Minggu, 12 Juni 2016

INOVASI



A.    Pengertian Inovasi
Inovasi berasal dari kata Latin, innovation yang berarti pembaruan dan perubahan. Inovasi adalah suatu perubahan baru menuju ke arah perbaikan atau berbeda dari yang ada sebelumnya, dilakukan dengan sengaja dan berencana, Keberanian bertindak untuk melakukan suatu inovasi tidak pernah berakhir walaupun hal tersebut bukan suatu hal yang mudah dilaksanakan.[1]
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, inovasi di artikan pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru; penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode atau alat).[2]
Maksud kata “baru” dalam pengertian tersebut adalah apa saja yang belum dipahami, diterima, dan dilaksanakan oleh si penerima inovasi meskipun mungkin bukan merupakan hal yang baru lagi bagi orang lain. Dalam konteks ini, pengertian inovasi disamakan dengan pembaruan meskipun pada esensinya inovasi dengan pembaruan punya pengertian yang sedikit berbeda. Biasanya pada inovasi perubahan-perubahan menyangkut aspek-aspek tertentu, dalam arti lebih sempit dan terbatas.[3]
Kita sering kali menemukan kasus seseorang memiliki gagasan baru yang cemerlang, namun gagasan tersebut berhenti dalam bentuk pemikiran yang tidak tertuang dalam suatu tindakan nyata dalam upaya perbaikan kualitas pendidikan, bahkan acapkali pula mati di dalam pikirannya sendiri. Hal ini dapat disebabkan oleh karena ia ragu-ragu atau tidak berani mengemukakan atau berbagi gagasan tersebut dengan orang lain, Atau, seseorang mempunyai gagasan yang baik tetapi kemudian setelah diluncurkan ternyata tidak dapat diterima oleh lingkungan kerjanya. Ada kalanya gagasan baru tersebut telah diluncurkan dan digunakan oleh suatu institusi pendidikan, tetapi kemudian berhenti penggunaannya sehingga tidak dapat menjamin kelangsungan penerapannya secara berkelanjutan. Ada kalanya pula suatu gagasan diluncurkan dan pada awalnya ditolak oleh orang lain. Namun setelah melalui jangka waktu tertentu, gagasan tersebut diterima dan dipergunakan secara berkelanjutan. Ilustrasi tersebut menggambarkan betapa suatu inovasi dalam bukan suatu hal yang sederhana dan mudah dilaksanakan.
Inovasi adalah suatu objek atau gagasan yang dianggap baru oleh individu atau unit yang mengadopsi. Dengan kata lain inovasi berarti sebagai ide, temuan, cara, atau objek yang dianggap baru oleh individu, organisasi, atau sistem sosial. Kata 'baru' dapat diartikan apa saja yang baru dipahami, diterima, atau dilaksanakan oleh penerima inovasi. Kebaruan ini mungkin menyangkut pengetahuan, sikap, dan adopsi atau penolakan terhadap gagasan tersebut. Oleh karena itu, inovasi dapat berupa gagasan, tindakan, benda, atau teknologi yang dipandang baru oleh yang akan menerima inovasi tersebut.
Kebaruan tersebut dapat pada tingkat 'ketahuan', tingkat sikap kesiapan untuk menerima, atau tingkat perilaku penerapannya. Seandainya suatu inovasi diterima oleh suatu lingkungan pendidikan, apakah otomatis inovasi tersebut benar­ benar diterapkan oleh setiap warga pendidikan dalam bekerja sehari-hari? Jawabnya adalah belum tentu, bahkan pasti tidak otomatis. Lalu, apa strategi yang tepat untuk menerapkan inovasi secara efektif? Ketepatan atau tidaknya strategi tersebut akan menentukan terjadi tidaknya perubahan ke arah perbaikan atau perubahan yang diharapkan.[4]
Dalam konteks teknologi pembelajaran, motivasi mengacu kepada pemanfaatan teknologi canggih, baik perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware) dalam proses pembelajaran. Tujuan utama aplikasi tekno1ogi baru itu adalah untuk meningkatkan mutu, efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Metode dan strategi pembelajaran juga merupakan sebuah inovasi dalam pembelajaran.
Dalam suatu sistem pendidikan, komponen guru memegang peran kunci dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Guru/pendidik yang baik adalah makhluk yang kreatif sehingga pada umumnya para guru yang baik selalu mencari pendekatan atau strategi baru dalam pembelajaran. Pencarian pendekatan atau strategi baru. Wujud, bentuk, dan upaya inovasi ini dapat bermacam-macam. Namun demikian, semuanya memiliki tujuan umum yang sama, yaitu terwujudnya suatu proses pembelajaran berkualitas sehingga dapat meningkatkan kompetensi, kemampuan, keterampilan, dan daya saing peserta didik suatu program pendidikan pada jenjang, jenis, maupun jalur pendidikan.
Inovasi dapat terwujud pada modus pendidikan apa pun, baik yang menggunakan sistem tatap muka maupun Jarak jauh. Pada sistem pendidikan tatap muka, berbagai movasi dapat dilakukan yang berkaitan dengan metode pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran, sistem insentif untuk para pendidik, sistem manajemen berbasis sekolah, atau penerapan prinsip-prinsip manajemen kualitas total dalam pengelolaan pendidikan.
Salah satu contoh inovasi dalam pendidikan tinggi adalah penerapan program pekerti/AA (Applied Approach), yaitu upaya peningkatan kemampuan membelajarkan bagi para dosen yunior di seluruh Indonesia. Pada sistem pendidikan jarak jauh yang berbasis korespondensi, inovasi dapat dilakukan dengan penerapan teknologi baru, seperti belajar elektronik, penerapan sistem tutonal serta bantuan belajar bagi mahasiswa dengan menggunakan media berbasis teknologi informasi dan internet.[5]
Bentuk inovasi dalam sistem pembelajaran dapat bervariasi, namun mengarah pada tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran bagi perserta didik. Inovasi harus berpusat atau bertitik tolak dan diciptakan atas dasar kesesuaiannya dengan peserta didik. Inovasi selalu menciptakan perubahan yang dinamis dari waktu ke waktu dan lingkungan budaya yang satu ke lingkungan budaya yang lain dan peserta didik.
B.     Pengertian Proses Keputusan Inovasi
Proses keputusan inovasi ialah proses yang dilalui (dialami) individu (unit pengambil keputusan yang lain), mulai dari pertama tahu adanya inovasi, kemudian dilanjutkan dengan keputusan setuju terhadap inovasi, penetapan keputusan menerima atau menolak inovasi, implementasi inovasi, dan konfirmasi terhadap keputusan inovasi yang telah diambilnya. Proses keputusan inovasi bukan kegiatan yang dapat berlangsung seketika, tetapi merupakan serangkaian kegiatan yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu, sehingga individu atau organisasi dapat menilai gagasan yang baru itu sebagai bahan pertimbangan untuk selanjutnya akan menolak atau menerima inovasi dan menerapkannya. Ciri pokok keputusan inovasi yang merupakan perbedaannya dengan tipe keputusan yang lain ialah dimulai dengan adanya ketidaktentuan (uncertainty) tentang suatu inovasi.[6]
Misalnya kita harus mengambil keputusan antara menghadiri rapat atau bermain olah raga, maka kita sudah tahu apa yang akan dilakukan jika olah raga begitu pula apa yang akan dilakukan jika menghadiri rapat. Rapat dan olah raga bukan hal yang baru. Pertimbangan dalam mengambil keputusan mana yang paling menguntungkan sesuai dengan kondisi saat itu. Keputusan ini bukan keputusan inovasi.
Tetapi jika kita harus mengambil keputusan untuk mengganti penggunaan kompor minyak dengan kompor gas, yang sebelumnya belum pernah tahu tentang kompor gas, maka keputusan ini adalah keputusan inovasi. Proses pengambilan keputusan mau atau tidak mau menggunakan kompor gas, dimulai dengan adanya serba ketidak tentuan tentang kompor gas. Masih terbuka bebagai alternatif, mungkin lebih bersih, lebih hemat, lebih tahan lama, tetapi juga mungkin berbahaya, dan sebagainya. Untuk sampai pada keputusan yang mantap menerima atau menolak kompor gas perlu informasi. Dengan kejelasan informasi akan mengurangi ketidak tentuan dan berani mengambil keputusan.
Menurut Ibrahim, Proses keputusan inovasi pendidikan adalah proses yang dilalui atau dialami oleh individu atau unit pengambilan keputusan lain, mulai dari pertama kali mengetahui adanya inovasi pendidikan hingga mengimplementasikan dan mengkonfirmasikan terhadap keputusan inovasi dalam bidang pendidikan yang telah diambil [7].
Proses keputusan inovasi pendidikan ini merupakan serangkaian kegiatan yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan tidak berlangsung seketika sehingga seseorang atau sekelompok orang (organisasi) dapat menilai dan mempertimbangkan inovasi pendidikan yang ditawarkan kemudian mengambil keputusan untuk menerima dan menerapkan atau menolaknya[8].

C.    Model Proses Keputusan Inovasi
Menurut Roger, proses keputusan inovasi terdiri dari 5 tahap, yaitu (1) tahap pengetahuan, (2) tahap bujukan, (3) tahap keputusan, (4) tahap implementasi, dan (5) tahap konfirmasi.[9]

1.      Tahap Pengetahuan (Knowledge)
Proses keputusan inovasi dimulai dengan tahap pengetahuan, yaitu tahap pada saat seseorang menyadari adanya suatu inovasi dan ingin tahu bagaimana fungsi inovasi tersebut. Pengertian menyadari dalam hal ini bukan memahami tetapi membuka diri untuk mengetahui inovasi.
Seseorang menyadari atau membuka diri terhadap suatu inovasi tentu dilakukan secara aktif bukan secara pasif. Misalnya pada acara siaran televise disebut berbagai macam acara, salah satu menyebutkan bahwa jam 19.30 akan ada siaran tentang metode baru cara mengajar berhitung di Taman Kanak-kanak. Guru A mendengar dan melihat acara tersebut kemudian sadar bahwa ada metode baru serta membuka dirinya untuk mengetahui apa dan bagaimana metode tersebut, maka pada guru A tersebut sudah mulai proses keputusan inovasi pada tahap pengetahuan. Sedangkan guru B walaupun mendengar dan melihat acara TV, tidak ada keinginan untuk tahu, maka belum terjadi proses keputusan inovasi.
Seseorang menyadari perlunya mengetahui inovasi biasanya tentu berdasarkan pengamatannya tentang inovasi itu sesuai dengan kebutuhannya, minatnya atau mungkin juga kepercayaannya. Seperti contoh Guru A tersebut, berarti ia ingin tahu metode baru berhitung karena ia memerlukannya. Adanya inovasi menumbuhkan kebutuhan. Karena kebetulan ia merasa butuh. Tetapi mungkin juga terjadi bahwa karena seseorang butuh sesuatu untuk memenuhinya diadakan inovasi. Dalam kenyataan dimasyarakat, hal yang kedua ini jarang terjadi karena banyak orang tidak tahu apa yang diperlukan. Apalagi dalam bidang pendidikan, yang dapat merasakan perlunya adanya perubahan biasanya orang yang ahli, sedangkan guru sendiri belum tentu mau menerima perubahan atau inovasi yang sebenarnya diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan tugasnya. Sebagaimana hal yang menurut dokter, kita perlu makan vitamin, tetapi kita tidak menginginkannya, dan sebaliknya sebenarnya kita ingin sate tetapi menurut dokter justru sate membahayakan kita.
Setelah seseorang menyadari adanya inovasi dan membuku dirinya untuk mengetahui inovasi, maka keaktifan untuk memenuhi kebutuhan ingin tahu tentang inovasi itu bukan hanya berlangsung pada tahap pengetahuan saja tetapi juga pada tahap yang lain bahkan sampai tahap konfirmasi masih ada keinginan untuk mengetahui aspek-aspek tertentu dari inovasi.
Pada permulaannya ingin tahu tentang apa, mengapa dan bagaimana cara bekerjanya. Pada tahap persuasi ingin tahu lebih jauh lagi tentang bagaimana cara menggunakannya yang besar. Syarat-syarat yang diperlukan dan sebagainya. Makin komplek suatu inovasi maka makin banyak dari komplek juga harus diketahui. Kemudian dapat berkembang lebih mendalami lagi yang ingin diketahui yaitu bagaimana prinsip-prinsip penggunaannya. Dalam hal ini ada kaitannya dengan dasar teorinya. Makin jelas dan makin dalam seseorang mengetahui inovasi akan makin kuat landasan untuk menerima atau menolak suatu inovasi.
Berkaitan dengan pengetahuan tentang inovasi, ada generalisasi (prinsip-prinsip umum) tentang orang yang awal mengetahui tentang inovasi:
a.        Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih tinggi status sosialnya daripada yang akhir.
b.       Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih tinggi status sosial ekonominya daripada yang akhir.
c.        Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih terbuka terhadap media masa dari pada yang akhir.
d.       Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi terbuka terhadap komunikasi interpersonal, dari pada yang akhir.
e.        Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih banyak kontak dengan agen pembaharu dari pada yang akhir.
f.        Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih banyak berpartisipasi dalam sistem sosial daripada yang akhir.
g.       Orang yang lebih awal tahu tentang inovasi lebih cosmopolitan dari pada yang akhir.
Perlu diketahui juga bahwa tahu tentang inovasi tidak sama dengan melaksanakan atau menerapkan inovasi. Banyak orang yang tahu tetapi tidak melaksanakan, dengan bagaimana kemungkinan penyebabnya.

2.      Tahap Bujukan (persuasi).
Pada tahap persuasi dari proses keputusan inovasi, seseorang membentuk sikap menyenangi atau tidak menyenangi terhadap inovasi. Jika pada tahap pengetahuan proses kegiatan mental yang utama bidang kognitif, maka pada tahap persuasi yang berperan yang berperan utama bidang afektif atau perasaan. Seseorang tidak dapat menyenangi inovasi sebelum ia tahu lebih dulu tentang inovasi.
Dalam tahap persuasi ini lebih banyak keaktifan mental yang memegang peran. Seseorang akan berusaha mengetahui lebih banyak tentang inovasi, dan menafsirkan informasi yang diterimanya. Pada tahap ini berlangsung seleksi informasi disesuaikan dengan kondisi dan sifat pribadinya. Di sinilah peranan karakteristik inovasi dalam mempengaruhi proses kebutuhan inovasi.
Dalam tahap persuasi ini juga sangat penting peran kemampuan untuk mengantisipasi kemungkinan penerapan inovasi di masa datang. Perlu ada kemampuan untuk memproyeksikan penerapan inovasi dalam pemikiran berdasarkan kondisi dan situasi yang ada. Untuk mempermudah proses mental ini, perlu adanya gambaran yang jelas tentang bagaimana pelaksanaan inovasi , jika mungkin sampai pada konsekuensi inovasi.
Hasil dari tahap persuasi yang utama ialah adanya penentuan menyenangi atau tidak menyenangi inovasi. Diharapkan hasil tahap persuasi akan mengarahkan proses keputusan inovasi atau dengan kata lain kecenderungan kesesuaian antara menyenangi inovasi dan menerapkan inovasi. Namun perlu diketahui bahwa sebenarnya antara sikap dan aktivitas masih ada jarak. Orang menyenangi inovasi belum tentu ia menerapkan inovasi. Ada jarak atau kesenjangan antara pengetahuan-sikap dan penerapan (praktik). Misalnya seorang guru tahu tentang metode diskusi, tahu cara menggunakannya, dan senang seandainya menggunakan, tetapi ia tidak pernah menggunakan, karena beberapa faktor seperti tempat duduknya tidak memungkinkan, jumlah siswanya terlalu besar, dan takut bahan pelajarannya tidak akan dapat disajikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Perlu ada bantuan pemecahan masalah.
Dalam penerapan inovasi ada pula yang disebut preventive innovation (inovasi preventif) yaitu seseorang menerapkan inovasi karena ingin terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Misalnya keluarga berencana, penggunaan helm, mengikuti asuransi, dan sebagainya.

3.      Tahap Keputusan
Tahap keputusan dari proses keputusan inovasi, berlangsung jika seseorang melakukan kegiatan yang mengarah untuk menetapkan menerima atau menolak inovasi. Menerima inovasi berarti sepenuhnya akan menerapkan inovasi. Menolak inovasi berarti tidak akan menerapkan inovasi.
Sering terjadi seseorang akan menerima inovasi setelah ia mencoba lebih dahulu. Bahkan jika mungkin mencoba sebagian kecil lebih dahulu, baru kemudian dilanjutkan secara keseluruhan jika sudah terbukti berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi tidak semua inovasi dapat dicoba dengan dipecah menjadi beberapa bagian. Inovasi yang dapat dicoba bagian demi bagian akan lebih cepat diterima.
Dapat juga terjadi percobaan cukup dilakukan sekelompok orang, dan yang lain cukup mempercayai dengan hasil percobaan temannya. Perlu diperhatikan bahwa dalam kenyataannya pada setiap tahap dalam proses keputusan inovasi dapat terjadi penolakan inovasi. Misalnya penolakan dapat terjadi pada awal tahap pengetahuan, dapat juga terjadi pada tahap persuasi, mungkin juga terjadi setelah konfirmasi, dan sebagainya.
Ada dua macam penolakan inovasi yaitu:
a.        Penolakan aktif artinya penolakan inovasi setelah melalui proses mempertimbangkan untuk menerima inovasi atau mungkin sudah mencoba lebih dahulu, tetapi keputusan akhir menolak inovasi.
b.       Penolakan pasif artinya penolakan inovasi dengan tanpa pertimbangan sama sekali.
Dalam pelaksanaan difusi inovasi antara: pengetahuan, persuasi dan keputusan inovasi sering berjalan bersamaan. Satu dengan yang lain saling berkaitan. Bahkan untuk jenis inovasi tertentu dan dalam kondisi tertentu dapat terjadi urutan: pengetahuan-keputusan inovasi-baru persuasi.

4.      Tahap Implementasi.
Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila seseorang menerapkan inovasi. Dalam tahap implementasi ini berlangsung keaktifan baik mental maupun perbuatan. Keputusan penerimaan gagasan atau ide baru dibuktikan dalam praktik. Pada umumnya implementasi tentu mengikuti hasil keputusan inovasi. Tetapi dapat juga terjadi karena sesuatu hal sudah memutuskan menerima inovasi tidak diikuti implementasi. Biasanya hal ini terjadi karena fasilitas penerapan yang tidak tersedia.
Kapan tahap implementasi berakhir? Mungkin tahap ini berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tergantung dari keadaan inovasi itu sendiri. Tetapi biasanya suatu tanda bahwa taraf implementasi inovasi berakhir jika penerapan inovasi itu sudah melembaga atau sudah menjadi hal-hal yang bersifat rutin. Sudah tidak merupakan hal yang baru lagi.
Dalam tahap implementasi dapat terjadi hal yang disebut reinvention (invensi kembali) yaitu penerapan inovasi dengan mengadakan perubahan atau modifikasi. Jadi penerapan inovasi tidak sesuai dengan aslinya. Reinvensi bukan berarti hal yang tidak baik, tetapi terjadinya re-invensi dapat merupakan kebijakan dalam pelaksanaan atau penerapan inovasi, dengan mengingat kondisi dan situasi yang ada.
Hal-hal yang memungkinkan terjadinya re-invensi antara lain: inovasi yang sangat komplek dan sulit dimengerti, penerima inovasi kurang dapat memahami inovasi karena sulit untuk menemui agen pembaharu, inovasi yang memungkinkan berbagai kemungkinan aplikasi, apabila inovasi diterapkan untuk memecahkan masalah yang sangat luas, kebanggaan akan inovasi yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu juga dapat menimbulkan re-invensi.

5.      Tahap Konfirmasi
Dalam tahap konfirmasi ini seseorang mencari penguatan terhadap keputusan yang telah diambilnya, dan ia dapat menarik kembali keputusannya jika memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi semula. Tahap konfirmasi ini sebenarnya berlangsung secara berkelanjutan sejak terjadi keputusan menerima atau menolak inovasi, yang berlangsung dalam waktu yang tak terbatas. selama dalam tahap konfirmasi seseorang berusaha menghindari terjadinya disonansi atau paling tidak berusaha menguranginya.
Terjadinya perubahan tingkah laku seseorang antara lain disebabkan karena terjadinya ketidakseimbangan internal. Orang itu merasa dalam dirinya ada sesuatu yang tidak sesuai atau tidak selaras yang disebut disonansi, sehingga orang itu merasa tidak enak. Jika seseorang merasa dalam dirinya terjadi disonansi, maka ia akan berusaha untuk menghilangkannya atau paling tidak menguranginya dengan cara mengubah pengetahuannya, sikap atau perbuatannya. Dalam hubungannya dengan difusi inovasi, usaha mengurangi disonansi dapat terjadi:
a.        Apabila seseorang menyadari akan sesuatu kebutuhan dan berusaha mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan misalnya dengan mencari informasi tentang inovasi. Hal ini terjadi pada tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi.
b.       Apabila seseorang tahu tentang inovasi dan telah bersikap menyenangi inovasi tersebut, tetapi belum menetapkan keputusan untuk menerima inovasi. Maka ia akan berusaha untuk menerimanya, guna mengurangi adanya disonansi antara apa yang disenangi dan diyakini dengan apa yang dilakukan. Hal ini terjadi pada tahap keputusan inovasi, dan tahap implementasi dalam proses keputusan inovasi.
c.        Setelah seseorang menetapkan menerima dan menerapkan inovasi, kemudian diajak untuk menolaknya. Maka disonansi ini dapat dikurangi dengan cara tidak melanjutkan penerimaan dan penerapan inovasi (discontinuing). Ada kemungkinan lagi seseorang telah menetapkan untuk menolak inovasi, kemudian diajak untuk menerimanya. Maka usaha mengurangi disonansi dengan cara menerima inovasi (mengubah keputusan semula). Perubahan ini terjadi (tidak meneruskan inovasi atau mengikuti inovasi terlambat) pada tahap konfirmasi dari proses keputusan inovasi.
Ketiga cara mengurangi disonansi tersebut, berkaitan dengan perubahan tingkah laku seseorang sehingga antara sikap, perasaan, pikiran, perbuatan yang sangat erat hubungannya bahkan sulit dipisahkan karena saling mempengaruhi. Sehingga dalam kenyataan kadang-kadang sulit orang akan mengubah keputusan yang sudah terlanjur mapan dan disenangi, walaupun secara rasional diketahui ada kelemahannya. Oleh sebab itu untuk menghindari timbulnya disonansi, maka ia hanya berusaha mencari informasi yang dapat memperkuat keputusannya. Dengan kata lain orang itu melakukan seleksi informasi dalam tahap konfirmasi (selective exposure).
Untuk menghindari terjadinya drop out dalam penerimaan dan implementasi inovasi (discontinue) peranan agen pembaharu sangat dominan. Tanpa ada monitoring dan penguatan orang akan mudah terpengaruh pada informasi negatif mengenai inovasi.
Demikianlah uraian dari kelima tahap dari proses keputusan inovasi opsional, yang terjadi pada individu atau unit pengambil keputusan. Proses ini terutama terjadi dalam proses difusi inovasi yang sasaran utamanya adalah anggota sistem sosial secara pribadi (perorangan) bukan sebagai kesatuan organisasi. Misalnya untuk difusi inovasi pendidikan yaitu penggunaan pendekatan keterampilan proses dalam mengajar, maka sasaran utamanya adalah guru-guru. Selain dalam bidang pendidikan dapat juga dipakai dalam lapangan pertanian sebagai bahan pemikiran atau perbandingan dalam pelaksanaan difusi inovasi pendidikan, karena pola proses terjadinya perubahan pada tiap individu tetap sama, hanya perbedaannya kalau inovasi pertanian mungkin setiap petani dapat membuat perbedaan keputusan yang ada yaitu menolak atau menerima tetapi kalau guru tentu semuanya menerima dan mau melaksanakan, karena terikat kedinasan, tetapi secara pribadi tetap dapat berlaku tahap-tahap proses keputusan inovasi.

D.    Tipe Keputusan Inovasi
Inovasi dapat diterima atau ditolak oleh seseorang (individu) sebagai anggota sistem sosial, atau oleh keseluruhan anggota sistem sosial, yang menentukan untuk menerima inovasi berdasarkan keputusan bersama atau berdasarkan paksaan (kekuasaan). Dengan dasar kenyataan tersebut maka dapat dibedakan adanya beberapa tipe keputusan inovasi[10]:
1)        Keputusan inovasi opsional, yaitu pemilihan menerima atau menolak inovasi, berdasarkan keputusan yang ditentukan oleh individu (seseorang) secara mandiri tanpa tergantung atau terpengaruh dorongan anggota system sosial yang lain. Meskipun dalam hal ini individu mengambil keputusan itu berdasarkan norma sistem sosial atau hasil komunikasi interpersonal dengan anggota sistem sosial yang lain. Jadi hakekat pengertian keputusan inovasi opsional ialah individu yang berperan sebagai pengambil keputusan untuk menerima atau menolak suatu inovasi.
2)        Keputusan inovasi kolektif, ialah pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi, berdasarkan keputusan yang dibuat secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan anatar anggota sistem sosial. Semua anggota sistem sosial harus mentaati keputusan bersama yang telah dinuatnya. Misalnya, atas kesepakatan waraga masyarakat di setipa RT untuk tidak membuang sampah di sungai, yang kemudian disahkan pada rapat antar ketua RT dalam satu wialyah RW. Maka konsekuensinya semua warga RW tersebut harus mentaati keputusan yang telah dibuat tersebut, walaupun mungkin secara pribadi masih ada beberapa individu yang masih berkeberatan.
3)        Keputusan inovasi otoritas, ialah pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi, berdasarkan keputusan yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai kedudukan, status, wewenang atau kemampuan yang lebih tinggi daripada anggota yang lain dalam suatu sistem sosial. Para anggota sama sekali tidak mempunyai pengaruh atau peranan dalam membuat keputusan inovasi. Para anggota sistem sosial tersebut hanya melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh unit pengambil keputusan. Misalnya seorang pimpinan perusahaan memutuskan agar sejak tanggal 1 Januari semua pegawai harus memakai seragam biru putih. Maka semua pegawai sebagai anggota sistem sosial di perusahaan itu harus tinggal melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh atasannya.
Ketiga tipe keputusan inovasi tersebut merupakan rentangan (continuum) dari keputusan opsional (individu dengan penuh tanggung jawab secara mandiri mengambil keputusan), dilanjutkan dengan keputusan kolektif (individu memperoleh sebagian wewenang untuk mengambil keputusan), dan yang terakhir keputusan otoritas (individu sama sekali tidak mempunyai hak untuk ikut mengambil keputusan). Keputusan kolektif dan otoritas banyak digunakan dalam organisasi formal, seperti peruasahaan, sekaolah, perguruan tinggi, organisasi pemerintahan, dan sebagainya. Sedangkan keputusan opsional sering digunakan dalam penyebaran inovasi kepada petani, konsumen, atau inovasi yang sasarannya anggota masyarakat sebagai individu bukan sebagai anggota organisasi tertentu.
Biasanya yang paling cepat diterimanya inovasi dengan menggunakan tipe keputusan otoritas, tetapi masih juga tergantung pada bagaimana pelaksanaannya. Sering terjadi juga kebohongan dalam pelaksanaan keputusan otoritas. Dapat juga terjadi bahawa keputusan opsional lebih cepat dari keputusan kolektif, jika ternyata untuk membuat kesepakatan dalam musyawarah antara anggota sistem sosial mengalami kesukaran. Cepat lambatnya difusi inovasi tergantung pada berbagai faktor.
Tipe keputusan yang digunakan untuk menyebarluaskan suatu inovasi dapat juga berubah dalam waktu tertentu. Rogers memberi contoh inovasi penggunaan tali pengaman bagi pengendara mobil (automobil seat belts). Pada mulanya pemasangan seatbelt di mobil diserahkan kepada pemiliki kendaraan yang mampu membiayai pemasangannya. Jadi menggunakan keputusan opsional. Kemudian pada tahun berikutnya peraturan pemerintah mempersyaratkan semua mobil baru harus dilengkapi dengan tali pengaman. Jadi keputusan inovasi pemasangan tali pengaman dibuat secara kolektif. Kemudian banyak reaksi terhadap peraturan ini, sehingga pemerintah kembali kepada peraturan lama keputusan menngunakan tali pengaman diserahkan kepada tiap individu (tipe keputusan opsional).
4)        Keputusan inovasi kontingensi (contingent) yaitu pemilihan menerima atau menolak suatu inovasi, baru dapat dilakukan hanya setelah ada keputusan inovasi yang mendahuluinya. Misalnya di sebuah perguruan tinggi, seorang dosen tidak mungkin untuk memutuskan secara opsional untuk memakai komputer sebelum didahului keputusan oleh pimpinan fakultasnya untuk melengkapi peralatan fakultas dengan komputer. Jadi ciri pokok dari keputusan inovasi kontingen ialah digunakannya dua atau lebih keputusan inovasi secara bergantian untuk menangani suatu difusi inovasi, terserah yang mana yang akan digunakan dapat keputusan opsional, kolektif atau otoritas. Sistem sosial terlibat secara langsung dalam proses keputusan inovasi kolektif, otoritas dan kontingen, dan mungkin tidak secara langsung terlibat dalam keputusan inovasi opsional.


[1] Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.295
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 333
[3] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 189-190
[4] Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran, h.296
[5] Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran, h.298
[6] Udin Syaefudin Sa’ud, Inovasi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 35
[7] Ibrahim, Inovasi Pendidikan. (Jakarta: Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1988), h.87-88
[8] Ibid.,
[9] Udin Syaefudin Sa’ud, Inovasi Pendidikan…h. 36-41
[10] Udin Syaefudin Sa’ud, Inovasi Pendidikan…h. 41-43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar