A. PENGGOLONGAN SOSIAL
Dalam tiap masyarakat orang menggolongkan
masing-masing dalam berbagai kategori, dari lapisan yang paling bawah. Dengan
demikian terjadilah stratifikasi sosial. Ada masyarakat yang mempunyai stratifikasi
sosial yang sangat ketat. Seoorang lahir dari golongan tertentu dan ia tak
mungkin meningkat ke golongan yang lebih tinggi. Keanggotaannya dalam suatu
kategori merupakan faktor utama yang menentukan tinggi pendidikan yang dapat
ditempuhnya, jabatan yang didudukinya, orang yang dapat dikawininya, dan
sebagainya. Golongan yang ketat serupa ini biasanya disebut kasta.
Biasanya penggolongan sosial tidak seketat itu
akan tetapi fleksibel dengan batas-batas yang agak kabur dan senantiasa dapat
mengalami perubahan. Dalam masyarakat yang demikian anak seorang jenderal dapat
bekerja sebagai penyanyi di night club
dan kawin dengan putri keturunan bangsawan zaman dahulu.
B. CARA-CARA MENENTUKAN GOLONGAN SOSIAL
Konsep tentang golongan sosial bergantung pada
cara seorang menentukan golongan sosial itu. Adanya golongan sosial timbul
karena adanya perbedaan status di kalangan anggota masyarakat. Untuk menentukan
stratifikasi sosial dapat diikuti tiga metode yakni:
1. Metode obyektif
2. Metode subjektif
3. Metode reputasi
Metode obyektif. Stratifikasi ditentukan
berdasarkan kriteria objektif antara lain jumlah pendapatan, lama atau tinggi
pendidikan, jenis pekerjaan. Biasanya keterangan demikian terkumpul sewaktu
diadakan sensus. Menurut suatu penelitian (1954) di Amerika Serikat dokter
menempati kedudukan yang sangat tinggi sama dengan gubernur negara bagian. Juga
profesor tinggi kedudukannya sama dengan ilmuan (scientist), anggota kongres,
Dewan Perwakilan Rakyat. Guru sekolah menempati menduduki tempat yang paling
rendah dari kapten tentara, pemain orkes atau kontraktor, akan tetapi lebih
tinggi daripada penyiar radio, masinis, polisi. Yang paling rendah kedudukannya
ialah tukang semir sepatu.
Metode subyektif. Dalam metode ini golongan
sosial dirumuskan menurut pandangan anggota masyarakat menilai dirinya dalam
hierarki kedudukan dalam masyarakat itu. Kepada mereka diajukan pertanyaan :
“menurut pendapat saudara termasuk golongan manakah saudara di negara ini,
golongan atas, golongan menengah, atau golongan rendah?” Dalam penelitian tahun
1940 diperoleh golongan atas 6%, golongan menengah 88% dan golongan rendah 6%.
Golongan menengah angat menonjol, mungkin karena istilah “golongan rendah” agk
menyinggung perasaan. Akan tetapi bila golongan rendah dipecah menjadi “golongan
pekerja” dan “golongan rendah” maka hasilnya (1945) menjadi golongan atas 3%,
golongan menengah 43%, golongan pekerja 51% golongan rendah 1% sedangkan
selebihnya tidak tahu (1%) dan tidak percaya akan adanya golongan sosial (1%).
Metode reputasi. Metode ini dikembangakan oleh
W. Lloyd Warner cs. Dalam metode ini golongan sosial dirumukan menurut
bagaimana anggota masyarakat menempatkan masing-masing dalam stratifikasi
masyarakat itu. Kesulitan penggolongan obyaktif dan subyektif ialah bahwa
penggolongan itu sering tidak sesuai dengan tanggapan orang dalam kehidupan
sehari-hari yang nyata tentang golongan sosial masing-masing.
Oleh sebab itu W.L. Warner mengikuti suatu
cara yang realistis yakni memberiakan kesempatan kepada orang dalam masyarakat
kepada orang dalam masyarakat itu sendiri untuk menentukan golongan-golongan
mana yang terdapat dalam masyarakat itu lalu mengidentifikasi anggota
masing-masing golongan itu. Warner cs banyak menggunakan teknik oprasional ini
tanpa sebenarnya merumuskan dasar-dasar diferensiasi penggolongan itu. Metode
ini tidak menghiraukan dasar teoritis bagi penggolongan dan berusaha menentukan
stratifikasi sosial seperti yang terdapat dalam interaksi yang nyata dikalangan
penduduk dengan dasar pikiran bahwa merekalah yang sesungguhnya mengenal
golongan itu dalam kenyataan. Metode penggolongan ini tidak dimaksud untuk
mencari perbedaan status atau kekuasaan. Orang dalam masyarakat lain mungkin
akan mengadakan stratifikasi sosial yang berbeda dengan menggunakan dasar yang
berlainan. Dengan sendirinya sukarlah mengadakan perbandingan stratifikasi
sosial antara berbagai macam masyarakat.
Penelitian lain menggunakan berbagai kriteria
sosial ekonomi untuk membedakan berbagai golongan sosial seperti jabatan,
jumlah dan sumber pendapatan, tingkat pendidikan, agama, jenis dan luas rumah,
lokasi rumah, asal keturunan, partisipasi dalam kegiatan organisasi, dan
hal-hal yang lain berkaitan dengan status sosisal seseorang. Tidak ada satu
metode yang secara umum berlaku bagi masyarakat yang berbeda-beda. Rumah yang
bagus, pendapatan yang banyak bagi orang desa belum tentu dianggap rumah bagus
atau pendapatan banyak di kota dan sebagainya. Dalam masyarakat pedesaan sering
sukar menentukan stratifikasi sosial yang jelas. Dalam masyarakat lain dapat dibedakan
dua golongan atau lebih yang jelas perbedaannya. Mungkin juga akan diperoleh
penggolongan sosial yang berbeda-beda dalam masyarakat yang sama bila digunakan
kriteria yang berlainan.
Dalam menganalisis masyarakat Warner menemukan
enam golongan yakni “upper-upper, lower-upper, upper-middle, lower-middle,
upper-lower, lower-lower”. Jadi dapat dibedakan golongan atas, menengah, dan
bawah dan tiap golongan terbagi pula dalam dua bagian yakni bagian atas dan
bawah sehingga terdapat enam golongan. Besar tiap kelompok tidak sama. Biasanya
golongan paling atas kecil jumlah anggotanya, misalnya terdiri atas keturunan
feodal atau yang kaya-raya, yang sangat di hormati, sedangkan golongan rendah
pada umumnya besar jumlahnya dan lazim disebut “orang kebayakan”.
Stratifikasi sosial dalam masyarakat kita di
indonesia jelas tampak pada zaman feodal dan kolonial, antara lain berdasarkan
keturunan. Setelah kita merdeka terbentuk stratifikasi lain berdasarkan
kedudukan, sumber pendapatan, pendidikan, dan lain-lain. Keberatan yang
diajukan terhadap metode yang digunakan oleh W.L. Warner antara lain (1) Metode
itu hanya dapat digunakan bila masyarakat itu kecil sehingga masing-masing
saling mengenal. Di kota yang besar dengan penduduk yang banyak di mana orang
tidak kenal-mengenal, metode ini tidak berlaku. (2) Dianggap bahwa metode ini
tidak menggambarkan struktur stratifikasi sosial yang sebenarnya dalam
masyarakat kecil akan tetepi menurut pandangan golongan menengah dan atas yang
digunakan sebagai informan utama. Apakah golongan rendah akan mengakui adanya
enam lapisan sosial dan bukan hanya tiga atau empat? Keberatan ke (3) ialah
bahwa metode ini tidak cermat dan tiadak akan memberikan hasil yang sama bila
di tetapkan oleh peneliti lain.
C. GOLONGAN SOSIAL SEBAGAI LINGKUNGAN SOSIAL
Golongan sosial sangat menentukan lingkungan
sosial seseorang. Pengetahuan, kebutuhan dan tujuan, sikap, watak seseorang
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Sistem golongan sosial
menimbulakan batas-batas dan rintangan ekonomi, kultural dan sosial yang
mencegah pergaulan dengan golongan-golongan lain. Manusia mempelajari
kebudayaannya dari orang lain dalam goloangan itu yang telah memiliki
kebudayaan itu. Maka oarang dalam golongan sosial tertentu akan menjadi orang
yang sesuai dengan kebudayaan dalam golongan itu dan dengan sendiri mengalami
kesulitan untuk memesuki lingkungan sosial lain. Golongan sosial membatasi dan
menentukan lingkungan belajar anak.
Bila kita menghadapi orang yang belum kita
kenal kita berusaha mengetahui golongan sosialnya agar dapat menentukan hingga
berapa jauh kita dapat bersikap akrab kepadanya.
Orang yang termasuk golongan sosial yang sama
cenderung untuk bertempat tinggal di daerah tertentu. Orang golongan atas akan
tinggal di daerah elite karena anggota golongan rendah tidak mampu untuk
tinggal di sana.
Orang akan mencari pergaulan di kalangan yang
dianggap sama golongan sosialnya. Namun demikain ada kemungkinan terjadi
perpindahan golongan sosial.
D. TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT GOLONGAN SOSIAL
Dalam berbagai studi, tingkat pendidikan
tertinggi yang dipergunakan oleh seseorang digunakan sebagai indeks kedudukan
sosialnya. Menurut penelitian yang memeng terdapat korelasi yang tinggi antara
kedudukan sosial seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya.
Walaupun tingkat sosial seseorang tidak dapat diramalkan sepenuhnya berdasarkan
pendidikannya, namun pendidikan tinggi bertalian erat dengan kedudukan sosial
yang tinggi. Ini tidak berarti bahwa pendidikan tinggi dengan sendirinya
menjamin kedudukan sosial yang tinggi.
Korelasi antara pendidikan dan golongan sosial
antara lain terjadi oleh sebab anak golongan rendah kebanyakan tidak
melanjutkan pelajarannya sampai perguruan tinggi. Orang yang termasuk golongan
sosial atas beraspirasi agar anaknya menyelesaikan pendidikan tinggi. Jabatan
orangtua, jumlah dan sumber pendapatan, daerah tempat tinggal, tanggapan
masing-masing tentang golongan sosialnya, dan lambang-lambang lain yang
berkaitan dengan status sosial ada kaitannya dengan tingkat pendidikan anak.
Orangtua yang berkedudukan tinggi, yang telah bergelar akademis, yang mempunyai
pendapatan besar tinggal di rumah gedung besar di daerah elite, merasa dirinya
termasuk golongan sosial atas, mempenyai mobil mercedes serta TV berwarna
lengkap dengan video-tape dapat diharapkan akan mengusahakan agar anak nya masuk universitas dan
memperoleh gelar akademis. Sebaliknya anak yang orang tuanya buta huruf mencari
nafkahnya dengan mengumpulkan putung rokok, tinggal di gubuk kecil di tepi rel
kereta api dan harus jalan kaki, tak dapat diharapkan akan berusaha agar
anaknya menikmati pendidikan tinggi.
Pada tingkat SD belum tampak pengaruh
perbedaan golongan sosial, apalagikalau kewajiban belajar mengharuskan semua
anak memesukinya, akan tetapi pada tingkat Sekolah Menengah, apalagi pada
tingkat Pendidikan Tinggi lebih jelas tampak pengaruh perbedaan golongan sosial
itu. Perbedaan persentase anak-anak golongan yang berbeda atau berpangkat makin
meningkat dengan bertambah tingginya taraf pendidikan dan usia pelajar.
Sebagian besar dari mahasiswa yang memasuk ITB anak pegawai dan ABRI.
Perbedaan sumber pendapatan juga mempengaruhi
harapan orang tua tentang pendidikan anaknya, sudah selayaknya orang tua yang
berada mengharapkan agar anaknya kelak memasuki perguruan tinggi. Soalnya hanya
universitas mana dan jurusan apa di samping tentunya kemampuan dan kemauan
anak. Sebaliknya orang tua yang tidak mampu tidak akan mengharapkan pendidikan
yang demikian tinggi. Cukuplah bila anak itu menyelesaikan SD, paling-paling SM.
Ada kalanya anak itu sendiri mempunyai kemauan keras untuk melepaskan diri dari
pendirian lingkungan dan berusaha sendiri dengan segenap tenaga untuk
melanjutkan pelajarannya ke Perguruan Tinggi. Syukur bila ia berbakat, sanggup
kerja sambil belajar dan dapat memperoleh beasiswa.
Faktor lain yang menghambat anak-anak golongan
rendah memasuki Perguruan Tinggi ialah kurangnya perhatian akan pendidikan di
kalangan orangtua. Banyak anak-anak yang putus sekolahnya karena alasan
finansial. Pendidikan memerlukan uang, tidak hanya untuk uang sekolah akan
tetapi juga untuk pakaian, buku, transport, kegiatan ekstra-kurikuler, dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar