Minggu, 12 Juni 2016

DINASTI-DINASTI KECIL MASA ABBASIYAH



DINASTI AGHLABIYAH
2.1 Berdirnya Dinasti Aghlabiyah
Dinasti Aghlabiyah didirikan di Aljazariyah dan sisilia oleh Ibrahim bin Aghlab, seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan kemampuan Ilmu administrasinya, ia mampu mengatur roda pemerintahannya dengan baik.
Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik Berkepanjangan antara asia dan eropa.dibawah pimpinan Ziyadatullah 1,suatu Armada bajak laut dikerahkan untuk menggoyang pesisir Italia, perancis, cosica dan sardina. kemudian pada tahun 827 M, Ziyadatullah mengirim sebuah Ekspedisi untuk merebut sisilia dari Bizantium dan berhasil dikuasai pada tahun 902 M.sisilia yang berada dipulau laut tengah tersebut dijadikan pangkalan Untuk penyerangan daratan,daratan eropa yang kristen.Konstribusi terpenting Dalam ekspedsi tersebut adalah menyebarnya peradaban islam hingga ke eropa. Bahkan ronaisans di Italia terjadi karena transmisi ilmu pengetahuan melalui Pulau ini.
Secara periodik,Dinasti Aghlabiyah dikuasai oleh beberapa penguasa,yaitu :
- Ibrahim bin Aghlab 800 – 811 M
- Abdullah I bin Ibrahim 811 – 816 M
- Ziyadatullah bin Ibrahim 816 – 837 M
- Abu Iqbal bin Ibrahim 838 – 841 M
- Abu Al-Abbas Muhammad 841 – 856 M
- Abu Ibrahim Ahmad 856 – 863 M
- Ziyadatullah II bin Ahmad 864 – 874 M
- Ibrahim II bin Ahmad 874 – 902 M
- Abu Al-Abbas Abdullah II 902 – 903 M
- Abu Mudhar Ziyadatullah III 903 – 909 M
2.2 Prestasi / Keberhasilan Dan Kemunduran Yang Dicapai Dinasti Aghlabiyah
Dinasti aghlabiyah terkenal dengan prestasinya di bidang arsitektur, terutama dalam pembangunan masjid. Pada masa Ziyadatullah yang kemudian disempurnakan oleh Ibrahim II, berdiri dengan megahnya masjid yang besar Yaitu mesjid Qairawan, menara masjidnya yang merupakan warisan dari bentuk Bangunan Umayah merupakan bangunan tertua di afrika.Oleh karena itu lah Qairawan menjadi kota suci ke empat setelah Mekah, Madinah, dan Yerusalem Masjid tersebut disebut sebagai masjid terindah dalam islam karena ditata sedemikian indah, selain itu dibangun pula sebuah mesjid di Tunisia. Pada masa Kekuasaan Ahmad, serta dibuat pula suatu peralatan pertanian dan irigasi untuk daerah ifrikiyah yang kurang subur.
Akhir abad ke-9,posisi DInasti Aghlabiyah di ifrikiyah mengalami Kemunduran,dengan masuknya propaganda syi’ah yang dilancarkan oleh Abdullah As-syi’ah atas isyarat Ubaidillah Al-Mahdi telah menanamkan Pengaruh yang kuat dikalangan orang-orang bar bar suku ketama kesenjangan sosial antar penguasa Aghlab di satu pihak dan orang-orang bar bar di pihak Lain,telah menambah kuatnya pengaruh itu dan pada akhirnya membuahkan Kekuatan militer.
Pada tahun 909 M.kekuatan militer tesebut berhasil berhasil kekuasaan aghlabid yang terakhir, Ziyadatullah III sehingga Ziyadatullah diusir ke mesir setelah gagal mendapatkan bantuan dari pemerintahan pusat di Baghdad.Ada juga yang berpendapat bahwa Ziyadatullah Kalah Karena tidak mengadakan perlawanan apapun sebelum Dinasti Fatimiyah Invlasi dan sejak itu pula, Ifrikiyah dikuasai oleh orang-orang syi’ah yang pada Masa selanjutnya membentuk Dinasti Fatimiyah. Salah satu faktor mundurnya Aghlabiyah adalah hilangnya hakikat kedaulatan dan ikatan-ikatan solidaritas Sosial semakin luntur. Kedaulatan pada hakikatnya dimiliki oleh mereka yang Sanggup menguasai rakyat, sanggup memungut iuran Negara, mengirimkan Angkatan bersenjata, melindungi pembatasan dan tak seorang penguasa pun berada di atasnya.
Dengan semakin berkurangnya pengaruh Aghlabiyah terhadap masyarakat dikarenakan adanya kesenjangan sosial, berakhirlah riwayat Diasti Aghlabiyah.





A. DINASTI FATHIMIYAH

Keruntuhan sedikit demi sedikit hegemoni Daulah Abbasiyah adalah konsekwensi dari lemahnya kepemimpinan dan dukungan politik dari berbagai daerah kekuasaan. Tuntutan otonomi daerah bertopeng kepentingan agama demi kekuasaan juga memperlihatkan perannya. Lebih dari itu, tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan masyarakat serta merta mengubah cara pandang yang tidak bisa tunduk dengan kezaliman selamanya.
Di atas puing-puing keruntuhan itu, ada banyak dinasti muncul dalam arti memerdekakan diri, yang berangkat dari akar kepentingan politik kekuasaan dan perbedaan pemahaman agama, suku, ras dan bangsa. Terutama aliran besar dalam Islam, Sunni dan Syi’ah yang selalu bergesekan dalam bidang politik dan kekuasaan. Aliran ini pada dasarnya, merupakan alasan klasik yang selalu terjadi dalam sejarah Islam[1].
Menurut Teori Ibnu Khaldun, apabila negara telah berdiri teguh ia dapat meninggalkan solidaritas, dengan sendirinya, rakyat akan membenci negara. Apalagi dengan sistem kerajaan, sifat kekuasaan yang turun temurun memiliki kelemahan apabila anggota keluarga melupakan solidaritas sosial. Bani Abbasiyah mengalaminya tetapi tidak menjadi pemikiran bagi kerajaan sesudahnya, yang juga besar dari rasa solidaritas ketertindasan.
Demikianlah yang terjadi dengan Bani Idris di Maghribi Jauh, dan Bani Ubaidi (Fathimiyah) di Afrika dan Mesir, ketika Thalibiyyun menyingkir dari Timur, menjadikan pusat kalifah, serta berusaha merampasnya dari tangan Bani ‘Abbas. Dari daerah yang jauh dari Maghribi, mereka keluar dan mempropagandakan diri. Berkali-kali orang Barbar (Berber) membantu usaha mereka, yaitu suku Aurubah dan Magghilah untuk Bani Idris, serta suku Kutamah, Sanhajah dan Hawwarah untuk Bani Ubaidi (Fathimiyah). Suku-suku ini memperkuat dan memperkokohkan negara dan pemerintahan dengan solidaritas sosial mereka. Kerajaan yang bernaung di bawah Bani Abbas semuanya mereka kuasai, pertama yang ada di Maghribi dan kemudian terdapat di Afrika. Dinasti Abbasiyah terus menuju kehancurannya. Sementara itu Dinasti Bani Ubaidi (Fathimiyah) meluas dan semakin melebarkan kekuasannya hingga Mesir, Syria, dan Hejaz. Orang-orang Barbar patuh kepada Bani Ubaidi (Fathimiyah) dan berlomba-lomba menduduki jabatan penting demi kekuatan yang dicapai, tetapi kekuasaan dimiliki turun temurun oleh generasi mereka, hingga dinasti Arab hancur bersama seluruh marganya. “Dan Allah menetapkan hukum, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. (Q.S. ar-Rad: 41)[2].
Kata kunci dari kekuasaan bagi Ibnu Khaldun adalah solidaritas, jika ia ada maka terbangunlah sebuah kekuasaan, baik berbentuk dinasti, daulah dll. Hanya saja, seringkali generasi sesudah pendiri, yaitu generasi penerus, tidak terpilih atas solidaritas, tetapi atas keturunan. Inilah yang malemahkan kekuasaan.

B. SEJARAH BERDIRI DINASTI FATHIMIYAH

Dinasti Fathimiyah mengambil namanya dari fathimah az-Zahra, putri rasulullah SAW, karena para khalifah Fathimah mengembalikan asal usul mereka kepada Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Muhammad rasulullah SAW. Khilafah ini beraliran syiah yang berkuasa di Afrika Utara dan Mesir pada tahun 297 H/ 909 M Sampai 567 H/ 1171 M selama + 262 tahun.
Dinasti Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H/909 M hingga 1171 M. Saat itu kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaan yang luas. Dalam keadaan seperti itu, sekelompok Syi’ah Islamiyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan untuk memerdekakan diri. Gerakan yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan bahwa tanah yang tidak bisa ditelusuri secara jelas. Namun, gerakan ini merupakan cabang dari Syi’ah Islamiyah, yang mengakui enam Imam pertama Syi’ah Islamiyah, namun berselisih mengenai Imam ketujuh. Bagi kaum Imamiyah, Musa al-Kazim putra Ja’far al-Sahdiq adalah imam yang ketujuh, sedangkan kaum Ismailiyah mengakui Ismail sebagai Imam Ketujuh. Bagi golongan Ismailiyah, karena Ismail wafat lebih dahulu dari bapaknya, hak maka yang dinobatkan adalah Musa al-Kazim. Sementara menurut pengikut Ismail, hak atas Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal[3].
Sejak pemimpin ketujuh mereka, Ismail meninggal, aktivitas aliran Ismailiyah dimulai karena khalifah-khalifah Abbasiyah mengadakan penyelidikan, maka golongan yang setia kepada Ismail bin Ja’far terpaksa harus meninggalkan Salamiyah, kota kecil di wilayah Hammah, Syria, menuju Afrika Utara. Di sini mereka mulai melancarkan propaganda politik untuk memperoleh dukungan rakyat. Gerakan ini dipimpin oleh seorang orator handal Ismailiyah bernama Abu Abdullah, yang dikenal dengan sebutan al-Syi’i. Propaganda mereka meliputi: akan memperbaiki kehidupan ekonomi dan sosial kemasyarakatan, munculnya al-Madi yang akan membebaskan rakyat dari penindasan dan teror, menyatakan bahwa mereka akan lebih dekat kepada Nabi dari pada Dinasti Ummayyah dan Abbasiyah[4].
Gerakan Fathimiyah di bawah pimpinan Ubaidillah al-Mahdi, berakar pada sekte Syiah Islamiyah yang doktrin-doktrinya berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial. Keyakinan sekte Islamiyah mengingatkan kita pada ajaran komunis awal, dengan sel-sel rahasia, sistem doktrin yang rumit, dan jaringan sistem propaganda yang luas untuk melawan tata sosial mapan.
Menjelang tahun 909 gerakan ini sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti Aghlabi dari Afrika Utara dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengundang Ubaidillah yang mereka klaim sebagai al-Mahdi dan Januari 910 menjabat sebagai Amirul Mukminin[5]. Dengan demikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti Fathimiyah dengan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama, pendukung Ubaidillah adalah suku-suku Barbar yang berpindah-pindah, yang juga telah menjadi pengikut Syi’ah Ismailiyah. Mereka bersikap melawan kaum Aghlabiyah yang terdiri dari suku bangsa Arab aliran sunni dan terikat dengan penguasa Abbasiyah. Suku Barbar ini berpotensi untuk memberontak terhadap penguasa di Baghdad, karena masih satu keturunan dengan penguasa Bani Ummayyah yang digulingkan Bani Abbasiyah di Baghdad[6]. Artinya posisi saat itu, gerakan ini merupakan oposan dari rezim berkuasa Abbasiyah.
Itulah alasan Tunisia dijadikan basis untuk membangun kekuasaan dunia Islam baru, guna menggeser kekuasaan Abbasiyah. Di Afrika Utara, kekuasaan mereka segera menjadi besar. Tahun 909 mereka dapat menguasai Dinasti Rustamiyah dan menyerang Bani Idrisyiyah yang sedang menguasai Maroko. Perang antar daerah kekuasaan Islam antar dinasti menjadi fenomena yang tidak dapat diselesaikan oleh Abbasiyah sebagai rezim yang berkuasa.  di negeri Maghrib (sekitar Maroko sekarang) dengan Qairawan sebagai ibu kota negaranya.
Seiringan dengan berkembangnya kekuasaan Fathimiyah di sekitar daerah Maghrib, timbul cita-cita besar khalifah al-Mahdi untuk menjadikan Dinastinya sebagai pemegang kekuasaan di dunia Islam kala itu, sekaligus menyebarkan mazhab Syi’ah yang dipakai di kalangan Fathimiyah. Keinginan ini tentunya hanya bisa terwujud jika sanggup menaklukkan Daulah Abbasiyah di kawasan timur negeri Islam (sekitar Baghdad) yang saat itu memegang kontrol di sebagian besar daerah-daerah Islam.Untuk mewujudkan cita-cita besar tersebut, al-Mahdi segera mengatur rencana dan sebagai terget awal adalah bagaimana menguasai kawasan Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Syam (sekitar Syiria sekarang).
Menakhlukkan dua kawasan tersebut tidaklah mudah, karena ada dua penghalang yang dapat menggagalkan rencana khalifah  al-Mahdi , Yaitu :
- Pertama dari sisi pengaruh politik, kawasan Hijaz dan Syam saat itu berada dalam pengaruh kuat Ikhsyidiyah yang berpusat  di Mesir.
- Kedua dari sisi geografis, negeri Mesir yang menjadi pusat daulah Ikhsyidiyah adalah negeri Abbasiyah pertama yang berbatasan langsung dengan kekuasaan Fathimiyah dan berada di antara negeri Maghrib dan kawasan Hijaz dan Syam, sehingga posisi Maghrib sangat tidak menguntungkan sekali secara politik dan militer jika mereka langsung melakukan penyerangan ke Hijaz dan Syam.
Dengan mempertimbangkan hal di atas, mereka memastikan bahwa mereka memang perlu menaklukkan Mesir dan Ikhsyidiyah yang memiliki posisi geografis lebih menguntungan secara politik dan militer.
Keinginan khalifah al-Mahdi untuk menaklukkan Mesir tidak dapat dibendung lagi, tiga kali penyerangan dilancarkan :
- Serangan pertama dilancarkan pada tahun 301 H./913 M. Namun serangan tersebut menemui kegagalan.
- Serangan kedua pada tahun 307 H./919 M. Ia kembali mengadakan penyerangan, sayang hasilnya tetap nihil.
- Serangan ketiga pada tahun 321 H./933 M. Ia mengirim pasukan untuk yang ketiga kalinya, usaha ini terus dilanjutkan sampai masa anaknya al-Qaim Biamrillah diangkat menjaid khalifah kedua Fathimiyah, namun hasilnya juga belum memuaskan, bahkan di sisa-sisa masa jabatan al-Qaim, ia lebih sibuk mengurusi gejolak-gejolak yang terjadi di dalam negerinya, sehingga kegiatan agresi militer ke Mesir mengalami kevakuman.Keadaan seperti ini terus berlanjut di sepanjang masa pemerintahan khalifah ketiga Bani Fathimiyah, al-Mansur Binasrillah (334 H.-341 H./945 M.-952 M.).Kondisi dalam negeri membaik ketika khalifah keempat, al-Muiz Lidinillah, naik tahta di akhir tahun 341 H./953 M.
Seluruh suku bangsa Barbar yang sebelumnya membangkang dapat “dijinakkan” saat itu, kemudian Bani Idrisiyah yang memberontak dan ingin melepaskan diri dapat juga ditaklukkan.
            Pada tahun 914 M, Ziyadatullah bin Qurhub, seorang bangsawan Arab, muncul di Palermo menolak kehadiran Dinasti Fathimiyah di Sycilia. Ia berafiliasi kepada Khalifah Abbasyiah di Bagdad (masa Al-Muqtadir 908-932 M). Ia juga adalah penganut Madzhab Sunni dan dekat dengan keluarga Aghlaby, serta mendapat sokongan yang sangat kuat dari para ulama-ulama madzhab maliki. Para ulama ini secara massif  berimigrasi dari Afrika Utara untuk menghindari tekanan Dinasti fathimiyah yang Syi’ah. Ziyadatullah terus-menerus antara tahun 915-916 M melakukan penyerangan terhadap tanah-tanah Italia, dan Eusthatius di Calabria wakil kerajaan Bizantium terpaksa harus membayar upeti kepadanya. Akan tetapi, pada akhirnya ia ditangkap oleh dinasti Fathimiyah.
Keberhasilan dari sisi internal ini ternyata menjadikan kekuasaan Daulah Fathimiyah meluas, membentang dari barat Tripoli (Libiya sekarang) disebelah timur sampai Samudera Atlantik di sebelah barat.
Ketika itulah keinginan untuk menguasai Mesir kembali muncul. Keinginan ini juga diperkuat dengan beberapa alasan-alasan baru, diantaranya:
a. Meninggalnya Kafur al-Ikhsyidi tahun 357 H./968 M. yang merupakan wali Mesir sejak dua tahun sebelumnya.
b. Terjadinya krisis ekonomi di Mesir. Berkali-kali terjadi banjir di Mesir selama kurun sembilan tahun yang menyebabkan lahan pertanian menjadi sempit dan otomatis harga bahan pangan menjadi mahal serta diikuti dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok lainnya sehingga terjadilah bencana kelaparan di Mesir dan menyebarnya wabah penyakit di kalangan penduduk Mesir.
c. Kekacauan di bidang ekonomi ini merambat ke bidang militer, dimana terjadi perpecahan antara pemimpin-pemimpin militer negara. Situasi ini menambah kemarahan publik terhadap penguasa saat itu berlipat ganda.
d. Sekelompok golongan ekstrim Syi’ah yang disebut Qaramithah terus berusaha mengerogoti kawasan timur Mesir, dan kebetulan sekali beberapa anggota kelompok ini memiliki hubungan baik dengan Dinasti Fathimiyah.
Awalnya golongan Qaramithah inilah yang melakukan gencaran ke Mesir sehingga muncul kecemasan di kalangan publik, dalam kondisi tidak menentu ini sejumlah orang Fathimiyah telah bermain di dalam masyarakat Mesir untuk misi propaganda dan pengendalian opini publik agar mereka siap dengan masuknya penguasa baru di Mesir.Dilain pihak Abbasiyah di Baghdad tidak sangup mengirim pasukannya untuk mengatasi krisis di Mesir.Dengan memperhatikan kondisi internal dan eksternal yang demikian maka khalifah al-Muiz memberanikan diri meneruskan cita-cita pendahulunya yang belum menuai hasil maksimal.
Singkat cerita, selanjutnya khalifah Fathimiyah, al-Muiz Lidinillah , menyerahkan tanggungjawab penaklukan Mesir kepada panglima perangnya Jauhar ash-Shiqli yang sebelumnya berhasil meluaskan kekuasaan Fathimiyah sampai ke pantai Samudera Atlantik (barat Maroko sekarang).
Untuk penyerangan kali ini al-Muiz menyiapkan pasukan dengan kekuatan yang cukup besar dengan menempatkan seratus ribu pasukan berkuda di dalamnya. Sepertinya khalifah al-Muiz tidak ingin mengulangi kekalahan yang diderita pada tiga agresi sebelumnya.Sebelum pengiriman pasukan dimulai, al-Muiz melakukan serangkaian persiapan-persiapan untuk menunjang kelancaran serangan ini, diantaranya pembangunan jalan dan jalur-jalur penghubung ke Mesir, penggalian sumur-sumur, pendirian tempat-tempat istirahat dan tidak lupa pendanaan dalam skala besar.Di saat semua persiapan dirasa cukup maka mulailah khalifah al-Muiz melepas kepergian pasukannya di bawah komando panglima Jauhar ash-Shiqli pada 14 Rabi’ul Akhir 358 H./7 Maret 969 M.
Pasca beberapa seremonial pelepasan, berangkatlah pasukan besar itu menuju arah Mesir. Dan ketika al-Muiz kembali ke istananya, ia mengirimkan pakaian kebesarannya yang baru saja dipakai dalam seremonial tadi kepada Jauhar as-Shiqli kecuali cincin khalifahnya.
Setelah beberapa hari perjalanan, Jauhar dan pasukannya masuk Mesir melalui Iskandariyah (Alexandria). Ketika berita ini sampai di Fusthat, Ja’far al-Furat (menteri Mesir) dan orang-orangnya mengajukan permohonan perlindungan keamanan. Pada 18 Rajab 358 H mereka menyusun sebuah pertemuan dengan pihak Jauhar. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang menyatakan bahwa Jauhar akan memberikan keamanan dan kedatangannya ke Mesir adalah dalam rangka perbaikan serta tidak memaksakan mazhab Syi’ah pada masyarakat Mesir yang Sunni. Ternyata fakta di lapangan berkata lain, sebagian besar tentara Mesir tidak setuju dengan nota kesepakatan tersebut, sehingga terjadilah pertempuran yang berakhir dengan kekalahan pasukan mesir yang tidak setuju.
Pada sore 17 Sya’ban 358 H./6 Juli 969 M. Jauhar ash-Shiqli beserta pasukannya masuk bagian kota Mesir yang kala itu mencakup kawasan Fusthat dan ‘Askar. Dan Jauhar mengambil sebuah tempat luas yang berposisi menghadap kedua kota tersebut sebagai markas pasukannya, tempat itu disebut Munakh.
Dengan masuknya pasukan Dinasti Fathimiyah ke Mesir berarti berakhirlah masa pendudukan Mesir di bawah kekuasaan Ikhsyidiyah dan Abbasiyah, dan mulailah Mesir memasuki babak baru di bawah kekuasaan Dinasti Fathimiyah. Sebagaimana tradisi kaum muslimin sebelumnya, maka setelah berhasil menduduki Mesir, Jauhar segera mendirikan sebuah kota sebagai lambang kekuatan sekaligus kemenangan sisi politik dan militer Daulah Fathimiyah atas Daulah Abbasiyah di Mesir. Bahkan ketika itu Jauhar menghapuskan dan melarang pemakaian semua simbol-simbol Abbasiyah.
Kota tersebut dinamai oleh Jauhar ash-Shiqli dengan Mansuriyah, mengambil nama khalifah Fathimiyah ketiga yang merupakan orang tua khalifah al-Muiz sendiri. Mungkin Jauhar ingin kedudukannya di mata al-Muiz semakin tingi dengan menamai kota baru mereka dengan nama orang tua Sang Khalifah. Nama ini terus dipakai selama empat tahun, sampai di saat kedatangan khalifah al-Muiz ke Mesir ia menggantinya dengan nama al-Qahirah atau yang lebih kita kenal dengan Kairo.

Al-Qahirah atau al-Qahir sendiri dalam bahasa arab berarti yang perkasa atau kuat, konon sebab penamaan kota ini demikian karena al-Muiz sendiri adalah seorang yang cenderung optimistik. Pemilihan nama itupun sebenarnya telah muncul di benak al-Muiz semenjak ia berada di negeri Maghrib, bahkan sebelum Jauhar ash-Shiqli beserta pasukannya melangkah menuju negeri baru ini, tepatnya ketika ia menyampaikan pidato pelepasan pasukan:” demi Allah, walaupun Jauhar ini berangkat seorang diri saja niscaya Mesir akan dapat ditundukkan juga, ia akan memasuki Mesir tanpa peperangan, kemudian menetap di reruntuhan Ibnu Touloun dan medirikan sebuah kota bernama al-Qahirah (yang perkasa) yang akan menaklukkan dunia”.
Prof. Ahmad Hasan al-Baquri, mantan rektor Universitas al-Azhar, pernah menyebutkan alasan lain pemilihan nama al-Qahirah:” ketika Presiden Jamal Abdul Naser berada di kota Qairawan, beliau mengunjungi sebuah masjid di sana yang bangunannya mirip dengan bangunan al-Azhar dan di sampingnya terdapat sebuah ruangan. Teman-teman dekatnya memberitahu bahwa dahulu ruangan itu adalah tempat penyimpanan harta dan senjata, dan mereka dulu menamakan ruangan tersebut dengan al-Qahirah. Dengan nama inilah dinamai kota al-Qahirah (Kairo) setelah Fathimiyah menaklukkan negeri Mesir, tambah mereka.”
Di lain riwayat disebutkan juga bahwa yang menamai kota ini dengan al-Qahirah bukan Khalifah, namun Jauhar sendiri terinspirasi dari planet Mars, yang menurut ahli bintang/falak masa lalu merupakan raja planet/bintang (qahirul falak). Karena menurut riwayat ini ketika pembangunan kota akan dimulai, para ahli bintang mengelilingi pondasi kota dengan tali dan pada tali itu digantungkanlah lonceng-lonceng, kemudian mereka mulai menunggu bintang yang muncul, di saat itulah hinggap burung di atas tali tadi yang menyebabkan lonceng-lonceng tersebut berbunyi dan mereka mendapati bintang kejora (planet mars) telah muncul di ufuk, maka mulailah para pekerja mengayunkan tangan-tangan mereka, mulai membangun kota itu, dan kemudian dinamailah kota itu dengan al-Qahirah.
Terlepas dari beragam versi di atas, di beberapa kesempatan nama al-Qahirah juga biasa disebut al-Qahirah al-Muiziyah dengan menisbahkan nama khalifah al-Muiz kepadanya, atau al-Qahirah al-Mahrusah karena dinding pagarnya yang tinggi dan pintu-pintunya yang besar.
Dari segi posisi, kota al-Qahirah ini terletak di sebelah timur Fusthat, berbentuk persegi empat yang panjang sisinya 1200 meter dan dikelilingi oleh pagar yang besar. Waktu itu ia mencakup daerah al-Azhar, Gamaliyah, Husainiyah, Babu asy-Sya’riyah, Moski, Ghouriyah dan Bab al-Khalq.
Di sisi timur pagar kota, tepatnya di tempat yang dijadikan Jauhar sebagai markas pasukannya, dibangun juga sebuah istana untuk khalifah al-Muiz. Disekitar kawasan inilah berpusat pemerintahan Fathimiyah kala itu, di sana juga dibangun gudang-gudang senjata.
Namun, di masa-masa awalnya Kairo belumlah menjadi sebuah ibu kota melainkan hanya kumpulan dari istana-istana besar, Jami’ al-Azhar, barak-barak militer dan pemukiman kabilah-kabilah dari Maghrib. Sementara itu Fusthat yang berada di pinggir Nil masih berfungsi sebagai pusat perdagangan dan selalu setia meyambut kedatangan kapal-kapal Nil dari daerah-daerah selatan yang mengangkut hasil-hasil pertanian, ia juga masih menjadi kota terbesar bagi para pencari kerja dan pencari ilmu & pengetahuan.
Maka dengan berdirinya al-Qahirah atau Kairo berarti ia adalah kota Islam keempat yang didirikan dalam selang waktu 338 tahun sejak Amru bin Ash mendirikan kota Fusthat tahun 20 H. Dan takdir telah menjadikan jejak-jejak kebesaran tiga kota sebelumnya terhapus sedangkan Kairo tetap kokoh sampai saat ini sebagai ibu kota Mesir dan kota terbesar dalam dunia Islam-selain Istambul ketika menjadi ibu kota Dinasti Utsmani serta menjadi pusat perkembangan peradaban dari sisi agama, pemikiran dan pengetahuan dalam dunia Islam dan Arab khususnya.
Setelah Mesir dapat dikuasai, maka fokus politik Dinasti Fathimiyah selanjut adalah mendirikan ibu kota baru yang terletak di Fusfat bagian Utara, yang mereka sebut dengan al-Qahirah, yang berarti sang penakluk. Sejak itu penampilan Fusfat semakin cemerlang dan mampu menjadi pesaing Kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah. Disamping itu, dinasti ini juga berupaya untuk menyebar luas ideologi Fathimiyah ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[7]
Keberadaan Dinasti Fathimiyah berbeda dengan dinasti-dinasti kecil lainnya. Dinasti Fathimiyah mengklaim diri sebagai kekhalifahan yang memegang pimpinan politik dan spritual tertinggi. Mereka tidak mengaku bagian dari Abbasiyah, mereka melepaskan diri dari Baghdad, tidak hanya dari segi politik, tetapi juga spritual. Sementara dinasti-dinasti kecil lainnya walaupun secara politik melepas dari dinasti Abbasiyah, namun secara spiritual mereka tetap terikat. Inilah yang membedakan Dinasti Fathimiyah dengan dinasti-dinasti lokal lainnya.
Khalifah-khalifah yang memimpin Dinasti Fathimiyah ada 14 orang, yaitu:

- Abu Muhammad Abdullah (Ubaidillah) al-Mahdi billah (910-934). Pendiri.
- Abu Muhammad al-Qa’im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946)
- Abu Kahir Ismail al-Mansur bi-llah (946-953)
- Abu Tamim Ma’add al-Mu’izz li-Din Allah (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
- Abu Mansur Nizar al-’Aziz bi-llah (975-996)
- Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996-1021)
- Abu Hasan Ali al-Zahir li-I’zaz Din Allah (1021-1036)
- Abu Tamim Ma’add al-Mustansir bi-llah (1036-1094)
- Al-Musta’li bi-llah (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
- al-Amir bi-Ahkam Allah (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
- Abd al-Majid al-Hafiz (1130-1149)
- al-Zafir (1149-1154)
- al-Faiz (1154-1160)
- al-Adid (1160-1171)[8]
Sebagai catatan penting, Dinasti Fathimiyah ini hanya sampai khalifah kedelapan yang memperlihatkan eksistensi politik dan kekuasaannya, selebih dari itu, keberadaannya hanya sebagai dinasti lemah.

C. KEMAJUAN DINASTI FATHIMIYAH

Dinasti Fathimiyah mencapai puncak kejayaannya pada periode Mesir, terutama di bawah pemerintahan al-Muiz dan al-Hakim dengan kota Kairo sebagai pusat pemerintahan. Ketika itu di sana terdapat lebih kurang 20.000 toko milik khalifah, yang penuh dengan barang dari dalam dan luar negeri. Tempat pemandian dan sarana umum lainnya juga didirikan oleh penguasa. Istana khalifah dihuni oleh 30.000 orang, 12.000 di antaranya pembantu dan 10.000 orang pengawal berkuda. Tentu bila dibandingkan dengan pola kekuasaan abad ini, justru pegawai terbayak adalah pegawai istana pemerintahan, kecuali bila dihitung aparatur pemerintah setiap daerah dari yang teratas hingga paling bawah.
Al-Muiz melakukan tiga kebijakan besar, yaitu pembaruan di bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama.[9] Di bidang administrasi, ia mengangkat seorang menteri (wazir) untuk melaksanakan tugas kenegaraan. Di bidang ekonomi, ia memberikan gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Di bidang agama, di Mesir didirikan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Sy’iah dan dua lagi untuk Sunni. Ini memperlihat kerukunan dua aliran di Dinasti Fathimiyah.
Al-Aziz kemudian memunculkan program baru dengan mendirikan masjid, istana, jembatan dan kanal sehingga Dinasti Fathimiyah akhirnya dikenal dengan kekuatan maritim yang tangguh. Kenyataannya, mereka berhasil membangun pertahanan maritim dan menjadi pusat perdagangan laut ketimbang menyebarluaskan ajaran dan ideologi mereka.[10]
Sementara itu, pada masa Khalifah al-Hakim, mendirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga pusat pengkajian dan pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi. Ia juga mendirikan Dar al-Ilmi, sebuah lembaga dengan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013, al-Hakim membentuk majelis ilmu pengetahuan di istana sebagai tempat berkumpulnya para ilmuwan untuk berdiskusi. Pada masa ini, muncul Ibnu Yunus (958-1009), seorang astronom besar yang menemukan pendulum dan alat ukur waktu. Karyanya, Zij al-Alibar al-Hakimi diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Temuan Ibnu Yunus kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Al-Nabdi dan Hasan Haitani (965-1039), seorang astronom, fisikawan dan opoteker.[11]
Kemajuan yang tinggi pada peradaban Islam masa Fathimiyah dapat disimpulkan meliputi  bidang :
1-      Administrasi dan pemerintahan
2-      Ekonomi
3-      Seni dan kemegahan pembangunan fisik
4-      Ilmu pengetahuan dan kesusastraan
Dinasti Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut sunni menyeberang ke Syi’ah Ismailiyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah pada masa khalifah al-Hakim, karena ia melakukan pembantaian terhadap penganut agama Kristen, menghancurkan gereja, membunuhi anjing serta mengharamkan jenis makanan tertentu. Di samping itu, ia memproklamirkan sebagai Tuhan dan ia dianggap gila.[12] Inilah titik awal dan alasan terjadinya perang dingin dan meletus menjadi perang Salib nantinya.
Mesir dengan segera menjadi pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah, menyaingi Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Mesir juga menjadi pusat pengembangan intelektual dan keilmuan dengan keberadaan Universitas al-Azhar (970). Pada awal didirikan hingga dua abad kemudian al-Azhar telah memainkan peranan penting, sebagai pusat propaganda ajaran Ismailiyah oleh Dinasti Fathimiyah, Sampai nanti Salahuddin al-Ayyubi menguasai Mesir dan menjadikan Sunni sebagai mazhab pengganti Syi’ah. Namun begitu, Kairo tetap mampu menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Dunia Islam.
Namun pada periode sesudahnya, dinasti ini melemah, terutama saat menghadapi tentara perang salib dan kaum sunni. Disamping itu, khalifahnya sering kali berusia muda dan suka berfoya-foya. Sementara itu, kalangan pejabatan terjadi perebutan kekuasaan.

D. KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN

Kemunduran yang dialami Dinasti Fathimiyah sudah mulai ada pada masa al-Hakim Masa pemerintahannya, ditandai dengan sifat aneh, karena ia membuat kebijakan menghancurkan gereja suci di Yerusalem, yang kelak akhirnya menjadi salah satu peristiwa yang melatar belakangi pecahnya perang salib. Ia juga secara umum menyatakan diri sebaga Tuhan, sebuah klaim yang menimbulkan polemik yang dahsyat di kalangan umat Islam dan ia dipaksa mencabut pernyataan tersebut. Inilah akhirnya menjadi akar melemahnya dukungan politik terhadap kepemimpinan al-Hakim, sehingga pada tahun 1094 terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh panglima militer, al-Afzal Sahinsyah.
Sementara itu terjadi kekacauan sekitar permasalahan suksesi di masa pemerintahan khalifah al-Musta’ali. Nizar, putera Musta’ali yang tertua dihukum penjara hingga meninggal, namun pengikut Nizar meyakini bahwa Nizar masih hidup. Ini menimbulkan kekacauan dan melahirkan dua kubu yang saling bersaing, yaitu kubu Must’aliyah dan kubu Nizariyah.
Keretakan antara Nizariyah dan Musta’aliyah menimbulkan cabang baru Islamiyah. Putra Al-Musta’ali yang bernama al-Amir menggantikan ayahnya sebagai penguasa di Mesir masih berusia anak-anak, al-Amir akhirnya menjadi korban pembunuhan pada tahun 1130. Sepeninggal al-Amir, Dinasti Fathimiyah semakin mengalami kemunduran. Pada saat itu, timbul pertentangan paham keagamaan antara kalangan penguasaan dengan mayoritas masyarakat yang menganut Sunni. Sejumlah kelompok kecil mengikuti imam mereka masing-masing dan mengabaikan klaim penguasa Fathimiyah.
Pada masa pemerintah al-Adid, Dinasti Fathimiyah mendapat kesulitan untuk menahan masuk tentara salib ke Mesir. Maka pada khalifah al-Adid meminta bantuan kepada Nurddin Zanki. Nurddin akhirnya mengutuskan Shalahuddin al-Ayubi yang membawa tentara ke Mesir untuk menghalau tentara Salib. Karena keberhasilannya, dia diangkat menjadi menteri di Mesir, di bawah Fathimiyah tentunya. Namun khalifah al-Adid amat tua untuk memimpin dan tekanan politik makin tinggi, sementara keberhasila Shalahuddin al-Ayubi membuat dukungan atasnya menjadi khalifah sangat kuat. Pada akhirnya, Shalahuddin al-Ayubi bisa menjadi khalifah dan mengakhiri Dinasti Fathimiyah.
Faktor yang menyebabkan kemunduran Fathimiyah terlebih sesudah berakhirnya masa al-Aziz,adalah khalifah yang diangkat pada usia masih sangat belia.hal ini membuat mereka menjadi boneka para wazir dan timbul konflik kepentingan di kalangan pejabat istana serta di kalangan militer antara unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan, dan Sudan. Terlebih lagi, para penguasa itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideologi Syiah kepada rakyat yang mayoritas sunni.  
Kepemimpin Shalahuddin al-Ayubi mengubah corak kekuasaan sebelumnya, dari Syi’ah beralih ke Sunni. Sehingga disebut Dinasti Sunni al-Ayyubiyah. Shalahuddin al-Ayubi sebagai pendirinya.
Sekalipun Fathimiyah runtuh di Mesir, namun beberapa kelompok kecil Ismailiyah masih bertahan di Syiria, Persia dan Asia Tengah. Serta ia mengalami perkembangan pesat di India. Artinya, setelah runtuh, sebuah kekuatan tidak serta merta lenyap, tetapi masih ada dan bertahan, atau setidaknya tumbuh di tempat lain.

A.      Sejarah Munculnya Dinasti Ayyubiyyah
Pendiri dinasti ini adalah Shalahudin Al-Ayyubi, lahir di takriet 532 H/1137 M meninggal 589 H/ 1193 M dimasyurkan oleh bangsa Eropa dengan nama saladin pahlawan perang salib dari keluarga ayyubiyah suku kurdi.
Dinasti Ayyubiyah di Mesir berkuasa tahun 1169 sampai akhir abad ke-15 M. menggantikan dinasti Fatimiyah. Pendiri dinasti ini adalah Salahuddin. Ia menghapuskan sisa-sia Fatimiyah di Mesir yang bercorak Syi’i dan mengembalikannya ke faham sunni-ahlu sunnah wal jama’ah-. Reputasi Salahudin bersinar setelah sukses melawan tentara Salib dengan mempersatukan pasukan Turki, Kurdi dan Arab. Kota Yerussalem pada tahun 1187 kembali ke pangkuan Islam dari tangan tentara Salib yang telah menguasainya selama 80 tahun.
Gangguan politik terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kekuasaan Fathimiyah[1]. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah.
  1. Ketika ia menguasai Iskandariyah ia tetap mengunjungi orang-orang kristen
  2. Ketika perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengijinkan orang-orang kristen berziarah ke Baitul Makdis.
            Keberhasilan beliau sebagai tentara mulai terlihat ketika ia mendampingi pamannya Asaduddin Syirkuh yang mendapat tugas dari Nuruddin Zanki untuk membantu Bani Fatimiyah di Mesir yang perdana menterinya diserang oleh Dirgam. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berhasil mengalahkan Dirgam, sehingga ia dan pamannya mendapat hadiah dari Perdana Menteri berupa sepertiga pajak tanah Mesir. Akhirnya Perdana Menteri Syawar berhasil menduduki kembali jabatannya pada tahun 1164 M.
Tiga tahun kemudian, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi kembali bergabung pamannya ke Mesir.Hal ini dilakukan karena Perdana Menteri Syawar berafiliasi / bekerjasama dengan Amauri yaitu seorang panglima perang tentara salib yang dulu pernah membantu Dirgam. Maka terjadilah perang yang sangat sengit antara pasukan Shalahuddin dan tim Syawar yang dibantu oleh Amauri. 

Dalam peperangan tersebut pasukan Shalahuddin berhasil menduduki Iskandariyah, tetapi ia dikepung dari darat dan laut oleh tentara salib yang dipimpin oleh Amauri. 
Akhirnya perang ini berakhir dengan perjanjian damai pada bulah Agustus 1167 M, yang isinya adalah sebagai berikut:
  1. Pertukaran tawanan perang
  2. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi harus kembali ke Suriah
  3. Amauri harus kembali ke Yerusalem
  4. Kota Iskandariyah diserahkan kembali kepada Syawar.
Pada tahun 1169, tentara salib yang dipimpin oleh Amauri melanggar perjanjian damai yang disepakati sebelumnya yaitu Dia menyerang Mesir dan bermaksud untuk menguasainya. Hal itu tentu saja sangat membahayakan kondisi umat islam di Mesir, karena:
  1. Mereka banyak membunuh rakyat di Mesir
  2. Mereka berusaha menurunkan Khalifah al-Adid dari jabatannya
Khalifah al-Addid mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana Menteri Mesir pada tahun 1169 M. ini merupakan pertama kalinya keluarga al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri, tetapi sayang beliau menjadi Perdana Menteri hanya dua bulan karena meninggal dunia.Khalifal al-Adid akhirnya mengangkat Salahuddin Yusuf al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh dalam usia 32 tahun. Sebagai Perdana Menteri diketahui gelah al-Malik an-Nasir artinya penguasa yang bijaksana. [2]
            Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penyh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa sampai sekitar 75 tahun lamanya.
Salahudin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567H/1171M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah ditandai dengan pengakuan Shalahudin atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan penggantian Qadi Syi’ah dengan Sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175, Shalahudin mendapat pengakuan dari Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan . Sepeluh tahun kemudian ia menaklukan Mesopotamia dan menjadikan para penguasa setempat sebagai pemimpinnya.
Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahudin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. [2]
http://smpnu2gresik.sch.id/?p=503
Dalam peperangan ini, pasukan Perancis dapat dikalahkan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah tiga bulan berikutnya, tepatnya pada bulan Oktober 1187 M, pada saat itulah suara azan menggema kembali di Mesjid Yerussalem.
Jatunya pusat kerajaan Haatin ini memberi peluang bagi Shalahudin al-Ayyubi untuk menaklukkan kota-kota lainya di Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat ditaklukkan pada taun 1189 M, sementara kota-kota lainnya, seperti Tripol, Anthakiyah,Tyre an beberapa kota kecil lainnya masih berada di bawah kekuasaan tentara Salib.
  Setelah perang besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua pasukan hidup dalam keadaan damai. Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian damai secara penuh pada bulan 2 November 1192 M. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan daerah pedalaman dikuasai oleh kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gangguan terhadap umat Kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh Shalahudin al-Ayyubi hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia 55 tahun.
            Dalam catatan sejarah, Shalahudin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang angat memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun bendungan, menggali terusan, serta mendirikan sekolah dan masjid. Salah satu karya yang sangat monumetal adalah Qal’ah al-Jabal, sebuah benteng yang dibangun di Kairo pada tahun 1183. Secara umum, para Wazirnya adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan al-Katib al-Isfahani. Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian juga dikenal sebagai penulis biografinya. Kekayaan Negara tidak digunakan untuk kepentingan dirinya, tetapi dibagi-bagikan terutama kepada para prajurit dan pensiunan, selain untuk membiayiai pembangunan. Dia hanya mewariskan empat puluh tujuh dirham dan sebatang emas.
            Setelah Shalahudin al-Ayyubi meninggal, daerah kekuaannya yang terbentang dari sungai Tigris hingga sunagi Nil itu kemdian dibagi-bagikan kepada keturunannya. Al- Malik al-Afdhal Ali, putera Shalahudin memperoleh kekuasaan untuk memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, al-Malik al-Jahir berkuasa di Aleppo (Halab) , dan al-Adil, adik Shalahudin, memperoleh kekuasaan di al-Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al-‘Adil berhasil menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-‘Adil yeng bergelar Saifuddin itu mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman. Sejak itu, sering terjadi konflik internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir dengan Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah.
            Kemudian al-Kamil Muhammad, putera al’Adil, yang menguasai Mesir ( 615 – 635 H/ 1218 -1238 M) termasuk tokoh Bani Ayub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk melindungi daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah menaklukkan Dimyat, tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan ayahnya. Tentara Salib memang nampaknya terus berusaha menaklukan Mesir dengan bantuan Italia. Penaklukan Mesir menjadi sangat penting, karena dari negeri itulah mereka akan dapat menguasai jalur perdagangan Samudera Hindia melalui Laut Merah. Setelah hampir dua tahun (November 1219 hingga Agustus 1221 M) terjadi konflik antara tentara salib dengan pasukan Mesir, tetapi al-Kamil dapat memaksa tentara Salib untuk meningalkan Dimyati.
            Di samping memberikan perhatian serius pada dalam bidang politik dan militer, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang memberikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya yang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan lahan pertanian serta menjalin hubungan perdagangan dengan Eropa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan hidup beragama antar umat Islam dengan Kristen Koptik, dan bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik.
            Pada masa itu kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah tahun 1240 – 1249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nil ditaklukan kembali oleh tentara salib yang dipimpin oleh
Raja Louis IX ari Perancis.Ketika pasukan Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil dalam keadaan pasang, sehingga mereka menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat dikalahkan oleh pasukan Ayyubiyah pada April 1250. Raja Louis IX dan beberapa bangsawan Perancis ditawan, tetapi kemudian mereka dibebaskan kembali setelah Dimyati dikembalikan ke tangan tentara muslim, disertai dengan sejumlah bahan makanan sebagai bahan tebusan. Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik al-Saleh meninggal dunia. Semula ia akan digantikan oleh putera mahkota, Turansyah. Untuk itu, Turansyah dipanggil pulang dari Mesopotamia (Suriah) untuk menerima tampuk kekuasaan ini. Untuk menghindari kevakuman kekuasaan, sebelum Turansyah tiba di Mesir, ibu tirinya yaitu Sajaratuddur. Akan tetapi, ketika Turansyah akan mengambil alih kekuasan ia mendapat tantangan dai para Mamluk, hamba sahaya yang dimiliki tuannya, yang tidak menyenanginya. Belum genap satu tahun turansyah berkuasa, ia kemudian dibunuh oleh para mamluk tersebut atas perintah ibu tirinya, Sajaratuddur. Sejak saat itu, Sajaratddur menyatakan dirinya sebagai Sultanah pertama di Mesir. Pada saat yang bersamaan, seorang pemimpin Ayubiyah bernama al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyatakan dirinya sebagai sultan Ayyubiyah meskipun hanya sebatas lambang saja tanpa kedaulatan atau kekuasaan yang riel. Kekuasaan yang sebenarnya justeru berada di tangan seorang mamluk bernama Izzuddin Aybak, pendiri dinasti Mamluk (1250-1257 ) . Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M, berakhirlah masa pemerintahan dinasti al-Ayubiyah, dan kekuasaan beralih ke pemerintahan Dinasti Mamluk ( 1250-121517 M).
            Selama lebih kurang 75 tahun dinasti Al-Ayyubiyah berkuasa, terdapat 9 orang penguasa, yakni sebagai berikut:
  1. Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi(1171-1193 M)
  2. Malik Al-Aziz Imaduddin (1193-1198 M)
  3. Malik Al-Mansur Nasiruddin (1198-1200 M)
  4. Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
  5. Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
  6. Malik Al-Adil Sifuddin, pemerintahan II (1238-1240 M)
  7. Malik As-Saleh Najmuddin (1240-1249 M)
  8. Malik Al-Mu’azzam Turansyah (1249-1250 M)
  9. Malik Al-Asyraf Muzaffaruddin (1250-1252 M)
B. Politik dan Pendidikan Islam Dinasti Ayyubiyah
Keberhasilan Shalahudin dalam perang Salib , membuat para tentara mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah menjadi Sunni.
            Penaklukan atas Mesir oleh Shalahudin pada 1171 M, membuka jalan politik bagi pembentukan madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir. Madzhab Syafi’i tetap bertahan di bawah pemerintahan Fatimiyah, sebaliknya Shalahudin memberlakukan madzhab-madzhab Hanafi. Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir.
            Sebelumnya, Shalahudin masih menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahudin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Dengan jatuhnya Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi madrasah sebagai penyebaran faham Syi’ah. Salah satu penyebaran faham Syi’ah pada saat itu adalah melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang menganut faham Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang memasukkan faham politik syi’ah ke lembaga pendidikan, Shalahudin kemudian mendirikan madrasah-madrasah sebagai pusat penyebaran faham Sunni. Selain itu, banyak pihak swasta yang mendirikan madrasah-madrasah dengan maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka mencari keridhaan Allah Swt. serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang tidak dapat disalurkan lewat mesjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau politik, yang semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan dalam masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Sebagai contoh adalah madrasah-madrasah berikut ini:Berbeda dengan kuttab dan mesjid, madrasah sudah mempunyai bangunan fisik tertentu seperti sekarang ini, yang bentuknya dirancang sesuai fungsinya untuk melanjutkan pendidikan mesjid. Bangunan madrasah tersebut meliputi tiga unit, yaitu; Unit madrasah, unit asrama, dan unit mesjid. Unit asarama dijadikan tempat murid-murid, guru-guru dan para pegawai madrasah sehingga membentuk keluarga besar, dengan demikian murid-murid dapat diberikan program-program belajar yang intensif dan membahas secara bersama-sama masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, keagamaan, kemasyarakatan, dan penghidupan.
             Tujuan pendidikannya selain untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agama dan membentuk kader-kader yang mempunyai misi keagamaan dalam masyarakat, juga untuk mencetak tenaga-tenaga yang kreatif yang ahli dalam bidangnya masing-masing.
Perbedaan-perbedaan lainnya adalah madrasah sudah merupakan salah satu organisasi resmi Negara di mana dikeluarkan pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintahan. Pelajar-pelajar disitu juga resmi, dijalankan menurut peraturan-peraturan dan undang-undang, serupa yang dikenal selama ini. Segala sesuatu diatur seperti kehadiran dan kepulangan murid, program-program pelajaran, staf pengajar, perpustakaan dan gelar-gelar ilmiah. Di Mesir ketika itu hanya terdapat satu buah perguruan tinggi yaitu Universitas al-Azhar yang masih berdiri hingga sekarang.
            Selain itu, di masa pemerintahan Shalahudin, ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam.
Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah kedudukan Shalahudin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.Sampai ia meninggal (1193 M) , Shalahudin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir.Selain hal di atas, aroma-aroma politik yang di jalankan pada masa Dinasti Ayyubiyah sampai juga di salah satu mesjid sekaligus madrasah ternama yakni al-Azhar. Disana disebarkan paham-paham Sunni yang semakin lama semakin menjamur.



C. Universitas Al-Azhar Pada Masa Dinasti Ayyubiyah
            Segera setelah dinasti Fatimiyah runtuh (1171M) Shalahudin al-Ayyubi meng-hapuskan dinasti tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya sebagai penguasa baru atas Mesir, dengan nama dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini lebih berorientasi ke Baghdad, yang Sunni.
Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Shalahudin berkuasa, ia mengeluarkan beberapa kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijakan itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar tidak boleh lagi dipergunakan untuk shalat Jum’at dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syi’ah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu mazhab Sunni.
            Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukum-hukum mazhab Syafi’i. Di antaran fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan shalat Jum’at di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i tidak boleh ada dua khutbah Jum’at dalam satu kota yang sama.Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jum’at dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Shalahudin berkuasa sampai khutbah Jum’at dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.Meskipun begitu, penutupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari para penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan universitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al-‘Iz, al-Kulliyat al-‘Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al- Fadiliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah, dan al-kulliyat al- ‘Asuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya.Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian mereka yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut.Keadaan demikian tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik al-Aziz Imaduddin Usman, putra Shalahudin al-Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/589H. Beliau mengajar di al-Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi mantiq dan Bayan.Kedatangan al- Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din al- Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan.Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al- Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi dan sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir.Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran.dan penyebaran ajaran mazhab Sunni adalah al-Azhar.
            Selain itu, masih banyak lagi perkembangan-perkembangan yang diciptakan pada masa Dinasti Ayyubiyah ini dalam berbagai bidang, seperti dapat kita baca pada pembahasan di bawah ini.
D. Kemajuan-keamajuan Pada Masa Dinasti Ayyubiyah
Sebagaimana dinasti-dinasti sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan yang gemilang dan mempunyai beberapa peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang, diantaranya adalah :
1. Bidang Arsitektur dan Pendidikan
Penguasa Ayyubiyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini ditandai dengan dibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. Dibangunnya Dar al Hadist al-Kamillah juga dibangun (1222 M) untuk mengajarkan pokok-pokok hukum yang secara umum terdapat diberbagai madzhab hukum sunni. Sedangkan dalam bidang arsitek dapat dilihat pada monumen Bangsa Arab, bangunan masjid di Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja. Shalahuddin juga membangun benteng setelah menyadari bahwa ancaman pasukan salib akan terus menghantui, maka tugas utama dia adalah mengamankan Kairo dan sekitarnya (Fustat). Penasihat militernya saat itu mengatakan bahwa Kairo dan Fustat masing-masing membutuhkan benteng pertahanan, tapi Shalahuddin memiliki ide brilian, bahwa dia akan membangun benteng strategis yang melindungi secara total kotanya. Selanjutnya, dia memerintahkan untuk membangun benteng kokoh dan besar diatas bukit Muqattam yang melindungi dua kota sekaligus Kairo dan Fustat. Proyek besar Citadel dimulai pada 1176 M dibawah Amir Bahauddin Qaraqush. Shalahuddin juga membangun dinding yang memagari Kairo sebagai kota residen bani Fatimiyyah, sekaligus juga memagari benteng kebesarannya serta Qata’i-al Fustat yang saat itu merupakan pusat ekonomi Kairo terbesar.
2. Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti konkritnya adalah Adelasd of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang kedokteran ini telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
3. Bidang Industri
Kemajuan di bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan pabrik gelas.
4. Bidang Perdagangan
Bidang ini membawa pengaruh bagi Eropa dan negara–negara yang dikuasai Ayyubiyah. Di Eropa terdapat perdagangan agriculture dan industri.
Hal ini menimbulkan perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu Dunia ekonomi dan perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter of Credit (LC), bahkan ketika itu sudah ada uang yang terbuat dari emas.
5. Bidang Militer
Selain memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.

  1. A.    Asal Mula Berdirinya Dinasti Murabithun dan Muwahhidun
    1. 1.      Dinasti Murabithun
Murabithun atau Al-Murawiyah (448-541/1056-1147), merupakan salah satu Dinasti Islam yang berkuasa di Maghrib. Nama Al-Murabithun berkaitan dengan nama tempat tinggal mereka (ribath).[1] Murabithun (ribath) sejenis benteng pertahanan Islam yang berada di sekitar masjid. Masjid mempunyai multifungsi sebagai tempat ibadah, penyebaran dakwah sekaligus sebagai benteng pertahanan. Anggota pertamanya berasal dari Lamtuna bagian dari suku Sanhaja yang suka mengembara di padang Sahara.[2] Salah satu kebiasaan mereka menggunakan cadar yang menutupi wajah di bawah mata, kebiasaan ini dinamakan Mulatstsamun (para pemakai cadar) yang kadang-kadang menjadi sebutan lain bagi kaum Murabithun.
Ibu kota al-Murabithun ialah Marakesy yang didirikan oleh pemimpin mereka yang kedua, Yusuf ibn Tasyfin, 454/ 1062. Mereka juga berjasa mengIslamkan penduduk pantai barat Afrika, dan melintasi Sahara hingga ke Sudan di timur benua Afrika itu. Mereka mengakui khilafah Abbasiyah dan menganut mazhab Maliki yang tersebar luas di Afrika Utara. Akhirnya, al-Murabithun ditundukkan oleh al-Muwahhidun yang telah menguat di Afrika Utara.[3]
Pada abad ke sebelas pemimpin Sanhaja, Yahya bin Ibrahim, melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Dan sekembalinya dari Arabia, ia mengundang Abdullah bin Yasin seorang alim terkenal di Maroko, untuk membina kaumnya dengan keagamaan yang baik, kemudian beliau dibantu oleh Yahya bin Umar dan saudaranya Abu Bakar bin Umar. Perkumpulan ini berkembang dengan cepat, sehingga dapat menghimpun sekitar 1000 orang pengikut.
Di bawah pimpinan Abdullah bin Yasin dan komando militer Yahya bin Umar mereka berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Wadi Dara, dan kerajaan Sijil Mast yang dikuasai oleh Mas’ud bin Wanuddin. Ketika Yahya bin Umar meninggal dunia, jabatannya diganti oleh saudaranya, Abu Bakar bin Umar, kemudian ia menaklukkan daerah Sahara Maroko. Setelah diadakan penyerangan ke Maroko tengah dan selatan selanjutnya menyerang suku Barghawata yang menganut paham bid’ah. Dalam penyerangan ini Abdullah bin Yasin wafat (1059 M). Sejak saat itu Abu Bakar memegang kekuasaan secara penuh dan ia berhasil mengembangkannya.
Abu Bakar berhasil menaklukkan daerah Utara Atlas Tinggi dan akhirnya dapat menduduki daerah Marakesy (Maroko). Kemudian ia mendapat berita bahwa Buluguan, Raja Kala dari Bani Hammad mengadakan penyerangan ke Maghrib dengan melibatkan kaum Sanhaja. Mendengar berita itu ia kembali ke Sanhaja untuk menegakkan perdamaian. Setelah berhasil memadamkan, ia menyerahkan kekuasaanya kepada Yusuf bin Tasyfin pada tahun 1061.
Pada tahun 1062 M, Yusuf bin Tasyfin mendirikan ibu kota di Maroko. Dia berhasil menaklukkan Fez (1070 M) dan Tangier (1078 M). Pada tahun 1080-1082 M, ia berhasil meluaskan wilayah sampai ke Al-Jazair. Dia mengangkat para pejabat Al-Murabithun untuk menduduki jabatan Gubernur pada wilayah taklukannya, sementara ia memerintah di Maroko. Yusuf bin Tasfin meninggalkan Afrika pada tahun 1086 M dan memperoleh kemenangan besar atas Alfonso VI (Raja Castile Leon), dan Yusuf bin Tasfin mendapat dukungan dari Muluk At-Thawa’if dalam pertempuran di Zallaqah. Ketika Yusuf bin Tasfin meninggal dunia, ia mewariskan kepada anaknya, Abu Yusuf bin Tasyfin. Warisan itu berupa kerajaan yang luas dan besar terdiri dari negeri-negeri Maghrib, bagian Afrika dan Spanyol. Ali ibn Yusuf melanjutkan politik pendahulunya dan berhasil mengalahkan anak Alfonso VI (1108 M). Kemudian ia ke Andalusia merampas Talavera Dela Rein.
Lambat laun Dinasti Al- Murabithun mengalami kemunduran dalam memperluas wilayah. Kemudian Ali mengalami kekalahan pertempuran di Cuhera (1129 M). kemudian ia mengangkat anaknya Tasyfin bin Ali menjadi Gubernur Granada dan Almeria. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menguatkan moral kaum Murabithun untuk mempertahankan serangan dari raja Alfonso VII. Masa terakhir Dinasti Al-Murabithun tatkala dikalahkan oleh Dinasti Muwahhidun yang dipimpin oleh Abdul Mun’im. Dinasti Muwahhidun menaklukkan Maroko pada tahun 1146-1147 M yang ditandai dengan terbunuhnya penguasa Al-Murabithun yang terakhir, Ishak bin Ali.
Dinasti Al- Murabithun memegang kekuasan selama 90 tahun, dengan enam orang penguasa yaitu: Abu Bakar bin Umar, Yusuf bin Tasyfin, Ali bin Yusuf, Tasyfin bin Ali, Ibrahim bin Tasfin, Ishak bin Ali. Penguasa-penguasa di Afrika Utara ini menjadi pendukung para penulis, filosofis, para penyair, dan arsitektur bangsa Spanyol. Masjid agung di Themsen dibangun tahun 1136. Memperbaiki masjid Qairuwan menurut desain Spanyol, dan membangun kota Maroko menjadi ibu kota kerajaan dan pusat keagamaan. Daulah Murabithun inilah yang pertama membuat dinar memakai huruf Arab dengan tulisan Amirul Mukminin dibagian depan mencontoh uang Abbasiyah dan bertuliskan kalimat iman dibagian belakang. Pembuatan uang ini dicontoh oleh Alfonso VIII dengan kalimat Amir al-Qatuliqun (Pemimpin Katolik) di bagian depan dan Amam al-Bi’ah Almasihiyah (pemimpin gereja Kristen) pada bagian belakang.[4]
  1. 2.      Dinasti Muwahhidun
Sama halnya dengan dinasti Murabithun yang memulai propagandanya dibidang keagamaan. Atau setidak-tidaknya menjadikan agama sebagai dasar gerakan tersebut. Pelopor dan sekaligus sebagai pendiri adalah Muhammad ibn Tumart yang lahir di Atlas tahun 1082 M.[5] Dia berasal dari suku Masmudah pegunungan Atlas Maroko. Dia merupakan seorang pengelana yang haus ilmu pengetahuan. Dia belajar dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari Cordoba, Alexandaria, Mekkah dan akhirnya di Baghdad.
Setelah kembali dari perantauannya di Maroko, Ibn Tumart mulai mengadakan propaganda pembaruan terhadap tradisi Islam yang dogmatis kepada pentauhidan yang murni dan tegas. Sebutan yang diberikan kepada pengikutnya adalah al-Muwahhidun yang berarti Penegak KeEsaan Tuhan. Dalam bidang teologi ia berpaham al Asy‘ariyah, sedangkan dalam bidang tasawuf ia memilih paham yang dikembangkan oleh imam al-Ghazali, dan bidang Fiqh dia menganut madzhab Maliki. Ibn Tumart sangat keras dan terkadang kasar dalam menanamkan moral dan kepercayaan agama, ia pernah memukul saudara perempuan dari gubernur dinasti Murabithun di kota Fez karena tidak mengenakan kerudung.
Gerakan Muwahhidun semakin lama semakin banyak pengikutnya di Aghmat. Ibn Tumart berhasil memikat suku Barber Atlas. Suku itu sebelumya sudah memeluk agama Islam tapi sangat minim pengetahuan terhadap Islam. Dari gerakan keagamaan kemudian berubah menjadi gerakan politik, dan para pengikutnya menyebutnya sebagai Imam Mahdi. Gerakan ini semakin sukses karena dibantu oleh Abdul Muin, orang yang ahli dalam hal strategi dan militer. Di kota Tin Malal (Tinmal) mendirikan masjid sebagai pusat pengajaran dan propagannya, dan di kota ini pada tahun 1121 M dijadikan sebagai ibu kota pertama al Muwahhidun.[6]
Setelah Ibn Tumart meninggal dunia tahun 1130 gerakan ini dipimpin oleh Abdul Mu’min yang kemudian menggunakan gelar khalifah bagi dirinya. Dia berhasil menaklukan, mengusai kerajaan Hammiyah di Bejaya, Ziridiyah di Ifriqiyah, Teluk Sidra, dinasti Murabithun dan ibu kotanya Marrakesh (Maroko) Afrika Utara pada tahun 1147, Padang Pasir Libya 1149. Pada tahun 1170 dia melakukan ekspansi ke Spanyol dan berhasil menguasainya. Kemudian dia menjadikan Sevillle sebagai ibu kota Dinasti Muwahhidun.

  1. B.     Perkembangan yang Dicapai oleh Dinasti Murabithun dan Muwahhidun di Andalusia.
    1. 1.      Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Murabithun
      1. Kemajuan
Dinasti Murabithun memegang kekuasaan selama 90 tahun dengan enam orang penguasa yang telah disebutkan di atas. Murabithun memegang peran penting mempersatukan bangsa Barber dalam satu kesatuan. Dinasti Murabithun banyak mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan arsitektur bangunan masjid.
Dinasti inilah yang pertama membuat dinar memakai huruf Arab dengan tulisan Amir al-Mu’minin dibagian depan mencontoh uang Abbasiyah dan bertuliskan kalimat iman di bagian belakang.
Terkait dengan ekonomi, di bawah kekuasaan Yusuf ibn Tasyfin berkembang dengan pesat. Ia dapat mengumpulkan penghasilan untuk negara sebesar 120.000 pound emas. Ia juga menghapus pajak karena tidak ada perintah dalam Al-Qur’an, dan kehidupan amat murah dan bersahaja sedang masyarakat menikmati kedamaian. Kehadiran agama Kristen dan Yahudi sedikit sulit namun mereka menikmati kebebasan beragama, tapi tidak boleh mendirikan gereja atau sinagong. Kebebasan berpikir pada zamannya dihalang-halangi, mereka menentang teologi dan sufisme. Dinasti Murabithun merupakan dinasti Sunni dengan mazdhab hukumnya Maliki. Namun dalam soal dekorasi bentuk puisi populer dan lagu berkembang.[7]
  1. Kemunduran
Dinasti Murabithun mengalami kemunduran dan kehancuran pada tahun 541 H/ 1147 M. Sebab-sebab kehancuran mulai terasa ketika Ali, anak Yusuf menduduki jabatan Amir, karena tidak secakap ayahnya ia banyak menggunakan waktunya untuk beribadah, didominasi istrinya. Hal ini membuat masyarakat tidak bergembira, bangsawan berebut kekuasaan, tentaranya ceroboh, orang kaya Barber mengikuti jalan setan.[8]
Adapun secara terperinci, diantara faktor-faktor penyebab runtuhnya pemerintahan dinasti Murabithun adalah:
1)      Lemahnya disiplin tentara dan merajalelanya korupsi yang melahirkan disintegrasi.
2)      Berubahnya watak keras pembawaan Barber menjadi lemah ketika memasuki kehidupan Maroko di Andalusia yang mewah.
3)      Mereka memasuki Andalusia ketika kecemerlangan intelektual kalangan Arab telah mengganti kesenangan berperang.
4)      Kontak dengan peradaban sedang menurun dan tidak siap mengadakan asimilasi.
5)      Dikalahkan oleh dinasti dari rumpun keluarganya sendiri, yaitu al-Muwahhidun.
Sedangkan menurut Abdul Hamid, sebagaimana yang dikutip oleh Taufiqurrahman, kehancuran Murabithun disebabkan juga diantaranya karena: 1) Ketidaksukaan sekelompok kalangan terdidik dari Andalusia terhadap pemerintahan Murabithun yang dianggap keras, bodoh, tidak bisa memahami sastra budaya, menolak filsafat dan kalam dan hanya mengagungkan fiqih dan tafsir. Sifat inilah yang menyulut kebencian orang-orang Andalusia; 2) Murabithun tidak bisa mempertahankan sikap keberanian, kekuatan, dan kefanatikan pada agama. Hal ini dapat dilihat setelah 20 tahun menguasai Andalusia mereka menjadi pemalas, pemabuk, pemuas hawa nafsu, perampok dan pencuri dan penguasanya bergelimang dengan kecantikan wanita.[9]
  1. 2.      Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Muwahhidun
    1. a.      Kemajuan
Pada masa Muwahhidun, Spanyol mencapai puncak kejayaannya, terutama pada Zaman Mu’min, perkembangan peradaban Islam, terutama pengembangan ilmu politik dan ekonomi.[10]
1)      Dalam Bidang politik, dinasti Muwahhidun telah mampu menguasai wilayah kepulauan Atlantik sampai ke daerah teluk Gebes di Mesir dan Andalusia.
2)      Dalam bidang ekonomi, dinasti Muwahhidun telah berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan beberapa daerah di Italia, seperti perjanjian perdagangan dengan Pisa pada tahun 1154 M, Marseie, Voince, dan Sycilia  pada tahun 1157 M yang  berisi ketentuan tentang perdagangan, izin mendirikan gudang, kantor, loji dan bentuk-bentuk pemungutan pajak.
3)      Dalam bidang arsitektur, dinasti Muwahhidun banyak menghasilkan karya-karya dalam bentuk monumen, seperti Giralda, menara pada masjid Jami’ Sevilla, Bab Aquwnaou, dan Al-Kutubiyah, menara yang sangat megah di Marakiyah serta menara Hasan di Rabbath.
4)      Dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, banyak ilmuwan yang muncul pada masa dinasti Muwahhidun ini terutama pada masa kepemimpinan Abdul Mu’min dan Abu Yakub Yusuf adalah sebagai berikut :
a)      Ibrahim bin Malik bin Mulkun adalah seorang pakar al-Qur’an dan ilmu Nahwu.
b)      Al-Hafidz Abu Bakrbin al-Jad seorang ahli fikih, dan Ibnu al-Zuhr ahli kedokteran.
c)      Ibn Bajjah (533H/1139 M), seorang filosof dengan karyanya The Rule of Solitary. Ia juga ahli di bidang musik yang disebut Avenpace atau Abenpace.
d)     Ibnu Thufail (581 H/1105-1185 M), seorang filosof dengan karyanya Hayy bin Yaqzhan. Ia juga dikenal sebagai seorang dokter, ahli geografi dan juga dianggap sebagai penyair Andalusia atau yang dikenal dengan nama Al-Andalusi, Al-Kurtubi, atau Al-Isibily.
e)      Ibnu Rusyd (1126-1198 M), ia adalah seorang filosof, dokter, ahli matematika, fikih, ahli hukum, ahli astronomi atau dikenal dengan sebutan Averrous/ Averroisme di Barat.
1.      b.      Kemunduran
Setelah mengalami kekalahan selama satu abad (113-1169 M), Dinasti Muwahhidun mengalami kemunduran dan akhirnya hancur. Kemunduran ini terasa setelah an-Nashir wafat yang selanjutnya dipimpin oleh pimpinan yang lemah. Adapun faktor kemunduran dinasti Muwahhidun ini disebabkan oleh:[11]
1)      Perebutan tahta dikalangan keluarga.
2)      Melemahnya kontrol terhadap penguasa daerah.
3)      Mengendurnya tradisi disiplin.
4)      Memudarnya keyakinan akan keagungan misi al-Mahdi bin Tumart, bahkan namanya tidak disebut lagi dalam dokumen Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar