Minggu, 12 Juni 2016

ISLAM DAN DUNIA KEKINIAN



A.    Islam dan Dunia Kekinian
Ketika membahas globalisasi, otomatis tak bisa terelakkan dengan yang namanya teknologi komunikasi. Sekarang ini, dunia dengan segala perkembangannya dan kecanggihannya, sulit untuk membedakan, mana yang dilegalkan oleh agama dan mana yang tidak. Karena, dalam bentuk  apapun sesuatu sudah terfasilitasi dengan mudah dan cepat. Mulai yang berbentuk ibadah atau bahkan yang berbentuk kriminal. Dari sini, tinggal diarahkan kemana manfaat teknologi tersebut.
Umat islam saat ini dalam posisi sangat menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup maju, namun terbatas dalam dunia teknologi, bukan penemu teknologi. Lebih parah lagi, mayoritas umat Islam banyak yang sangat terlambat dalam mengikuti teknologi tersebut. Tak cukup berhenti di sini, masih adanya umat Islam yang tidak mau menggunakan teknologi karena melihat dari satu aspek kemudlorotan.
Karena keminiman umat Islam dalam penguasaan teknologi dan sains, umat Islam menjadi kelompok yang terbelakang. Disisi lain, umat non islam sangat maju dengan berbagai teknologi. Ahirnya, dampak dari globalisasi akan menimbulkan berbagai reaksi yang bermacam-macam. Atang Abdul Hakim mengelompokkan reaksi itu dalam empat golongan besar akibat globalisasi. Yaitu, tradisionalis, modernis, revivalis dan transformatif.
1.      Tradisionalis
Pemikir tradisionalis, meyakini bahwa perjalanan umat islam, baik adanya kemajuan dan kemunduran adalah ketentuan dari Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu tentang semua itu, baik dari segi hikmah kemajuan atau kemunduran umat islam. Karena menurut mereka, mahluk tidak tau tentang gambaran besar mengenai
sekenario Tuhan. Sedangkan kemajuan dan kemunduran umat islam dinilai sebagai ujian dari Tuhan atas keimanan umat islam.

2.      Modernis
Dalam masyarakat barat, moderenisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham dan intitusi-intitusi lama untuk disesuaikan pada zaman atau suasana baru yang ditimbulkan oleh pengetahuan atau teknologi. Oleh karena itu, modernsme lebih mengacu pada dorongan untuk melakukan perubahan-perubahan, karena paham-paham dan intitusi-intitusi yang lama sudak tidak relevan sebagai solusi kehidupan.
Kaum moderenis percaya bahwa, aspek kemunduran umat islam, lebih banyak disebabkan adanya kesalahan sikap mental, budaya atau teologi mereka. Artinya, umat islam terbelakang karena mereka melakukan sakralitas terhadap semua bidang kehidupan.
3.      Revivalisme
Revivalisme adalah gerakan untuk membangkitkan atau menghidupkan kembali perasaan keagamaan yang kukuh. Kecendrungan kelompok ketiga ini mengenai kemunduran umat Islam dalam arus globalisasi adalah revivalis, baik faktor eksternal maupun internal. Artinya, umat islam menggunalkan idiologi lain (yang masih kolot), bukan merujuk pada sumbernya langsung (Al-Qur’an), sebagai acuan dasar bertindak. Dan biasa disebut dengan istilah kaum fundamentalisme. Seperti yang dikatakan Syafiq Hasim, bahwa contoh kelompok ini adalah wahabisme dari tokoh Mohammad Abduh dan Muhammad Jamaluddin Al-afghani. Menurut kelompok ini, islam harus menjawab tantangan di era modern, untuk menjawab moderenitas ini, konsep teologi yang harus dipakai adalah teologi liberal. Artinya dengan cara kembali kepada Al-Quran, Al-Sunnah serta tidak terikat dengan metode lama.
4.      Transformatif
Gerakan Transformatif merupakan alternatif atau jalan keluar dari tiga golongan diatas. Mereka beranggapan bahwa, keterbelakangan umat islam akan era globalisasi disebabkan oleh ketidak seimbangan sistim dan setruktur ekonomi, politik dan kultur. Oleh karena itu, agenda mereka melakukan trensformasi (menata ulang) terhadap struktur. Artinya, semua elemen harus disama ratakan dalam hal pemerolehan fasilitas teknologi, agar keterbelakangan tidak muncul.

B.     Modernisme, Puritanisme, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Moderenisme dalam islam adalah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-demensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan yang maha Esa, dan bukan westernisasi (budaya barat). Sebab westernisme ialah suatu total kehidupan dimana faktor paling menonjol adalah sekularisme.
Puritanisme adalah paham kemurnian ajaran atau kepercayaan. Menurut Syafiq Hasim, puritanisme sama dengan gerakan fundamentalisme. Yakni, memurnikan ajaran kepada sumber asalnya (Al-Quran dan Al-Sunnah).
Fundamentalis adalah Faham kepanutan teguh pada pokok ajaran kepercayaan ; gerakan agama Kristen modern yang menekankan sekumpulan kepercayaan dan penafsiran harfiyah terhadap kitab suci. Radikalisme faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk macapai taraf kemajuaan.
Menurut Rahimi Sabirin, Fundamentalisme adalah gerakan Radikalisme pemikiran.
Fundamentalisme Islam adalah gerakan pemikiran yang menolak bentuk pemahaman agama yang terlalu rasional apalagi kontekstual, sebab bagi mereka, yang demikian itu tidak memberikan kepastian. Maka dari itu, memahami teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (murni apa yang tertulis) merupakan alternatif yang mereka tonjolkan.
Menurut Syafiq Hasim, Fundamentalisme Islam secara garis besar dapat di bagi menjadi dua kelompok besar, pertama Fundamentalisme Islam yang merujuk pada wahabisme. Kedua Fundamentalisme Islam yang merujuk kepada model Syi’ah, gerakan ini mengalami perkembangannya pada tahun 1979 menyusul kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, sebagai simbol fundamentalisme dunia Islam.


1.      Wahhabisme
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa munculnya Fundamentalisme Islam saat ini berakar dari istilah Salafi. Kaum Salafi adalah gerakan yang menyerukan dirinya kepada tradisi Salaf atau di kenal dengsn generasi 4 abad setelah nabi, dan setelah 4 abad itu disebut dengan istilah generasi kholaf. Kemudian slogan ini dipakai untuk pengikut Muhammad abduh yang juga santri seorang idiolog islam Muhammad Jamaluddin Al afgan. Dasar klaim gerakan ini adalah ingin mengembalikan ortodoksi syariat dengan memurnikan ajaran islam sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah. Namun, hal yang patut di garis bawahi, mereka tidak mau bila dikatakan sebagai kelompok yang mengikuti tokoh tertentu, termasuk Muhammad Abdul Wahab.
Menurut Abdul Hadi Abdurrohman, bahwa gerakan ini awal mulanya dipandegani oleh shohibul Madzhab Hambali, Ahmad Ibnu Hambal (164 -241 H.) kemudian deteruskan oleh Ibnu Taymiyah abad ke VII H. kemudian dibakukan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab pada abad XII H. di Jazirah Arab dan sampai sekarang menjadi gerakan mayoritas di Arab yang di kenal dengan istilah wahhabisme. Akidah menurut mereka tidak bisa dijadikan pegangan kecuali dari teks, sedangkan akal menyesatkan. Karena para sahabat tidak pernah memakai logika untuk memahami ajaran, tidak seperi filosop dan ahli kalam.
Menurut Abu Al-fadl, Cirri dari kelompok ini, adalah cara penafsiran teologis mereka cenderung mengucilkan kelompok non islam, bahkan kelompok islam lain yang tidak sama dengan teologi yang mereka punya. Dalam konsep jihad, kelompok ini lebih ekstrim karena model penafsiran yang mereka pakai dan sering mengutip ayat-ayat yang memerintahkan peperangan.
2.      Syi’isme
Syi’isme adalah kelompok Fundamentalisme Islam yang merujuk kepada model syi’ah, yakni mengembalikan ajaran kepada sumbernya namun dengan idiologi yang dicetuskan oleh syiah. Gerakan ini mengalami perkembangannya pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran dengan pimpinan Imam Ayatullah Khomeini, tahun 1979.
Radikalisme adalah gerakan yang ditandai empat hal. Pertama, sikap tidak toleran atau tidak mau menghargai keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik atau menganggap dirinya yang paling benar. Ketiga, sikap eksklusif atau membedakan diri dari kebiasaan umat islam mayoritas. Keempat, sikap revolusioner, yaitu kecendrungan menggunakan kekerasan sebagai pencapaian tujuan. Umumnya, radikalisme muncul karena pemaham agama yang tertutup dan tekstual. Kelompok radikalisme selalu merasa kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan. Makanya mereka kerap sekali mengkafirkan atau menganggap sesat orang lain.
Menurut Rahimi Sabirin, radikalisme terbagi menjadi dau kelompok. Yakni, radikalisme pemikiran (yang sering disebut dengan kelompok fundamentalis) dan radikalisme dalam tindakan (yang sering disebut dengan teroris).

C.    Eksklusif dan inklusif dalam Islam
Secara etimologi kata inklusif dan ekslusif merupakan pengadopsian bahasa Inggris “inclusive” dan “exlusive” yang masing-masing memiliki makna “termasuk di dalamnya” dan “tidak termsuk didalamnya/terpisah”.
Masalah inklusif dan ekslusif dalam Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran/gagasan modernisme kepada wilayah yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya pada bidang teologi. ~ Teologi Ekslusif ~ tanpa menyisakan ruang toleransi untuk berempati, apalagi simpati; “bagaimana orang lain memandang agamanya sendiri”. Seperti sudah menemukan kesimpulan, kita sering kali menilai dan bahkan menghakimi agama orang lain, dengan memakai standar teologi agama kita sendiri. Pun pula sebaliknya, orang lain menilai bahkan menghakimi kita, dengan memakai standar teologi agamanya sendiri. Jelas ini suatu mission imposible untuk bisa saling bertemu, apalagi sekedar toleran. Hasilnya justru perbandingan terbaliknya. Masing-masing agama malah menyodorkan proposal “klaim kebenaran” dan “klaim keselamatan” yang hanya ada pada agamanya sendiri-sendiri, sementara pada agama lain dituduh salah, menyimpang, bahkan menyesatkan. Ide utama dari teologi inklusif adalah pemahamannya untuk memahami pesan Tuhan. Semua kitab suci (injil, Zabur, Taurat dan Qur‟an) itu pesan Tuhan, diantaranya pesan Taqwa.

وَللَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ لِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا
Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS, 4:131)
Taqwa disini bukan sekedar tafsiran klasik, seperti sikap patuh kehadirat Tuhan. Sebagaimana Cak Nur paparkan bahwa :
“Pesan Tuhan itu bersifat universal dan merupakan kesatuan esensial semua agama samawi, yang mewarisi agama Arab, yakni Yahudi (Nabi Musa), Kristen (Nabi Isa), dan Islam (Nabi Muhammad). Lewat firman-Nya Tuhan menekankan agar kita berpegang teguh kepada agama Itu,
karena hakikaat dasar agama-agama itu (sebagai pesan Tuhan) adalah satu dan sama. Agama Tuhan, pada esensinya sama, baik yang diberikan kepada Nabi Nuh, Musa, Isa atau kepada Nabi Muhammad. Kesamaan yang dimaksud Cak Nur, terletak pada kesamaan dalam pesan besar, yakni paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Monoteisme, istilah inti ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan. Hal tersebut sejalan pula dengan Ibn Taymiyah yang menyatakan bahwa meskipun syari’atnya bermacam-macam. Maka kata Nabi Muhammad SAW, “Bahwa kami golongan para Nabi, agama kami adalah satu”. Yakni risalah tawhid yang berlandasan kepada kepasrahan kehadirat Tuhan. Bahkan, “kesadaran ketuhanan” (Taqwa) yang sifatnya monoteistik (Tauhid) merupakan implikasi langsung dari al-Islam itu sendiri. Al-Islam adalah al-din (tunduk patuh). “Sesungguhnya ikatan (al-din) disisi Allah adalah sikap pasrah (al-Islam) demikian firman Tuhan”. Sikap pasrah tersebut merupakan inti dasar teologi inklusif dari pandangan: kesatuan kemanusiaan  yang berangkat dari konsep ke-Maha Esa Tuhan. Dimana akhirnya sikap pasrah merupakan titik temu semua agama (ajaran) yang benar, sebagai upaya menuju Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat ditarik kesepahaman sementara bahwa bangunan epistimologi inklusifisme dalam Islam diawalai dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan. Dimana kepasrahan ini menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar, yakni bersikap berserah diri kepada Tuhan (world view al-Qur‟an). Dimana secara esensialnya wacana inklusif dan ekslusif dalam Islam, terutama yang berkenaan dengan konsep taqwa, tawhid (monoteisme) dan al-Islam (sikap pasrah).

D.    Islamisasi dan Sains
Islam dan sains adalah konteks yang mempunyai peranan besar dalam kehidupan. Agama menjadi bagian integral dari keseluruhan kehidupan manusia. Sementara sains capaian besar yang dibawa oleeh peradaban modern.
Agama dan sains mempunyai cara kerja yang khas, ada beberapa hal yang mempertemukan keduanya, namun dari keduanya sering dipertentangkan. Tantangan terhadap kepercayaan beragama bukan berasal dari pertentangan isi ilmu pengetahuan dan agama. Karena keduanya saling melengkapi. Artinya, agama akan semakin meyakinkan bila di topang dengan sains, dan sains pun muncul karena adanya pengalaman, dan salah satu wahana pengalaman adalah agama. Kemudian jika ada pertentangan antara agama dengan sains, maka muara perbedaan itu justru pada pandangan bahwa metode ilmiyah adalah sebagai penyebab atas kebenaran. Karena, pembuktian sains akan agama belum tentu hal yang dimaksud oleh agama itu sendiri.

E.     Pluralisme Agama Agama
Pluralitas adalah sebagai "menerima perbedaan" atau menerima perbedaan yang banyak".
Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralism agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim sekaligus nampaknya juga memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama. Lebih lebih ketika MUI dalam Munas ke 7 pada bulan Juli 2005 yang lalu di Jakarta telah mengharamkan pluralisme agama, yang isiny :
1.      Pluralism, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
2.      Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3.      Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4.      Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
maka persoalan ini telah mencuat kepermukaan. Bila dicermati, maka perbedaan ini nampaknya berkaitan dengan term pluralism agama-budaya, perbedaan didalam memahami isyarat-isyarat ayat al-Qur'an tentang pluralitas maupun tentang klaim kebenaran dalam suatu agama.
Memasuki abad 21 dimana orang mulai sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah, ahirnya ada sekelompok orang muncul sebagai gerakan teologi pluralis (akidah terbuka). Kelompok yang dimotori oleh jaringan islam liberal (JIL) ini mengusung pemahaman yang ia peroleh dari Al-Qur’an sebagai aqidah terbuka, yakni menerima semua kepercayaan tanpa terkecuali atau menganggap semua agama adalah sama (benar). Dan kebenaran itu bersifat relative.
Awalnya golongan ini muncul hanya karena bosan akan racikan teologi lama yang mereka anggap sudah ketinggalan zaman dan malah membawa banyak kontroversi bahkan perpecahan di dalam tubuh umat islam sendiri. Oleh karenanya mereka saat ini telah meramu resep teologi sendiri yang berbeda dengan konsep yang sudah ada. Menurut mereka, masyarakat modern kini sudah saatnya untuk bersikap toleran dan terbuka menerima keyakina pihak manapun, walaupun berbeda agama.
Dalam pandangan Islam, faham pluralime adalah sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain, adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan yang 'kalian'
(non-Islam) sembah.



BAB  III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ada tiga pola pemikiran Islam tersebut di atas (yaitu : Tradisionalisme, Modernisme, dan Fundamentalisme) masing-masing memiliki sisi kesamaan dan juga memeiliki kekurangan. Tradisionalisme, karena terlalu jauh menyatu dengan budaya lokal dan cenderung bertahan dengan produk pemikiran lampau, sangat selektif terhadap gagasan-gagasan baru. Ia tidak mempunyai keberanian mendobrak gagasan-gagasan ulama salaf sehingga nyaris mandul.
Sedangkan modernisme, karena terbelenggu oleh rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuannya mengakibatkan kehilangan kesegaran orientasi. Disamping itu, karena slogannya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, juga penentangannya pada tradisi, mempunyai penolakan atas warisan khazanah klasik Islam. Inilah yang mengakibatkan modernisme mengalami kekeringan intelaktual. Sementara itu, fundamentalisme juga tidak cukup menyakinkan mengingat ia sebenarnya hanyalah bentuk keberagamaan yang reaktif atas fenomena eksternal. Inilah yang mengakibatkan sangat rapuh dalam rumusan konsepsi dan konstruksi pemikrannya.
B.     Saran kajian
Kajian ilmiah ini masih sangat umum, artinya belum menggolongkan kelompok tertentu untuk dimasukkan pada Moderenisme, Puritanisme, Fundamentalisme, Pluralisme dan Radikalisme. Dan alangkah lebih lengkap lagi jika dimasukkan juga kelompok kelompok tertentu yang ada di Indonesia. Untuk itu, harus ada kajian yang lebih spesifik dan kongkrit, biar kita bisa menghukumi mana golongan di sekitar kita yang masuk pada gerakan gerakan diatas.






DAFTAR  PUSTAKA

Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004

Al-Barri, M. Dahlan, Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya: Arkola, 2005

Hasim, Syafiq, Fundamentalisme Islam, Jakarta: Afkar, 2002

Madjid, Nurcholish, Islam Kemoderenan dan keindonesianan, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008

Sabirin, Rahimi, Islam & Radikalisme, Jakarta: Center For Moderate Muslim, 2007

Maftukhin, dkk., Nuansa Setudi Islam, Yogyakarta: Teras, 2010

Tim Saluran Teologi Lirboyo, Akidah Kaum Sarungan, Lirboyo: Tamatan Aliyah Lirboyo, 2005

Nurul Hakim, Islam Dalam Takaran Ekslusif Dan Inklusif , diakses dari: www.badilag.net

Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar