A.
Islam dan Dunia
Kekinian
Ketika membahas globalisasi,
otomatis tak bisa terelakkan dengan yang namanya teknologi komunikasi. Sekarang
ini, dunia dengan segala perkembangannya dan kecanggihannya, sulit untuk
membedakan, mana yang dilegalkan oleh agama dan mana yang tidak. Karena, dalam
bentuk apapun sesuatu sudah terfasilitasi dengan mudah dan cepat. Mulai
yang berbentuk ibadah atau bahkan yang berbentuk kriminal. Dari sini, tinggal
diarahkan kemana manfaat teknologi tersebut.
Umat islam saat ini dalam posisi
sangat menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup maju, namun terbatas
dalam dunia teknologi, bukan penemu teknologi. Lebih parah lagi, mayoritas umat
Islam banyak yang sangat terlambat dalam mengikuti teknologi tersebut. Tak
cukup berhenti di sini, masih adanya umat Islam yang tidak mau menggunakan
teknologi karena melihat dari satu aspek kemudlorotan.
Karena keminiman umat Islam dalam
penguasaan teknologi dan sains, umat Islam menjadi kelompok yang terbelakang.
Disisi lain, umat non islam sangat maju dengan berbagai teknologi. Ahirnya,
dampak dari globalisasi akan menimbulkan berbagai reaksi yang bermacam-macam.
Atang Abdul Hakim mengelompokkan reaksi itu dalam empat golongan besar akibat
globalisasi. Yaitu, tradisionalis, modernis, revivalis dan transformatif.
1. Tradisionalis
Pemikir tradisionalis, meyakini
bahwa perjalanan umat islam, baik adanya kemajuan dan kemunduran adalah
ketentuan dari Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu tentang semua itu, baik dari segi
hikmah kemajuan atau kemunduran umat islam. Karena menurut mereka, mahluk tidak
tau tentang gambaran besar mengenai
sekenario Tuhan. Sedangkan kemajuan dan kemunduran
umat islam dinilai sebagai ujian dari Tuhan atas keimanan umat islam.
2. Modernis
Dalam masyarakat barat, moderenisme
mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham
dan intitusi-intitusi lama untuk disesuaikan pada zaman atau suasana baru yang
ditimbulkan oleh pengetahuan atau teknologi. Oleh karena itu, modernsme lebih
mengacu pada dorongan untuk melakukan perubahan-perubahan, karena paham-paham
dan intitusi-intitusi yang lama sudak tidak relevan sebagai solusi kehidupan.
Kaum moderenis percaya bahwa, aspek
kemunduran umat islam, lebih banyak disebabkan adanya kesalahan sikap mental,
budaya atau teologi mereka. Artinya, umat islam terbelakang karena mereka
melakukan sakralitas terhadap semua bidang kehidupan.
3. Revivalisme
Revivalisme adalah gerakan untuk
membangkitkan atau menghidupkan kembali perasaan keagamaan yang kukuh.
Kecendrungan kelompok ketiga ini mengenai kemunduran umat Islam dalam arus
globalisasi adalah revivalis, baik faktor eksternal maupun internal. Artinya,
umat islam menggunalkan idiologi lain (yang masih kolot), bukan merujuk pada
sumbernya langsung (Al-Qur’an), sebagai acuan dasar bertindak. Dan biasa
disebut dengan istilah kaum fundamentalisme. Seperti yang dikatakan Syafiq
Hasim, bahwa contoh kelompok ini adalah wahabisme dari tokoh Mohammad Abduh dan
Muhammad Jamaluddin Al-afghani. Menurut kelompok ini, islam harus menjawab
tantangan di era modern, untuk menjawab moderenitas ini, konsep teologi yang
harus dipakai adalah teologi liberal. Artinya dengan cara kembali kepada
Al-Quran, Al-Sunnah serta tidak terikat dengan metode lama.
4. Transformatif
Gerakan Transformatif merupakan
alternatif atau jalan keluar dari tiga golongan diatas. Mereka beranggapan
bahwa, keterbelakangan umat islam akan era globalisasi disebabkan oleh ketidak
seimbangan sistim dan setruktur ekonomi, politik dan kultur. Oleh karena itu,
agenda mereka melakukan trensformasi (menata ulang) terhadap struktur. Artinya,
semua elemen harus disama ratakan dalam hal pemerolehan fasilitas teknologi,
agar keterbelakangan tidak muncul.
B.
Modernisme,
Puritanisme, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa
Moderenisme dalam islam adalah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-demensi
moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan yang maha Esa, dan bukan
westernisasi (budaya barat). Sebab westernisme ialah suatu total kehidupan
dimana faktor paling menonjol adalah sekularisme.
Puritanisme adalah paham kemurnian
ajaran atau kepercayaan. Menurut Syafiq Hasim,
puritanisme sama dengan gerakan fundamentalisme. Yakni, memurnikan ajaran
kepada sumber asalnya (Al-Quran dan Al-Sunnah).
Fundamentalis adalah Faham kepanutan
teguh pada pokok ajaran kepercayaan ; gerakan agama Kristen modern yang
menekankan sekumpulan kepercayaan dan penafsiran harfiyah terhadap kitab suci.
Radikalisme faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan
perombakan besar sebagai jalan untuk macapai taraf kemajuaan.
Menurut Rahimi Sabirin,
Fundamentalisme adalah gerakan Radikalisme pemikiran.
Fundamentalisme Islam adalah gerakan
pemikiran yang menolak bentuk pemahaman agama yang terlalu rasional apalagi
kontekstual, sebab bagi mereka, yang demikian itu tidak memberikan kepastian.
Maka dari itu, memahami teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis
(murni apa yang tertulis) merupakan alternatif yang mereka tonjolkan.
Menurut Syafiq Hasim,
Fundamentalisme Islam secara garis besar dapat di bagi menjadi dua kelompok
besar, pertama Fundamentalisme Islam yang merujuk pada wahabisme. Kedua
Fundamentalisme Islam yang merujuk kepada model Syi’ah, gerakan ini mengalami
perkembangannya pada tahun 1979 menyusul kemenangan Revolusi Islam di Iran
dengan pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, sebagai simbol fundamentalisme dunia
Islam.
1. Wahhabisme
Banyak kalangan yang mengatakan
bahwa munculnya Fundamentalisme Islam saat ini berakar dari istilah Salafi.
Kaum Salafi adalah gerakan yang menyerukan dirinya kepada tradisi Salaf atau di
kenal dengsn generasi 4 abad setelah nabi, dan setelah 4 abad itu disebut
dengan istilah generasi kholaf. Kemudian slogan ini dipakai untuk pengikut
Muhammad abduh yang juga santri seorang idiolog islam Muhammad Jamaluddin Al
afgan. Dasar klaim gerakan ini adalah ingin mengembalikan ortodoksi syariat
dengan memurnikan ajaran islam sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah. Namun, hal
yang patut di garis bawahi, mereka tidak mau bila dikatakan sebagai kelompok
yang mengikuti tokoh tertentu, termasuk Muhammad Abdul Wahab.
Menurut Abdul Hadi Abdurrohman,
bahwa gerakan ini awal mulanya dipandegani oleh shohibul Madzhab Hambali, Ahmad
Ibnu Hambal (164 -241 H.) kemudian deteruskan oleh Ibnu Taymiyah abad ke VII H.
kemudian dibakukan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab pada abad XII H. di Jazirah
Arab dan sampai sekarang menjadi gerakan mayoritas di Arab yang di kenal dengan
istilah wahhabisme. Akidah menurut mereka tidak bisa dijadikan pegangan kecuali
dari teks, sedangkan akal menyesatkan. Karena para sahabat tidak pernah memakai
logika untuk memahami ajaran, tidak seperi filosop dan ahli kalam.
Menurut Abu Al-fadl, Cirri dari kelompok ini,
adalah cara penafsiran teologis mereka cenderung mengucilkan kelompok non
islam, bahkan kelompok islam lain yang tidak sama dengan teologi yang mereka
punya. Dalam konsep jihad, kelompok ini lebih ekstrim karena model penafsiran
yang mereka pakai dan sering mengutip ayat-ayat yang memerintahkan peperangan.
2. Syi’isme
Syi’isme adalah kelompok Fundamentalisme
Islam yang merujuk kepada model syi’ah, yakni mengembalikan ajaran kepada
sumbernya namun dengan idiologi yang dicetuskan oleh syiah. Gerakan ini
mengalami perkembangannya pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan
pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, tahun 1979.
Radikalisme adalah gerakan yang
ditandai empat hal. Pertama, sikap tidak toleran atau tidak mau
menghargai keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik atau menganggap
dirinya yang paling benar. Ketiga, sikap eksklusif atau membedakan diri
dari kebiasaan umat islam mayoritas. Keempat, sikap revolusioner, yaitu
kecendrungan menggunakan kekerasan sebagai pencapaian tujuan. Umumnya,
radikalisme muncul karena pemaham agama yang tertutup dan tekstual. Kelompok
radikalisme selalu merasa kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan. Makanya
mereka kerap sekali mengkafirkan atau menganggap sesat orang lain.
Menurut Rahimi Sabirin, radikalisme
terbagi menjadi dau kelompok. Yakni, radikalisme pemikiran (yang sering disebut
dengan kelompok fundamentalis) dan radikalisme dalam tindakan (yang sering
disebut dengan teroris).
C.
Eksklusif
dan inklusif dalam Islam
Secara etimologi kata inklusif dan
ekslusif merupakan pengadopsian bahasa Inggris “inclusive” dan “exlusive” yang
masing-masing memiliki makna “termasuk di dalamnya” dan “tidak termsuk
didalamnya/terpisah”.
Masalah inklusif dan ekslusif dalam
Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran/gagasan modernisme kepada wilayah
yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya pada bidang teologi. ~ Teologi
Ekslusif ~ tanpa menyisakan ruang toleransi untuk berempati, apalagi simpati;
“bagaimana orang lain memandang agamanya sendiri”. Seperti sudah menemukan
kesimpulan, kita sering kali menilai dan bahkan menghakimi agama orang lain,
dengan memakai standar teologi agama kita sendiri. Pun pula sebaliknya, orang
lain menilai bahkan menghakimi kita, dengan memakai standar teologi agamanya
sendiri. Jelas ini suatu mission imposible untuk bisa saling bertemu, apalagi
sekedar toleran. Hasilnya justru perbandingan terbaliknya. Masing-masing agama
malah menyodorkan proposal “klaim kebenaran” dan “klaim keselamatan” yang hanya
ada pada agamanya sendiri-sendiri, sementara pada agama lain dituduh salah,
menyimpang, bahkan menyesatkan. Ide utama dari teologi inklusif adalah
pemahamannya untuk memahami pesan Tuhan. Semua kitab suci (injil, Zabur, Taurat
dan Qur‟an) itu pesan Tuhan, diantaranya pesan Taqwa.
وَللَّهِ مَا
فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ
الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ
فَإِنَّ لِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ
غَنِيًّا حَمِيدًا
Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa
yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada
orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah
kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang
di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji. (QS, 4:131)
Taqwa disini bukan sekedar tafsiran
klasik, seperti sikap patuh kehadirat Tuhan. Sebagaimana Cak Nur paparkan bahwa
:
“Pesan Tuhan itu bersifat universal
dan merupakan kesatuan esensial semua agama samawi, yang mewarisi agama Arab,
yakni Yahudi (Nabi Musa), Kristen (Nabi Isa), dan Islam (Nabi Muhammad). Lewat
firman-Nya Tuhan menekankan agar kita berpegang teguh kepada agama Itu,
karena hakikaat dasar agama-agama
itu (sebagai pesan Tuhan) adalah satu dan sama. Agama Tuhan, pada esensinya
sama, baik yang diberikan kepada Nabi Nuh, Musa, Isa atau kepada Nabi Muhammad.
Kesamaan yang dimaksud Cak Nur, terletak pada kesamaan dalam pesan besar, yakni
paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Monoteisme, istilah inti ajaran para Nabi
dan Rasul Tuhan. Hal tersebut sejalan pula dengan Ibn Taymiyah yang menyatakan
bahwa meskipun syari’atnya bermacam-macam. Maka kata Nabi Muhammad SAW, “Bahwa
kami golongan para Nabi, agama kami adalah satu”. Yakni risalah tawhid yang
berlandasan kepada kepasrahan kehadirat Tuhan. Bahkan, “kesadaran ketuhanan”
(Taqwa) yang sifatnya monoteistik (Tauhid) merupakan implikasi langsung dari
al-Islam itu sendiri. Al-Islam adalah al-din (tunduk patuh). “Sesungguhnya
ikatan (al-din) disisi Allah adalah sikap pasrah (al-Islam) demikian firman
Tuhan”. Sikap pasrah tersebut merupakan inti dasar teologi inklusif dari
pandangan: kesatuan kemanusiaan yang berangkat dari konsep ke-Maha Esa
Tuhan. Dimana akhirnya sikap pasrah merupakan titik temu semua agama (ajaran)
yang benar, sebagai upaya menuju Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan pemaparan
tersebut maka dapat ditarik kesepahaman sementara bahwa bangunan epistimologi
inklusifisme dalam Islam diawalai dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah
kehadirat Tuhan. Dimana kepasrahan ini menjadi karakteristik pokok semua agama
yang benar, yakni bersikap berserah diri kepada Tuhan (world view al-Qur‟an).
Dimana secara esensialnya wacana inklusif dan ekslusif dalam Islam, terutama
yang berkenaan dengan konsep taqwa, tawhid (monoteisme) dan al-Islam (sikap
pasrah).
D.
Islamisasi
dan Sains
Islam dan sains adalah konteks yang
mempunyai peranan besar dalam kehidupan. Agama menjadi bagian integral dari
keseluruhan kehidupan manusia. Sementara sains capaian besar yang dibawa oleeh
peradaban modern.
Agama dan sains mempunyai cara kerja
yang khas, ada beberapa hal yang mempertemukan keduanya, namun dari keduanya
sering dipertentangkan. Tantangan terhadap kepercayaan beragama bukan berasal
dari pertentangan isi ilmu pengetahuan dan agama. Karena keduanya saling
melengkapi. Artinya, agama akan semakin meyakinkan bila di topang dengan sains,
dan sains pun muncul karena adanya pengalaman, dan salah satu wahana pengalaman
adalah agama. Kemudian jika ada pertentangan antara agama dengan sains, maka
muara perbedaan itu justru pada pandangan bahwa metode ilmiyah adalah sebagai
penyebab atas kebenaran. Karena, pembuktian sains akan agama belum tentu hal
yang dimaksud oleh agama itu sendiri.
E.
Pluralisme
Agama Agama
Pluralitas adalah sebagai
"menerima perbedaan" atau menerima perbedaan yang banyak".
Berkenaan dengan munculnya paham
pluralisme terutama pluralism agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana
tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak mendapat sorotan dari
sejumlah cendikiawan muslim sekaligus nampaknya juga memunculkan pro dan kontra
dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama. Lebih lebih ketika
MUI dalam Munas ke 7 pada bulan Juli 2005 yang lalu di Jakarta telah
mengharamkan pluralisme agama, yang isiny :
1.
Pluralism, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada
bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
2.
Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme
Agama.
3.
Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif,
dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah
dan ibadah pemeluk agama lain.
4.
Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas
agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah,
umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial
dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
maka persoalan ini telah mencuat kepermukaan. Bila
dicermati, maka perbedaan ini nampaknya berkaitan dengan term pluralism
agama-budaya, perbedaan didalam memahami isyarat-isyarat ayat al-Qur'an tentang
pluralitas maupun tentang klaim kebenaran dalam suatu agama.
Memasuki abad 21 dimana orang mulai
sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah, ahirnya ada sekelompok
orang muncul sebagai gerakan teologi pluralis (akidah terbuka). Kelompok yang
dimotori oleh jaringan islam liberal (JIL) ini mengusung pemahaman yang ia
peroleh dari Al-Qur’an sebagai aqidah terbuka, yakni menerima semua kepercayaan
tanpa terkecuali atau menganggap semua agama adalah sama (benar). Dan kebenaran
itu bersifat relative.
Awalnya golongan ini muncul hanya
karena bosan akan racikan teologi lama yang mereka anggap sudah ketinggalan
zaman dan malah membawa banyak kontroversi bahkan perpecahan di dalam tubuh
umat islam sendiri. Oleh karenanya mereka saat ini telah meramu resep teologi
sendiri yang berbeda dengan konsep yang sudah ada. Menurut mereka, masyarakat
modern kini sudah saatnya untuk bersikap toleran dan terbuka menerima keyakina
pihak manapun, walaupun berbeda agama.
Dalam pandangan Islam, faham
pluralime adalah sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain, adalah
mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun
anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan
kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan
yang 'kalian'
(non-Islam) sembah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada tiga pola pemikiran Islam
tersebut di atas (yaitu : Tradisionalisme, Modernisme, dan Fundamentalisme)
masing-masing memiliki sisi kesamaan dan juga memeiliki kekurangan.
Tradisionalisme, karena terlalu jauh menyatu dengan budaya lokal dan cenderung
bertahan dengan produk pemikiran lampau, sangat selektif terhadap
gagasan-gagasan baru. Ia tidak mempunyai keberanian mendobrak gagasan-gagasan
ulama salaf sehingga nyaris mandul.
Sedangkan modernisme, karena
terbelenggu oleh rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuannya
mengakibatkan kehilangan kesegaran orientasi. Disamping itu, karena slogannya
untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, juga penentangannya pada tradisi,
mempunyai penolakan atas warisan khazanah klasik Islam. Inilah yang
mengakibatkan modernisme mengalami kekeringan intelaktual. Sementara itu,
fundamentalisme juga tidak cukup menyakinkan mengingat ia sebenarnya hanyalah
bentuk keberagamaan yang reaktif atas fenomena eksternal. Inilah yang
mengakibatkan sangat rapuh dalam rumusan konsepsi dan konstruksi pemikrannya.
B.
Saran kajian
Kajian ilmiah ini masih sangat umum,
artinya belum menggolongkan kelompok tertentu untuk dimasukkan pada
Moderenisme, Puritanisme, Fundamentalisme, Pluralisme dan Radikalisme. Dan
alangkah lebih lengkap lagi jika dimasukkan juga kelompok kelompok tertentu
yang ada di Indonesia. Untuk itu, harus ada kajian yang lebih spesifik dan
kongkrit, biar kita bisa menghukumi mana golongan di sekitar kita yang masuk
pada gerakan gerakan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004
Al-Barri, M. Dahlan, Kamus
Ilmiyah Populer, Surabaya: Arkola, 2005
Hasim, Syafiq, Fundamentalisme
Islam, Jakarta: Afkar, 2002
Madjid, Nurcholish, Islam
Kemoderenan dan keindonesianan, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008
Sabirin, Rahimi, Islam &
Radikalisme, Jakarta: Center For Moderate Muslim, 2007
Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi
Islam, Yogyakarta: Teras, 2010
Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah
Kaum Sarungan, Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005
Nurul Hakim, Islam Dalam Takaran
Ekslusif Dan Inklusif , diakses dari: www.badilag.net
Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS
VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar