atau  لَبَيْكَ الَّلهُمَّ عُمْرَةً
ketika hari Tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan :  لَبَيْكَ حَجًّا   atau  لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
sunnah yang manasik Qiran menyatakan :  لَبَيْكَ عُمْرَةً و حَجًّا
g.      Niat Umroh
h.      Niat Haji
i.        Doa Setelah Niat Ihram
j.        Talbiyah yaitu membaca :
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

3.      Pakaian Ihram
Pakaian ihram pria terdiri dari dua lembar kain, sehelai melilit tubuh mulai dari pinggang hingga dibawah lutut dan sehelai lagi diselempangkan mulai dari bahu kiri kebawah ketiak kanan. Pria itu tidak boleh mengenakan celana, kemeja, tutup kepala dan juga tidak boleh menutup mata kaki.
Bagi wanita pakaian ihram lebih bebas tetapi disunatkan yang berwarna putih, yang penting menutup seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan mereka, yang penting tidak ada jahitan.
·         Lengan baju mesti sepanjang pergelangan tangan
·         Kerudung yang digunakan harus panjang,
·         Tidak jarang serta menutupi bagian Dada Baju,
·         Gaun atau rok harus sepanjang tumit,
·         Memakai Kaos kaki
·         Sepatu sebaiknya tidak bertumit dan terbuat dari karet.

4.      Larangan dalam Berihram
Pada saat Ihram jama’ah dilarang melakukan perbuatan sebagai berikut :
·         Menebang pepohonan.
·         Mempermainkan atau membunuh binatang
·         Memotong kuku
·         Menikah, menikahkan (melamar)
·         Melakukan hubungan Seks atau bercumbu
·         Berbicara kotor
·         Bertengkar dan
·         Mencaci maki.
Dengan demikian mereka harus bersabar sampai tiba waktu Tahallul. Apabila melanggar salah satu ketentuan diatas maka jamma’ah diwajibkan membayar Dam atau denda.
Adapun hal-hal yang tidak diharamkan dalam berikhram antara lain adalah:
·         Mengenakan arloji, kacamata, sabuk uang, cincin, kacamata hitam.
·         Mandi atau mandi dengan sabun diberi wewangian dan lembut untuk mencuci dan menggaruk kepala dan tubuh seseorang, bahkan jika mungkin rambut rontok
·         Mengubah seseorang garmen Ihraam, melepaskan pakaian Ihraam tidak meniadakan keadaan Ihraam.
·         Memiliki hunian di atas kepala seseorang, baik di dalam mobil, di bawah payung, atau di tenda atau gedung.
·         Menutup kaki (tapi tidak kepala mereka) saat tidur, dengan mereka Ihraam atau selimut.

5.      Etika dalam Berihram
Adapun etika-etika dalam berikhram yaitu:
·         Hindari berjalan-jalan dengan hanya bagian bawah Ihraam Anda.
·         Jaga bahu kanan ditutupi (kecuali saat Tawaf)
·         Hindari melempar akhir ‘kehilangan’ dari Ihraam Anda melewati bahu Anda, karena Anda mungkin ‘memukul’ orang di belakang Anda di wajah.
·         Jaga Anda Ihraam bersih dan tidak menggunakannya sebagai kain untuk menyeka tangan Anda
·         Berhati-hati mengenai bagaimana Anda duduk, terutama pada tangga, untuk menghindari membuka diri Anda.
·         Seperti hal yang biasa bagi Anda untuk menjadi tanpa pakaian, Anda dapat dengan mudah mengekspos bagian pribadi Anda. Hal ini sangat umum sambil duduk di tangga di dalam masjid.


[1] Sulaiman Rasyi, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), h. 247
[2] Ibid., h. 248
[3] Gayo, H.M. Iwan, 2004, Buku Pintar Haji dan Umrah, Jakarta: Pustaka Warga Negara.
[4] Ibid
[5] Juzayrî, Abdul Rahman, 1990, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr
[6] Khiyari, Ahmad, 1993, Tarîkh al-Ma’alim al-Madînah al-Munawwarah Qadîman wa Hadîtsan, Jeddah: Dar al-‘Ilm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar