A.
Pengertian Inovasi
Inovasi
berasal dari kata Latin, innovation
yang berarti pembaruan dan perubahan. Inovasi adalah suatu perubahan baru menuju
ke arah perbaikan atau berbeda dari yang ada sebelumnya, dilakukan dengan sengaja
dan berencana, Keberanian bertindak untuk melakukan suatu inovasi tidak pernah berakhir
walaupun hal tersebut bukan suatu hal yang mudah dilaksanakan.[1]
Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, inovasi di artikan pemasukan atau pengenalan hal-hal yang
baru; penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau sudah dikenal
sebelumnya (gagasan, metode atau alat).[2]
Maksud kata “baru”
dalam pengertian tersebut adalah apa saja yang belum dipahami, diterima, dan
dilaksanakan oleh si penerima inovasi meskipun mungkin bukan merupakan hal yang
baru lagi bagi orang lain. Dalam konteks ini, pengertian inovasi disamakan
dengan pembaruan meskipun pada esensinya inovasi dengan pembaruan punya
pengertian yang sedikit berbeda. Biasanya pada inovasi perubahan-perubahan
menyangkut aspek-aspek tertentu, dalam arti lebih sempit dan terbatas.[3]
Kita
sering kali menemukan kasus seseorang memiliki gagasan baru yang cemerlang, namun
gagasan tersebut berhenti dalam bentuk pemikiran yang tidak tertuang dalam suatu
tindakan nyata dalam upaya perbaikan kualitas pendidikan, bahkan acapkali pula mati
di dalam pikirannya sendiri. Hal ini dapat disebabkan oleh karena ia ragu-ragu atau
tidak berani mengemukakan atau berbagi gagasan tersebut dengan orang lain, Atau,
seseorang mempunyai gagasan yang baik tetapi kemudian setelah diluncurkan ternyata
tidak dapat diterima oleh lingkungan kerjanya. Ada kalanya gagasan baru
tersebut telah diluncurkan dan digunakan oleh suatu institusi pendidikan, tetapi
kemudian berhenti penggunaannya sehingga tidak dapat menjamin kelangsungan penerapannya
secara berkelanjutan. Ada kalanya pula suatu gagasan diluncurkan dan pada awalnya
ditolak oleh orang lain. Namun setelah melalui jangka waktu tertentu, gagasan
tersebut diterima dan dipergunakan secara berkelanjutan. Ilustrasi tersebut menggambarkan
betapa suatu inovasi dalam bukan suatu hal yang sederhana dan mudah dilaksanakan.
Inovasi
adalah suatu objek atau gagasan yang dianggap baru oleh individu atau unit yang
mengadopsi. Dengan kata lain inovasi berarti sebagai ide, temuan, cara, atau objek
yang dianggap
baru oleh individu, organisasi, atau sistem sosial. Kata 'baru' dapat diartikan
apa saja yang baru dipahami, diterima, atau dilaksanakan oleh penerima inovasi.
Kebaruan ini mungkin menyangkut pengetahuan, sikap, dan adopsi atau penolakan terhadap
gagasan tersebut. Oleh karena itu, inovasi dapat berupa gagasan, tindakan, benda,
atau teknologi yang dipandang baru oleh yang akan menerima
inovasi tersebut.
Kebaruan
tersebut dapat pada tingkat 'ketahuan', tingkat sikap kesiapan untuk menerima, atau
tingkat perilaku penerapannya. Seandainya suatu inovasi diterima oleh suatu
lingkungan pendidikan, apakah otomatis inovasi tersebut benar benar diterapkan
oleh setiap warga pendidikan dalam bekerja sehari-hari? Jawabnya
adalah belum tentu, bahkan pasti tidak otomatis. Lalu, apa strategi yang tepat
untuk menerapkan inovasi secara efektif? Ketepatan atau tidaknya strategi tersebut
akan menentukan terjadi tidaknya perubahan ke arah perbaikan atau perubahan yang
diharapkan.[4]
Dalam
konteks teknologi pembelajaran, motivasi mengacu kepada pemanfaatan teknologi canggih,
baik perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware)
dalam proses pembelajaran. Tujuan utama aplikasi tekno1ogi baru itu adalah
untuk meningkatkan mutu, efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Metode dan strategi
pembelajaran juga merupakan sebuah inovasi dalam pembelajaran.
Dalam
suatu
sistem pendidikan, komponen guru memegang peran kunci dalam menentukan keberhasilan
pembelajaran. Guru/pendidik yang baik adalah makhluk yang kreatif sehingga pada
umumnya para guru yang baik selalu mencari pendekatan atau strategi baru dalam
pembelajaran. Pencarian pendekatan atau strategi baru. Wujud, bentuk, dan upaya
inovasi ini dapat bermacam-macam. Namun demikian, semuanya memiliki tujuan umum
yang sama, yaitu terwujudnya suatu proses pembelajaran berkualitas sehingga dapat
meningkatkan kompetensi, kemampuan, keterampilan, dan daya saing peserta didik suatu
program pendidikan pada jenjang, jenis, maupun jalur pendidikan.
Inovasi
dapat terwujud pada modus pendidikan apa pun, baik
yang menggunakan sistem tatap muka maupun Jarak jauh. Pada sistem pendidikan tatap muka, berbagai
movasi dapat dilakukan yang berkaitan dengan metode pembelajaran, pemanfaatan
media pembelajaran, sistem insentif untuk para pendidik,
sistem
manajemen berbasis sekolah, atau penerapan prinsip-prinsip manajemen kualitas total dalam pengelolaan pendidikan.
Salah
satu contoh inovasi dalam pendidikan tinggi adalah penerapan
program pekerti/AA (Applied Approach), yaitu upaya peningkatan
kemampuan membelajarkan bagi para dosen yunior di
seluruh
Indonesia. Pada sistem pendidikan jarak jauh yang berbasis korespondensi,
inovasi dapat dilakukan dengan penerapan teknologi baru, seperti belajar elektronik,
penerapan sistem tutonal serta bantuan belajar bagi mahasiswa dengan
menggunakan media berbasis teknologi informasi dan internet.[5]
Bentuk
inovasi dalam sistem pembelajaran dapat bervariasi, namun mengarah pada tujuan untuk meningkatkan efektivitas
dan efisiensi pembelajaran bagi perserta didik. Inovasi harus berpusat
atau bertitik tolak dan diciptakan atas dasar kesesuaiannya dengan peserta didik.
Inovasi selalu menciptakan perubahan yang dinamis dari waktu ke waktu dan lingkungan
budaya yang satu ke lingkungan budaya yang lain dan peserta didik.
B.
Pengertian Proses Keputusan Inovasi
Proses keputusan inovasi ialah proses yang
dilalui (dialami) individu (unit pengambil keputusan yang lain), mulai dari
pertama tahu adanya inovasi, kemudian dilanjutkan dengan keputusan setuju
terhadap inovasi, penetapan keputusan menerima atau menolak inovasi,
implementasi inovasi, dan konfirmasi terhadap keputusan inovasi yang telah
diambilnya. Proses keputusan inovasi bukan kegiatan yang dapat berlangsung
seketika, tetapi merupakan serangkaian kegiatan yang berlangsung dalam jangka
waktu tertentu, sehingga individu atau organisasi dapat menilai gagasan yang
baru itu sebagai bahan pertimbangan untuk selanjutnya akan menolak atau
menerima inovasi dan menerapkannya. Ciri pokok keputusan inovasi yang merupakan
perbedaannya dengan tipe keputusan yang lain ialah dimulai dengan adanya
ketidaktentuan (uncertainty) tentang suatu inovasi.[6]
Misalnya kita harus mengambil keputusan antara
menghadiri rapat atau bermain olah raga, maka kita sudah tahu apa yang akan
dilakukan jika olah raga begitu pula apa yang akan dilakukan jika menghadiri
rapat. Rapat dan olah raga bukan hal yang baru. Pertimbangan dalam mengambil
keputusan mana yang paling menguntungkan sesuai dengan kondisi saat itu.
Keputusan ini bukan keputusan inovasi.
Tetapi jika kita harus mengambil keputusan untuk
mengganti penggunaan kompor minyak dengan kompor gas, yang sebelumnya belum
pernah tahu tentang kompor gas, maka keputusan ini adalah keputusan inovasi.
Proses pengambilan keputusan mau atau tidak mau menggunakan kompor gas, dimulai
dengan adanya serba ketidak tentuan tentang kompor gas. Masih terbuka bebagai
alternatif, mungkin lebih bersih, lebih hemat, lebih tahan lama, tetapi juga
mungkin berbahaya, dan sebagainya. Untuk sampai pada keputusan yang mantap
menerima atau menolak kompor gas perlu informasi. Dengan kejelasan informasi
akan mengurangi ketidak tentuan dan berani mengambil keputusan.
Menurut Ibrahim, Proses keputusan inovasi pendidikan adalah
proses yang dilalui atau dialami oleh individu atau unit pengambilan keputusan
lain, mulai dari pertama kali mengetahui adanya inovasi pendidikan hingga
mengimplementasikan dan mengkonfirmasikan terhadap keputusan inovasi dalam
bidang pendidikan yang telah diambil [7].
Proses keputusan inovasi pendidikan ini
merupakan serangkaian kegiatan yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan
tidak berlangsung seketika sehingga seseorang atau sekelompok orang
(organisasi) dapat menilai dan mempertimbangkan inovasi pendidikan yang
ditawarkan kemudian mengambil keputusan untuk menerima dan menerapkan atau
menolaknya[8].
C.
Model Proses Keputusan Inovasi
Menurut Roger, proses keputusan inovasi terdiri dari 5 tahap, yaitu (1)
tahap pengetahuan, (2) tahap bujukan, (3) tahap keputusan, (4) tahap
implementasi, dan (5) tahap konfirmasi.[9]
1. Tahap
Pengetahuan (Knowledge)
Proses keputusan inovasi dimulai dengan tahap
pengetahuan, yaitu tahap pada saat seseorang menyadari adanya suatu inovasi dan
ingin tahu bagaimana fungsi inovasi tersebut. Pengertian menyadari dalam hal
ini bukan memahami tetapi membuka diri untuk mengetahui inovasi.
Seseorang menyadari atau membuka diri terhadap
suatu inovasi tentu dilakukan secara aktif bukan secara pasif. Misalnya pada
acara siaran televise disebut berbagai macam acara, salah satu menyebutkan
bahwa jam 19.30 akan ada siaran tentang metode baru cara mengajar berhitung di
Taman Kanak-kanak. Guru A mendengar dan melihat acara tersebut kemudian sadar
bahwa ada metode baru serta membuka dirinya untuk mengetahui apa dan bagaimana
metode tersebut, maka pada guru A tersebut sudah mulai proses keputusan inovasi
pada tahap pengetahuan. Sedangkan guru B walaupun mendengar dan melihat acara
TV, tidak ada keinginan untuk tahu, maka belum terjadi proses keputusan
inovasi.
Seseorang menyadari perlunya mengetahui inovasi
biasanya tentu berdasarkan pengamatannya tentang inovasi itu sesuai dengan kebutuhannya,
minatnya atau mungkin juga kepercayaannya. Seperti contoh Guru A tersebut,
berarti ia ingin tahu metode baru berhitung karena ia memerlukannya. Adanya
inovasi menumbuhkan kebutuhan. Karena kebetulan ia merasa butuh. Tetapi mungkin
juga terjadi bahwa karena seseorang butuh sesuatu untuk memenuhinya diadakan
inovasi. Dalam kenyataan dimasyarakat, hal yang kedua ini jarang terjadi karena banyak
orang tidak tahu apa yang diperlukan. Apalagi dalam bidang pendidikan, yang
dapat merasakan perlunya adanya perubahan biasanya orang yang ahli, sedangkan
guru sendiri belum tentu mau menerima perubahan atau inovasi yang sebenarnya
diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan tugasnya. Sebagaimana hal yang
menurut dokter, kita perlu makan vitamin, tetapi kita tidak menginginkannya,
dan sebaliknya sebenarnya kita ingin sate tetapi menurut dokter justru sate
membahayakan kita.
Setelah seseorang menyadari adanya inovasi dan
membuku dirinya untuk mengetahui inovasi, maka keaktifan untuk memenuhi
kebutuhan ingin tahu tentang inovasi itu bukan hanya berlangsung pada tahap
pengetahuan saja tetapi juga pada tahap yang lain bahkan sampai tahap konfirmasi
masih ada keinginan untuk mengetahui aspek-aspek tertentu dari inovasi.
Pada permulaannya ingin tahu tentang apa, mengapa
dan bagaimana cara bekerjanya. Pada tahap persuasi ingin tahu lebih jauh lagi
tentang bagaimana cara menggunakannya yang besar. Syarat-syarat yang diperlukan
dan sebagainya. Makin komplek suatu inovasi maka makin banyak dari komplek
juga harus diketahui. Kemudian dapat berkembang lebih mendalami lagi yang ingin
diketahui yaitu bagaimana prinsip-prinsip penggunaannya. Dalam hal ini ada
kaitannya dengan dasar teorinya. Makin jelas dan makin dalam seseorang
mengetahui inovasi akan makin kuat landasan untuk menerima atau menolak suatu
inovasi.
Berkaitan dengan pengetahuan tentang inovasi,
ada generalisasi (prinsip-prinsip umum) tentang orang yang awal mengetahui
tentang inovasi:
a.
Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih
tinggi status sosialnya daripada yang akhir.
b. Orang
yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih tinggi status sosial ekonominya
daripada yang akhir.
c.
Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih
terbuka terhadap media masa dari pada yang akhir.
d. Orang
yang lebih awal tahu tentang inovasi terbuka terhadap komunikasi interpersonal,
dari pada yang akhir.
e.
Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih
banyak kontak dengan agen pembaharu dari pada yang akhir.
f.
Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih
banyak berpartisipasi dalam sistem sosial daripada yang akhir.
g. Orang
yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih cosmopolitan dari pada yang akhir.
Perlu diketahui juga bahwa tahu tentang inovasi
tidak sama dengan melaksanakan atau menerapkan inovasi. Banyak orang yang tahu
tetapi tidak melaksanakan, dengan bagaimana kemungkinan penyebabnya.
2. Tahap
Bujukan (persuasi).
Pada tahap persuasi dari proses keputusan
inovasi, seseorang membentuk sikap menyenangi atau tidak menyenangi terhadap
inovasi. Jika pada tahap pengetahuan proses kegiatan mental yang utama bidang
kognitif, maka pada tahap persuasi yang berperan yang berperan utama bidang
afektif atau perasaan. Seseorang tidak dapat menyenangi inovasi sebelum ia tahu
lebih dulu tentang inovasi.
Dalam tahap persuasi ini lebih banyak keaktifan
mental yang memegang peran. Seseorang akan berusaha mengetahui lebih banyak
tentang inovasi, dan menafsirkan informasi yang diterimanya. Pada tahap ini
berlangsung seleksi informasi disesuaikan dengan kondisi dan sifat pribadinya.
Di sinilah peranan karakteristik inovasi dalam mempengaruhi proses kebutuhan
inovasi.
Dalam tahap persuasi ini juga sangat penting
peran kemampuan untuk mengantisipasi kemungkinan penerapan inovasi di masa
datang. Perlu ada kemampuan untuk memproyeksikan penerapan inovasi dalam pemikiran
berdasarkan kondisi dan situasi yang ada. Untuk mempermudah proses mental ini,
perlu adanya gambaran yang jelas tentang bagaimana pelaksanaan inovasi , jika
mungkin sampai pada konsekuensi inovasi.
Hasil dari tahap persuasi yang utama ialah
adanya penentuan menyenangi atau tidak menyenangi inovasi. Diharapkan hasil
tahap persuasi akan mengarahkan proses keputusan inovasi atau dengan kata lain
kecenderungan kesesuaian antara menyenangi inovasi dan menerapkan inovasi.
Namun perlu diketahui bahwa sebenarnya antara sikap dan aktivitas masih ada
jarak. Orang menyenangi inovasi belum tentu ia menerapkan inovasi. Ada jarak
atau kesenjangan antara pengetahuan-sikap dan penerapan (praktik). Misalnya
seorang guru tahu tentang metode diskusi, tahu cara menggunakannya, dan senang
seandainya menggunakan, tetapi ia tidak pernah menggunakan, karena beberapa
faktor seperti tempat duduknya tidak memungkinkan, jumlah siswanya terlalu
besar, dan takut bahan pelajarannya tidak akan dapat disajikan sesuai dengan
batas waktu yang ditentukan. Perlu ada bantuan pemecahan masalah.
Dalam penerapan inovasi ada pula yang disebut
preventive innovation (inovasi preventif) yaitu seseorang menerapkan inovasi
karena ingin terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Misalnya
keluarga berencana, penggunaan helm, mengikuti asuransi, dan sebagainya.
3. Tahap
Keputusan
Tahap keputusan dari proses keputusan inovasi,
berlangsung jika seseorang melakukan kegiatan yang mengarah untuk menetapkan
menerima atau menolak inovasi. Menerima inovasi berarti sepenuhnya akan
menerapkan inovasi. Menolak inovasi berarti tidak akan menerapkan inovasi.
Sering terjadi seseorang akan menerima inovasi
setelah ia mencoba lebih dahulu. Bahkan jika mungkin mencoba sebagian kecil
lebih dahulu, baru kemudian dilanjutkan secara keseluruhan jika sudah terbukti
berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi tidak semua inovasi dapat dicoba
dengan dipecah menjadi beberapa bagian. Inovasi yang dapat dicoba bagian demi
bagian akan lebih cepat diterima.
Dapat juga terjadi percobaan cukup dilakukan
sekelompok orang, dan yang lain cukup mempercayai dengan hasil percobaan
temannya. Perlu diperhatikan bahwa dalam kenyataannya pada setiap tahap dalam
proses keputusan inovasi dapat terjadi penolakan inovasi. Misalnya penolakan
dapat terjadi pada awal tahap pengetahuan, dapat juga terjadi pada tahap
persuasi, mungkin juga terjadi setelah konfirmasi, dan sebagainya.
Ada dua macam penolakan inovasi yaitu:
a.
Penolakan aktif artinya penolakan inovasi
setelah melalui proses mempertimbangkan untuk menerima inovasi atau mungkin
sudah mencoba lebih dahulu, tetapi keputusan akhir menolak inovasi.
b. Penolakan
pasif artinya penolakan inovasi dengan tanpa pertimbangan sama sekali.
Dalam pelaksanaan difusi inovasi antara:
pengetahuan, persuasi dan keputusan inovasi sering berjalan bersamaan. Satu
dengan yang lain saling berkaitan. Bahkan untuk jenis inovasi tertentu dan
dalam kondisi tertentu dapat terjadi urutan: pengetahuan-keputusan inovasi-baru
persuasi.
4. Tahap
Implementasi.
Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi
terjadi apabila seseorang menerapkan inovasi. Dalam tahap implementasi ini
berlangsung keaktifan baik mental maupun perbuatan. Keputusan penerimaan
gagasan atau ide baru dibuktikan dalam praktik. Pada umumnya implementasi tentu
mengikuti hasil keputusan inovasi. Tetapi dapat juga terjadi karena sesuatu hal
sudah memutuskan menerima inovasi tidak diikuti implementasi. Biasanya hal ini
terjadi karena fasilitas penerapan yang tidak tersedia.
Kapan tahap implementasi berakhir? Mungkin tahap
ini berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tergantung dari keadaan inovasi
itu sendiri. Tetapi biasanya suatu tanda bahwa taraf implementasi inovasi
berakhir jika penerapan inovasi itu sudah melembaga atau sudah menjadi hal-hal yang
bersifat rutin. Sudah tidak merupakan hal yang baru lagi.
Dalam tahap implementasi dapat terjadi hal yang
disebut reinvention (invensi kembali) yaitu penerapan inovasi dengan mengadakan
perubahan atau modifikasi. Jadi penerapan inovasi tidak sesuai dengan aslinya.
Reinvensi bukan berarti hal yang tidak baik, tetapi terjadinya re-invensi dapat
merupakan kebijakan dalam pelaksanaan atau penerapan inovasi, dengan mengingat
kondisi dan situasi yang ada.
Hal-hal yang memungkinkan terjadinya re-invensi
antara lain: inovasi yang sangat komplek dan sulit dimengerti, penerima inovasi
kurang dapat memahami inovasi karena sulit untuk menemui agen pembaharu,
inovasi yang memungkinkan berbagai kemungkinan aplikasi, apabila inovasi
diterapkan untuk memecahkan masalah yang sangat luas, kebanggaan akan inovasi
yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu juga dapat menimbulkan re-invensi.
5. Tahap
Konfirmasi
Dalam tahap konfirmasi ini seseorang mencari
penguatan terhadap keputusan yang telah diambilnya, dan ia dapat menarik kembali
keputusannya jika memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi
semula. Tahap konfirmasi ini sebenarnya berlangsung secara berkelanjutan sejak
terjadi keputusan menerima atau menolak inovasi, yang berlangsung dalam waktu
yang tak terbatas. selama dalam tahap konfirmasi seseorang berusaha menghindari
terjadinya disonansi atau paling tidak berusaha menguranginya.
Terjadinya perubahan tingkah laku seseorang
antara lain disebabkan karena terjadinya ketidakseimbangan internal. Orang itu
merasa dalam dirinya ada sesuatu yang tidak sesuai atau tidak selaras yang
disebut disonansi, sehingga orang itu merasa tidak enak. Jika seseorang merasa
dalam dirinya terjadi disonansi, maka ia akan berusaha untuk menghilangkannya
atau paling tidak menguranginya dengan cara mengubah pengetahuannya, sikap atau
perbuatannya. Dalam hubungannya dengan difusi inovasi, usaha mengurangi disonansi
dapat terjadi:
a.
Apabila seseorang menyadari akan sesuatu
kebutuhan dan berusaha mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan misalnya dengan
mencari informasi tentang inovasi. Hal ini terjadi pada tahap pengetahuan dalam
proses keputusan inovasi.
b. Apabila
seseorang tahu tentang inovasi dan telah bersikap menyenangi inovasi tersebut,
tetapi belum menetapkan keputusan untuk menerima inovasi. Maka ia akan berusaha
untuk menerimanya, guna mengurangi adanya disonansi antara apa yang disenangi
dan diyakini dengan apa yang dilakukan. Hal ini terjadi pada tahap keputusan
inovasi, dan tahap implementasi dalam proses keputusan inovasi.
c.
Setelah seseorang menetapkan menerima dan
menerapkan inovasi, kemudian diajak untuk menolaknya. Maka disonansi ini dapat dikurangi dengan
cara tidak melanjutkan penerimaan dan penerapan inovasi (discontinuing). Ada
kemungkinan lagi seseorang telah menetapkan untuk menolak inovasi, kemudian
diajak untuk menerimanya. Maka usaha mengurangi disonansi dengan cara menerima
inovasi (mengubah keputusan semula). Perubahan ini terjadi (tidak meneruskan
inovasi atau mengikuti inovasi terlambat) pada tahap konfirmasi dari proses
keputusan inovasi.
Ketiga cara mengurangi disonansi tersebut,
berkaitan dengan perubahan tingkah laku seseorang sehingga antara sikap,
perasaan, pikiran, perbuatan yang sangat erat hubungannya bahkan sulit
dipisahkan karena saling mempengaruhi. Sehingga dalam kenyataan kadang-kadang
sulit orang akan mengubah keputusan yang sudah terlanjur mapan dan disenangi,
walaupun secara rasional diketahui ada kelemahannya. Oleh sebab itu untuk menghindari
timbulnya disonansi, maka ia hanya berusaha mencari informasi yang dapat
memperkuat keputusannya. Dengan kata lain orang itu melakukan seleksi informasi
dalam tahap konfirmasi (selective exposure).
Untuk menghindari terjadinya drop out dalam
penerimaan dan implementasi inovasi (discontinue) peranan agen pembaharu sangat
dominan. Tanpa ada monitoring dan penguatan orang akan mudah terpengaruh pada
informasi negatif mengenai inovasi.
Demikianlah uraian dari kelima tahap dari proses
keputusan inovasi opsional, yang terjadi pada individu atau unit pengambil
keputusan. Proses ini terutama terjadi dalam proses difusi inovasi yang sasaran
utamanya adalah anggota sistem sosial secara pribadi (perorangan) bukan
sebagai kesatuan organisasi. Misalnya untuk difusi inovasi pendidikan yaitu
penggunaan pendekatan keterampilan proses dalam mengajar, maka sasaran utamanya
adalah guru-guru. Selain dalam bidang pendidikan dapat juga dipakai dalam
lapangan pertanian sebagai bahan pemikiran atau perbandingan dalam pelaksanaan
difusi inovasi pendidikan, karena pola proses terjadinya perubahan pada tiap
individu tetap sama, hanya perbedaannya kalau inovasi pertanian mungkin setiap
petani dapat membuat perbedaan keputusan yang ada yaitu menolak atau menerima
tetapi kalau guru tentu semuanya menerima dan mau melaksanakan, karena terikat
kedinasan, tetapi secara pribadi tetap dapat berlaku tahap-tahap proses
keputusan inovasi.
D.
Tipe Keputusan
Inovasi
Inovasi dapat diterima
atau ditolak oleh seseorang (individu) sebagai anggota sistem sosial,
atau oleh keseluruhan anggota sistem sosial, yang menentukan untuk
menerima inovasi berdasarkan keputusan bersama atau berdasarkan paksaan
(kekuasaan). Dengan dasar kenyataan tersebut maka dapat dibedakan adanya
beberapa tipe keputusan inovasi[10]:
1)
Keputusan inovasi opsional, yaitu pemilihan
menerima atau menolak inovasi, berdasarkan keputusan yang ditentukan oleh
individu (seseorang) secara mandiri tanpa tergantung atau terpengaruh dorongan
anggota system sosial yang lain. Meskipun dalam hal ini individu mengambil
keputusan itu berdasarkan norma sistem sosial atau hasil komunikasi
interpersonal dengan anggota sistem sosial yang lain. Jadi hakekat pengertian
keputusan inovasi opsional ialah individu yang berperan sebagai pengambil
keputusan untuk menerima atau menolak suatu inovasi.
2)
Keputusan inovasi kolektif, ialah pemilihan
untuk menerima atau menolak inovasi, berdasarkan keputusan yang dibuat secara
bersama-sama berdasarkan kesepakatan anatar anggota sistem sosial. Semua
anggota sistem sosial harus mentaati keputusan bersama yang telah dinuatnya.
Misalnya, atas kesepakatan waraga masyarakat di setipa RT untuk tidak membuang
sampah di sungai, yang kemudian disahkan pada rapat antar ketua RT dalam satu
wialyah RW. Maka konsekuensinya semua warga RW tersebut harus mentaati
keputusan yang telah dibuat tersebut, walaupun mungkin secara pribadi masih ada
beberapa individu yang masih berkeberatan.
3)
Keputusan inovasi otoritas, ialah pemilihan
untuk menerima atau menolak inovasi, berdasarkan keputusan yang dibuat oleh
seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai kedudukan, status, wewenang atau
kemampuan yang lebih tinggi daripada anggota yang lain dalam suatu sistem
sosial. Para anggota sama sekali tidak mempunyai pengaruh atau peranan dalam
membuat keputusan inovasi. Para anggota sistem sosial tersebut hanya
melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh unit pengambil keputusan. Misalnya
seorang pimpinan perusahaan memutuskan agar sejak tanggal 1 Januari semua
pegawai harus memakai seragam biru putih. Maka semua pegawai sebagai anggota
sistem sosial di perusahaan itu harus tinggal melaksanakan apa yang telah
diputuskan oleh atasannya.
Ketiga tipe keputusan inovasi tersebut
merupakan rentangan (continuum) dari keputusan opsional (individu
dengan penuh tanggung jawab secara mandiri mengambil keputusan),
dilanjutkan dengan keputusan kolektif (individu memperoleh sebagian
wewenang untuk mengambil keputusan), dan yang terakhir keputusan
otoritas (individu sama sekali tidak mempunyai hak untuk ikut mengambil
keputusan). Keputusan kolektif dan otoritas banyak digunakan dalam
organisasi formal, seperti peruasahaan, sekaolah, perguruan tinggi,
organisasi pemerintahan, dan sebagainya. Sedangkan keputusan opsional
sering digunakan dalam penyebaran inovasi kepada petani, konsumen, atau
inovasi yang sasarannya anggota masyarakat sebagai individu bukan
sebagai anggota organisasi tertentu.
Biasanya yang paling cepat diterimanya
inovasi dengan menggunakan tipe keputusan otoritas, tetapi masih juga
tergantung pada bagaimana pelaksanaannya. Sering terjadi juga kebohongan
dalam pelaksanaan keputusan otoritas. Dapat juga terjadi bahawa
keputusan opsional lebih cepat dari keputusan kolektif, jika ternyata
untuk membuat kesepakatan dalam musyawarah antara anggota sistem sosial
mengalami kesukaran. Cepat lambatnya difusi inovasi tergantung pada
berbagai faktor.
Tipe keputusan yang digunakan untuk
menyebarluaskan suatu inovasi dapat juga berubah dalam waktu tertentu.
Rogers memberi contoh inovasi penggunaan tali pengaman bagi pengendara
mobil (automobil seat belts). Pada mulanya pemasangan seatbelt di
mobil diserahkan kepada pemiliki kendaraan yang mampu membiayai
pemasangannya. Jadi menggunakan keputusan opsional. Kemudian pada tahun
berikutnya peraturan pemerintah mempersyaratkan semua mobil baru harus
dilengkapi dengan tali pengaman. Jadi keputusan inovasi pemasangan tali
pengaman dibuat secara kolektif. Kemudian banyak reaksi terhadap
peraturan ini, sehingga pemerintah kembali kepada peraturan lama
keputusan menngunakan tali pengaman diserahkan kepada tiap individu
(tipe keputusan opsional).
4)
Keputusan inovasi kontingensi (contingent)
yaitu pemilihan menerima atau menolak suatu inovasi, baru dapat dilakukan hanya
setelah ada keputusan inovasi yang mendahuluinya. Misalnya di sebuah perguruan
tinggi, seorang dosen tidak mungkin untuk memutuskan secara opsional untuk
memakai komputer sebelum didahului keputusan oleh pimpinan fakultasnya untuk
melengkapi peralatan fakultas dengan komputer. Jadi ciri pokok dari keputusan
inovasi kontingen ialah digunakannya dua atau lebih keputusan inovasi secara
bergantian untuk menangani suatu difusi inovasi, terserah yang mana yang akan
digunakan dapat keputusan opsional, kolektif atau otoritas. Sistem sosial
terlibat secara langsung dalam proses keputusan inovasi kolektif, otoritas dan
kontingen, dan mungkin tidak secara langsung terlibat dalam keputusan inovasi
opsional.
[1]
Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), h.295
[2]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), h. 333
[3]
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama Islam), (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 189-190
[4]
Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran, h.296
[5]
Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran, h.298
[6]
Udin Syaefudin Sa’ud, Inovasi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), h.
35
[7] Ibrahim,
Inovasi Pendidikan. (Jakarta: Depdikbud Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1988), h.87-88
[8] Ibid.,
[9]
Udin Syaefudin Sa’ud, Inovasi Pendidikan…h. 36-41
[10]
Udin Syaefudin Sa’ud, Inovasi Pendidikan…h. 41-43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar