DINASTI AGHLABIYAH
2.1 Berdirnya
Dinasti Aghlabiyah
Dinasti
Aghlabiyah didirikan di Aljazariyah dan sisilia oleh Ibrahim bin Aghlab,
seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan kemampuan Ilmu
administrasinya, ia mampu mengatur roda pemerintahannya dengan baik.
Dinasti
Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik Berkepanjangan
antara asia dan eropa.dibawah pimpinan Ziyadatullah 1,suatu Armada bajak laut
dikerahkan untuk menggoyang pesisir Italia, perancis, cosica dan sardina.
kemudian pada tahun 827 M, Ziyadatullah mengirim sebuah Ekspedisi untuk merebut
sisilia dari Bizantium dan berhasil dikuasai pada tahun 902 M.sisilia yang
berada dipulau laut tengah tersebut dijadikan pangkalan Untuk penyerangan
daratan,daratan eropa yang kristen.Konstribusi terpenting Dalam ekspedsi
tersebut adalah menyebarnya peradaban islam hingga ke eropa. Bahkan ronaisans
di Italia terjadi karena transmisi ilmu pengetahuan melalui Pulau ini.
Secara
periodik,Dinasti Aghlabiyah dikuasai oleh beberapa penguasa,yaitu :
- Ibrahim bin Aghlab 800 – 811 M
- Abdullah I bin Ibrahim 811 – 816 M
- Ziyadatullah bin Ibrahim 816 – 837
M
- Abu Iqbal bin Ibrahim 838 – 841 M
- Abu Al-Abbas Muhammad 841 – 856 M
- Abu Ibrahim Ahmad 856 – 863 M
- Ziyadatullah II bin Ahmad 864 –
874 M
- Ibrahim II bin Ahmad 874 – 902 M
- Abu Al-Abbas Abdullah II 902 – 903
M
- Abu Mudhar Ziyadatullah III 903 –
909 M
2.2 Prestasi /
Keberhasilan Dan Kemunduran Yang Dicapai Dinasti Aghlabiyah
Dinasti
aghlabiyah terkenal dengan prestasinya di bidang arsitektur, terutama dalam
pembangunan masjid. Pada masa Ziyadatullah yang kemudian disempurnakan oleh
Ibrahim II, berdiri dengan megahnya masjid yang besar Yaitu mesjid Qairawan,
menara masjidnya yang merupakan warisan dari bentuk Bangunan Umayah merupakan
bangunan tertua di afrika.Oleh karena itu lah Qairawan menjadi kota suci ke
empat setelah Mekah, Madinah, dan Yerusalem Masjid tersebut disebut sebagai
masjid terindah dalam islam karena ditata sedemikian indah, selain itu dibangun
pula sebuah mesjid di Tunisia. Pada masa Kekuasaan Ahmad, serta dibuat pula
suatu peralatan pertanian dan irigasi untuk daerah ifrikiyah yang kurang subur.
Akhir abad
ke-9,posisi DInasti Aghlabiyah di ifrikiyah mengalami Kemunduran,dengan
masuknya propaganda syi’ah yang dilancarkan oleh Abdullah As-syi’ah atas isyarat
Ubaidillah Al-Mahdi telah menanamkan Pengaruh yang kuat dikalangan orang-orang
bar bar suku ketama kesenjangan sosial antar penguasa Aghlab di satu pihak dan
orang-orang bar bar di pihak Lain,telah menambah kuatnya pengaruh itu dan pada
akhirnya membuahkan Kekuatan militer.
Pada tahun
909 M.kekuatan militer tesebut berhasil berhasil kekuasaan aghlabid yang
terakhir, Ziyadatullah III sehingga Ziyadatullah diusir ke mesir setelah gagal
mendapatkan bantuan dari pemerintahan pusat di Baghdad.Ada juga yang
berpendapat bahwa Ziyadatullah Kalah Karena tidak mengadakan perlawanan apapun
sebelum Dinasti Fatimiyah Invlasi dan sejak itu pula, Ifrikiyah dikuasai oleh
orang-orang syi’ah yang pada Masa selanjutnya membentuk Dinasti Fatimiyah.
Salah satu faktor mundurnya Aghlabiyah adalah hilangnya hakikat kedaulatan dan
ikatan-ikatan solidaritas Sosial semakin luntur. Kedaulatan pada hakikatnya
dimiliki oleh mereka yang Sanggup menguasai rakyat, sanggup memungut iuran
Negara, mengirimkan Angkatan bersenjata, melindungi pembatasan dan tak seorang
penguasa pun berada di atasnya.
Dengan
semakin berkurangnya pengaruh Aghlabiyah terhadap masyarakat dikarenakan adanya
kesenjangan sosial, berakhirlah riwayat Diasti Aghlabiyah.
A. DINASTI
FATHIMIYAH
Keruntuhan sedikit demi sedikit hegemoni Daulah
Abbasiyah adalah konsekwensi dari lemahnya kepemimpinan dan dukungan politik
dari berbagai daerah kekuasaan. Tuntutan
otonomi daerah bertopeng kepentingan agama demi kekuasaan juga memperlihatkan
perannya. Lebih dari itu, tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan masyarakat
serta merta mengubah cara pandang yang tidak bisa tunduk dengan kezaliman
selamanya.
Di atas puing-puing keruntuhan
itu, ada banyak dinasti muncul dalam arti memerdekakan diri, yang berangkat
dari akar kepentingan politik kekuasaan dan perbedaan pemahaman agama, suku,
ras dan bangsa. Terutama aliran besar dalam Islam, Sunni dan Syi’ah yang selalu
bergesekan dalam bidang politik dan kekuasaan. Aliran ini pada dasarnya,
merupakan alasan klasik yang selalu terjadi dalam sejarah Islam[1].
Menurut Teori Ibnu Khaldun,
apabila negara telah berdiri teguh ia dapat meninggalkan solidaritas, dengan
sendirinya, rakyat akan membenci negara. Apalagi dengan sistem kerajaan, sifat
kekuasaan yang turun temurun memiliki kelemahan apabila anggota keluarga
melupakan solidaritas sosial. Bani Abbasiyah mengalaminya tetapi tidak menjadi
pemikiran bagi kerajaan sesudahnya, yang juga besar dari rasa solidaritas
ketertindasan.
Demikianlah yang terjadi dengan Bani Idris di Maghribi
Jauh, dan Bani Ubaidi (Fathimiyah) di Afrika dan Mesir, ketika Thalibiyyun
menyingkir dari Timur, menjadikan pusat kalifah, serta berusaha merampasnya
dari tangan Bani ‘Abbas. Dari daerah yang jauh dari
Maghribi, mereka keluar dan mempropagandakan diri. Berkali-kali orang Barbar
(Berber) membantu usaha mereka, yaitu suku Aurubah dan Magghilah untuk Bani
Idris, serta suku Kutamah, Sanhajah dan Hawwarah untuk Bani Ubaidi
(Fathimiyah). Suku-suku ini memperkuat dan memperkokohkan negara dan
pemerintahan dengan solidaritas sosial mereka. Kerajaan yang bernaung di bawah
Bani Abbas semuanya mereka kuasai, pertama yang ada di Maghribi dan kemudian
terdapat di Afrika. Dinasti Abbasiyah terus menuju kehancurannya. Sementara itu
Dinasti Bani Ubaidi (Fathimiyah) meluas dan semakin melebarkan kekuasannya
hingga Mesir, Syria, dan Hejaz. Orang-orang Barbar patuh kepada Bani Ubaidi
(Fathimiyah) dan berlomba-lomba menduduki jabatan penting demi kekuatan yang
dicapai, tetapi kekuasaan dimiliki turun temurun oleh generasi mereka, hingga
dinasti Arab hancur bersama seluruh marganya. “Dan Allah menetapkan hukum,
tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. (Q.S. ar-Rad: 41)[2].
Kata kunci dari kekuasaan bagi
Ibnu Khaldun adalah solidaritas, jika ia ada maka terbangunlah sebuah
kekuasaan, baik berbentuk dinasti, daulah dll. Hanya saja, seringkali generasi
sesudah pendiri, yaitu generasi penerus, tidak terpilih atas solidaritas,
tetapi atas keturunan. Inilah yang malemahkan kekuasaan.
B. SEJARAH BERDIRI DINASTI
FATHIMIYAH
Dinasti Fathimiyah mengambil namanya dari fathimah
az-Zahra, putri rasulullah SAW, karena para khalifah Fathimah mengembalikan
asal usul mereka kepada Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Muhammad
rasulullah SAW. Khilafah ini beraliran syiah
yang berkuasa di Afrika Utara dan Mesir pada tahun 297 H/ 909 M Sampai 567 H/
1171 M selama + 262 tahun.
Dinasti Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu
Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H/909 M hingga 1171 M. Saat itu kondisi
Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah
kekuasaan yang luas. Dalam keadaan seperti itu,
sekelompok Syi’ah Islamiyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan untuk
memerdekakan diri. Gerakan yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan
bahwa tanah yang tidak bisa ditelusuri secara jelas. Namun, gerakan ini
merupakan cabang dari Syi’ah Islamiyah, yang mengakui enam Imam pertama Syi’ah
Islamiyah, namun berselisih mengenai Imam ketujuh. Bagi kaum Imamiyah, Musa
al-Kazim putra Ja’far al-Sahdiq adalah imam yang ketujuh, sedangkan kaum
Ismailiyah mengakui Ismail sebagai Imam Ketujuh. Bagi golongan Ismailiyah,
karena Ismail wafat lebih dahulu dari bapaknya, hak maka yang dinobatkan adalah
Musa al-Kazim. Sementara menurut pengikut Ismail, hak atas Ismail sebagai imam
tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal[3].
Sejak pemimpin ketujuh mereka, Ismail meninggal,
aktivitas aliran Ismailiyah dimulai karena khalifah-khalifah Abbasiyah
mengadakan penyelidikan, maka golongan yang setia kepada Ismail bin Ja’far
terpaksa harus meninggalkan Salamiyah, kota kecil di wilayah Hammah, Syria,
menuju Afrika Utara. Di sini mereka mulai
melancarkan propaganda politik untuk memperoleh dukungan rakyat. Gerakan ini
dipimpin oleh seorang orator handal Ismailiyah bernama Abu Abdullah, yang
dikenal dengan sebutan al-Syi’i. Propaganda mereka meliputi: akan memperbaiki
kehidupan ekonomi dan sosial kemasyarakatan, munculnya al-Madi yang akan
membebaskan rakyat dari penindasan dan teror, menyatakan bahwa mereka akan
lebih dekat kepada Nabi dari pada Dinasti Ummayyah dan Abbasiyah[4].
Gerakan Fathimiyah di bawah pimpinan Ubaidillah
al-Mahdi, berakar pada sekte Syiah Islamiyah yang doktrin-doktrinya berdimensi
politik, agama, filsafat, dan sosial. Keyakinan
sekte Islamiyah mengingatkan kita pada ajaran komunis awal, dengan sel-sel
rahasia, sistem doktrin yang rumit, dan jaringan sistem propaganda yang luas
untuk melawan tata sosial mapan.
Menjelang tahun 909 gerakan
ini sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti Aghlabi
dari Afrika Utara dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengundang Ubaidillah yang
mereka klaim sebagai al-Mahdi dan Januari 910 menjabat sebagai Amirul Mukminin[5].
Dengan demikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti
Fathimiyah dengan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama, pendukung
Ubaidillah adalah suku-suku Barbar yang berpindah-pindah, yang juga telah
menjadi pengikut Syi’ah Ismailiyah. Mereka bersikap melawan kaum Aghlabiyah
yang terdiri dari suku bangsa Arab aliran sunni dan terikat dengan penguasa
Abbasiyah. Suku Barbar ini berpotensi untuk memberontak terhadap penguasa di
Baghdad, karena masih satu keturunan dengan penguasa Bani Ummayyah yang
digulingkan Bani Abbasiyah di Baghdad[6].
Artinya posisi saat itu, gerakan ini merupakan oposan dari rezim berkuasa
Abbasiyah.
Itulah alasan Tunisia
dijadikan basis untuk membangun kekuasaan dunia Islam baru, guna menggeser
kekuasaan Abbasiyah. Di Afrika Utara, kekuasaan mereka segera menjadi besar.
Tahun 909 mereka dapat menguasai Dinasti Rustamiyah dan menyerang Bani
Idrisyiyah yang sedang menguasai Maroko. Perang antar daerah kekuasaan Islam
antar dinasti menjadi fenomena yang tidak dapat diselesaikan oleh Abbasiyah
sebagai rezim yang berkuasa. di negeri Maghrib (sekitar Maroko sekarang)
dengan Qairawan sebagai ibu kota negaranya.
Seiringan dengan berkembangnya kekuasaan Fathimiyah di
sekitar daerah Maghrib, timbul cita-cita besar khalifah al-Mahdi untuk
menjadikan Dinastinya sebagai pemegang kekuasaan di dunia Islam kala itu,
sekaligus menyebarkan mazhab Syi’ah yang dipakai di kalangan Fathimiyah.
Keinginan ini tentunya hanya bisa terwujud jika sanggup menaklukkan Daulah
Abbasiyah di kawasan timur negeri Islam (sekitar Baghdad) yang saat itu
memegang kontrol di sebagian besar daerah-daerah Islam.Untuk mewujudkan
cita-cita besar tersebut, al-Mahdi segera mengatur rencana dan sebagai terget
awal adalah bagaimana menguasai kawasan Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Syam
(sekitar Syiria sekarang).
Menakhlukkan dua kawasan
tersebut tidaklah mudah, karena ada dua penghalang yang dapat menggagalkan
rencana khalifah al-Mahdi , Yaitu :
- Pertama dari sisi pengaruh politik, kawasan
Hijaz dan Syam saat itu berada dalam pengaruh kuat Ikhsyidiyah yang
berpusat di Mesir.
- Kedua dari sisi geografis, negeri Mesir yang menjadi
pusat daulah Ikhsyidiyah adalah negeri Abbasiyah pertama yang berbatasan
langsung dengan kekuasaan Fathimiyah dan berada di antara negeri Maghrib dan
kawasan Hijaz dan Syam, sehingga posisi Maghrib sangat tidak menguntungkan
sekali secara politik dan militer jika mereka langsung melakukan penyerangan ke
Hijaz dan Syam.
Dengan mempertimbangkan hal di
atas, mereka memastikan bahwa mereka memang perlu menaklukkan Mesir dan
Ikhsyidiyah yang memiliki posisi geografis lebih menguntungan secara politik
dan militer.
Keinginan khalifah al-Mahdi
untuk menaklukkan Mesir tidak dapat dibendung lagi, tiga kali penyerangan
dilancarkan :
- Serangan pertama dilancarkan pada tahun 301
H./913 M. Namun serangan tersebut menemui kegagalan.
- Serangan kedua pada tahun 307 H./919 M. Ia
kembali mengadakan penyerangan, sayang hasilnya tetap nihil.
- Serangan ketiga pada tahun 321 H./933 M. Ia mengirim
pasukan untuk yang ketiga kalinya, usaha ini terus dilanjutkan sampai masa
anaknya al-Qaim Biamrillah diangkat menjaid khalifah kedua Fathimiyah, namun
hasilnya juga belum memuaskan, bahkan di sisa-sisa masa jabatan al-Qaim, ia
lebih sibuk mengurusi gejolak-gejolak yang terjadi di dalam negerinya, sehingga
kegiatan agresi militer ke Mesir mengalami kevakuman.Keadaan seperti ini terus
berlanjut di sepanjang masa pemerintahan khalifah ketiga Bani Fathimiyah,
al-Mansur Binasrillah (334 H.-341 H./945 M.-952 M.).Kondisi dalam negeri
membaik ketika khalifah keempat, al-Muiz Lidinillah, naik tahta di akhir tahun
341 H./953 M.
Seluruh suku bangsa Barbar yang sebelumnya membangkang
dapat “dijinakkan” saat itu, kemudian Bani Idrisiyah yang memberontak dan ingin
melepaskan diri dapat juga ditaklukkan.
Pada tahun 914 M, Ziyadatullah bin Qurhub, seorang bangsawan Arab, muncul
di Palermo menolak kehadiran Dinasti Fathimiyah di Sycilia. Ia berafiliasi
kepada Khalifah Abbasyiah di Bagdad (masa Al-Muqtadir 908-932 M). Ia juga
adalah penganut Madzhab Sunni dan dekat dengan keluarga Aghlaby, serta mendapat
sokongan yang sangat kuat dari para ulama-ulama madzhab maliki. Para ulama ini
secara massif berimigrasi dari Afrika Utara untuk menghindari tekanan
Dinasti fathimiyah yang Syi’ah. Ziyadatullah terus-menerus antara tahun 915-916
M melakukan penyerangan terhadap tanah-tanah Italia, dan Eusthatius di Calabria
wakil kerajaan Bizantium terpaksa harus membayar upeti kepadanya. Akan tetapi,
pada akhirnya ia ditangkap oleh dinasti Fathimiyah.
Keberhasilan dari sisi
internal ini ternyata menjadikan kekuasaan Daulah Fathimiyah meluas, membentang
dari barat Tripoli (Libiya sekarang) disebelah timur sampai Samudera Atlantik
di sebelah barat.
Ketika itulah keinginan untuk
menguasai Mesir kembali muncul. Keinginan ini juga diperkuat dengan beberapa
alasan-alasan baru, diantaranya:
a. Meninggalnya Kafur al-Ikhsyidi tahun 357
H./968 M. yang merupakan wali Mesir sejak dua tahun sebelumnya.
b. Terjadinya krisis ekonomi di Mesir.
Berkali-kali terjadi banjir di Mesir selama kurun sembilan tahun yang
menyebabkan lahan pertanian menjadi sempit dan otomatis harga bahan pangan
menjadi mahal serta diikuti dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok lainnya
sehingga terjadilah bencana kelaparan di Mesir dan menyebarnya wabah penyakit
di kalangan penduduk Mesir.
c. Kekacauan di bidang ekonomi ini merambat ke
bidang militer, dimana terjadi perpecahan antara pemimpin-pemimpin militer
negara. Situasi ini menambah kemarahan publik terhadap penguasa saat itu berlipat
ganda.
d. Sekelompok golongan ekstrim Syi’ah yang disebut
Qaramithah terus berusaha mengerogoti kawasan timur Mesir, dan kebetulan sekali
beberapa anggota kelompok ini memiliki hubungan baik dengan Dinasti Fathimiyah.
Awalnya golongan Qaramithah inilah yang melakukan
gencaran ke Mesir sehingga muncul kecemasan di kalangan publik, dalam kondisi
tidak menentu ini sejumlah orang Fathimiyah telah bermain di dalam masyarakat
Mesir untuk misi propaganda dan pengendalian opini publik agar mereka siap
dengan masuknya penguasa baru di Mesir.Dilain pihak Abbasiyah di Baghdad tidak
sangup mengirim pasukannya untuk mengatasi krisis di Mesir.Dengan memperhatikan
kondisi internal dan eksternal yang demikian maka khalifah al-Muiz memberanikan
diri meneruskan cita-cita pendahulunya yang belum menuai hasil maksimal.
Singkat cerita, selanjutnya khalifah Fathimiyah,
al-Muiz Lidinillah , menyerahkan tanggungjawab penaklukan Mesir kepada panglima
perangnya Jauhar ash-Shiqli yang sebelumnya berhasil meluaskan kekuasaan
Fathimiyah sampai ke pantai Samudera Atlantik (barat Maroko sekarang).
Untuk penyerangan kali ini
al-Muiz menyiapkan pasukan dengan kekuatan yang cukup besar dengan menempatkan
seratus ribu pasukan berkuda di dalamnya. Sepertinya khalifah al-Muiz tidak
ingin mengulangi kekalahan yang diderita pada tiga agresi sebelumnya.Sebelum
pengiriman pasukan dimulai, al-Muiz melakukan serangkaian persiapan-persiapan
untuk menunjang kelancaran serangan ini, diantaranya pembangunan jalan dan jalur-jalur
penghubung ke Mesir, penggalian sumur-sumur, pendirian tempat-tempat istirahat
dan tidak lupa pendanaan dalam skala besar.Di saat semua persiapan dirasa cukup
maka mulailah khalifah al-Muiz melepas kepergian pasukannya di bawah komando
panglima Jauhar ash-Shiqli pada 14 Rabi’ul Akhir 358 H./7 Maret 969 M.
Pasca beberapa seremonial
pelepasan, berangkatlah pasukan besar itu menuju arah Mesir. Dan ketika al-Muiz
kembali ke istananya, ia mengirimkan pakaian kebesarannya yang baru saja
dipakai dalam seremonial tadi kepada Jauhar as-Shiqli kecuali cincin
khalifahnya.
Setelah beberapa hari
perjalanan, Jauhar dan pasukannya masuk Mesir melalui Iskandariyah
(Alexandria). Ketika berita ini sampai di Fusthat, Ja’far al-Furat (menteri
Mesir) dan orang-orangnya mengajukan permohonan perlindungan keamanan. Pada 18
Rajab 358 H mereka menyusun sebuah pertemuan dengan pihak Jauhar. Pertemuan
tersebut menghasilkan kesepakatan yang menyatakan bahwa Jauhar akan memberikan
keamanan dan kedatangannya ke Mesir adalah dalam rangka perbaikan serta tidak
memaksakan mazhab Syi’ah pada masyarakat Mesir yang Sunni. Ternyata fakta di
lapangan berkata lain, sebagian besar tentara Mesir tidak setuju dengan nota
kesepakatan tersebut, sehingga terjadilah pertempuran yang berakhir dengan
kekalahan pasukan mesir yang tidak setuju.
Pada sore 17 Sya’ban 358 H./6
Juli 969 M. Jauhar ash-Shiqli beserta pasukannya masuk bagian kota Mesir yang
kala itu mencakup kawasan Fusthat dan ‘Askar. Dan Jauhar mengambil sebuah
tempat luas yang berposisi menghadap kedua kota tersebut sebagai markas
pasukannya, tempat itu disebut Munakh.
Dengan masuknya pasukan Dinasti Fathimiyah ke Mesir
berarti berakhirlah masa pendudukan Mesir di bawah kekuasaan Ikhsyidiyah dan
Abbasiyah, dan mulailah Mesir memasuki babak baru di bawah kekuasaan Dinasti
Fathimiyah. Sebagaimana tradisi kaum muslimin sebelumnya, maka setelah berhasil
menduduki Mesir, Jauhar segera mendirikan sebuah kota sebagai lambang kekuatan
sekaligus kemenangan sisi politik dan militer Daulah Fathimiyah atas Daulah
Abbasiyah di Mesir. Bahkan ketika itu Jauhar
menghapuskan dan melarang pemakaian semua simbol-simbol Abbasiyah.
Kota tersebut dinamai oleh
Jauhar ash-Shiqli dengan Mansuriyah, mengambil nama khalifah Fathimiyah ketiga
yang merupakan orang tua khalifah al-Muiz sendiri. Mungkin Jauhar ingin
kedudukannya di mata al-Muiz semakin tingi dengan menamai kota baru mereka
dengan nama orang tua Sang Khalifah. Nama ini terus dipakai selama empat tahun,
sampai di saat kedatangan khalifah al-Muiz ke Mesir ia menggantinya dengan nama
al-Qahirah atau yang lebih kita kenal dengan Kairo.
Al-Qahirah atau al-Qahir sendiri dalam bahasa arab
berarti yang perkasa atau kuat, konon sebab penamaan kota ini demikian karena
al-Muiz sendiri adalah seorang yang cenderung optimistik. Pemilihan nama itupun
sebenarnya telah muncul di benak al-Muiz semenjak ia berada di negeri Maghrib,
bahkan sebelum Jauhar ash-Shiqli beserta pasukannya melangkah menuju negeri baru
ini, tepatnya ketika ia menyampaikan pidato pelepasan pasukan:” demi Allah,
walaupun Jauhar ini berangkat seorang diri saja niscaya Mesir akan dapat
ditundukkan juga, ia akan memasuki Mesir tanpa peperangan, kemudian menetap di
reruntuhan Ibnu Touloun dan medirikan sebuah kota bernama al-Qahirah (yang
perkasa) yang akan menaklukkan dunia”.
Prof. Ahmad Hasan al-Baquri, mantan rektor Universitas
al-Azhar, pernah menyebutkan alasan lain pemilihan nama al-Qahirah:” ketika
Presiden Jamal Abdul Naser berada di kota Qairawan, beliau mengunjungi sebuah
masjid di sana yang bangunannya mirip dengan bangunan al-Azhar dan di
sampingnya terdapat sebuah ruangan. Teman-teman
dekatnya memberitahu bahwa dahulu ruangan itu adalah tempat penyimpanan harta
dan senjata, dan mereka dulu menamakan ruangan tersebut dengan al-Qahirah.
Dengan nama inilah dinamai kota al-Qahirah (Kairo) setelah Fathimiyah
menaklukkan negeri Mesir, tambah mereka.”
Di lain riwayat disebutkan juga bahwa yang menamai
kota ini dengan al-Qahirah bukan Khalifah, namun Jauhar sendiri terinspirasi
dari planet Mars, yang menurut ahli bintang/falak masa lalu merupakan raja
planet/bintang (qahirul falak). Karena menurut riwayat ini ketika pembangunan
kota akan dimulai, para ahli bintang mengelilingi pondasi kota dengan tali dan
pada tali itu digantungkanlah lonceng-lonceng, kemudian mereka mulai menunggu
bintang yang muncul, di saat itulah hinggap burung di atas tali tadi yang
menyebabkan lonceng-lonceng tersebut berbunyi dan mereka mendapati bintang
kejora (planet mars) telah muncul di ufuk, maka mulailah para pekerja
mengayunkan tangan-tangan mereka, mulai membangun kota itu, dan kemudian
dinamailah kota itu dengan al-Qahirah.
Terlepas dari beragam versi di atas, di beberapa
kesempatan nama al-Qahirah juga biasa disebut al-Qahirah al-Muiziyah dengan
menisbahkan nama khalifah al-Muiz kepadanya, atau al-Qahirah al-Mahrusah karena
dinding pagarnya yang tinggi dan pintu-pintunya yang besar.
Dari segi posisi, kota
al-Qahirah ini terletak di sebelah timur Fusthat, berbentuk persegi empat yang
panjang sisinya 1200 meter dan dikelilingi oleh pagar yang besar. Waktu itu ia
mencakup daerah al-Azhar, Gamaliyah, Husainiyah, Babu asy-Sya’riyah, Moski,
Ghouriyah dan Bab al-Khalq.
Di sisi timur pagar kota, tepatnya di tempat yang
dijadikan Jauhar sebagai markas pasukannya, dibangun juga sebuah istana untuk
khalifah al-Muiz. Disekitar kawasan inilah
berpusat pemerintahan Fathimiyah kala itu, di sana juga dibangun gudang-gudang
senjata.
Namun, di masa-masa awalnya Kairo belumlah menjadi
sebuah ibu kota melainkan hanya kumpulan dari istana-istana besar, Jami’
al-Azhar, barak-barak militer dan pemukiman kabilah-kabilah dari Maghrib.
Sementara itu Fusthat yang berada di pinggir Nil masih berfungsi sebagai pusat
perdagangan dan selalu setia meyambut kedatangan kapal-kapal Nil dari
daerah-daerah selatan yang mengangkut hasil-hasil pertanian, ia juga masih
menjadi kota terbesar bagi para pencari kerja dan pencari ilmu &
pengetahuan.
Maka dengan berdirinya al-Qahirah atau Kairo berarti
ia adalah kota Islam keempat yang didirikan dalam selang waktu 338 tahun sejak
Amru bin Ash mendirikan kota Fusthat tahun 20 H. Dan takdir telah menjadikan
jejak-jejak kebesaran tiga kota sebelumnya terhapus sedangkan Kairo tetap kokoh
sampai saat ini sebagai ibu kota Mesir dan kota terbesar dalam dunia
Islam-selain Istambul ketika menjadi ibu kota Dinasti Utsmani serta menjadi
pusat perkembangan peradaban dari sisi agama, pemikiran dan pengetahuan dalam
dunia Islam dan Arab khususnya.
Setelah Mesir dapat dikuasai, maka fokus politik
Dinasti Fathimiyah selanjut adalah mendirikan ibu kota baru yang terletak di
Fusfat bagian Utara, yang mereka sebut dengan al-Qahirah, yang berarti sang
penakluk. Sejak itu penampilan Fusfat semakin cemerlang
dan mampu menjadi pesaing Kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun
pemerintahan di Timur Tengah. Disamping itu, dinasti ini juga berupaya untuk
menyebar luas ideologi Fathimiyah ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[7]
Keberadaan Dinasti Fathimiyah
berbeda dengan dinasti-dinasti kecil lainnya. Dinasti Fathimiyah mengklaim diri
sebagai kekhalifahan yang memegang pimpinan politik dan spritual tertinggi.
Mereka tidak mengaku bagian dari Abbasiyah, mereka melepaskan diri dari
Baghdad, tidak hanya dari segi politik, tetapi juga spritual. Sementara
dinasti-dinasti kecil lainnya walaupun secara politik melepas dari dinasti
Abbasiyah, namun secara spiritual mereka tetap terikat. Inilah yang membedakan
Dinasti Fathimiyah dengan dinasti-dinasti lokal lainnya.
Khalifah-khalifah yang
memimpin Dinasti Fathimiyah ada 14 orang, yaitu:
- Abu Muhammad Abdullah (Ubaidillah) al-Mahdi
billah (910-934). Pendiri.
- Abu Muhammad al-Qa’im bi-Amr Allah bin
al-Mahdi Ubaidillah (934-946)
- Abu Kahir Ismail al-Mansur bi-llah (946-953)
- Abu Tamim Ma’add al-Mu’izz li-Din Allah
(953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
- Abu Mansur Nizar al-’Aziz bi-llah (975-996)
- Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah
(996-1021)
- Abu Hasan Ali al-Zahir li-I’zaz Din Allah
(1021-1036)
- Abu Tamim Ma’add al-Mustansir bi-llah
(1036-1094)
- Al-Musta’li bi-llah (1094-1101) pertikaian
atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
- al-Amir bi-Ahkam Allah (1101-1130) Penguasa
Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah
Mustaali Taiyabi.
- Abd al-Majid al-Hafiz (1130-1149)
- al-Zafir (1149-1154)
- al-Faiz (1154-1160)
- al-Adid (1160-1171)[8]
Sebagai catatan penting, Dinasti Fathimiyah ini hanya
sampai khalifah kedelapan yang memperlihatkan eksistensi politik dan
kekuasaannya, selebih dari itu, keberadaannya hanya sebagai dinasti lemah.
C. KEMAJUAN DINASTI FATHIMIYAH
Dinasti Fathimiyah mencapai
puncak kejayaannya pada periode Mesir, terutama di bawah pemerintahan al-Muiz
dan al-Hakim dengan kota Kairo sebagai pusat pemerintahan. Ketika itu di sana
terdapat lebih kurang 20.000 toko milik khalifah, yang penuh dengan barang dari
dalam dan luar negeri. Tempat pemandian dan sarana umum lainnya juga didirikan
oleh penguasa. Istana khalifah dihuni oleh 30.000 orang, 12.000 di antaranya
pembantu dan 10.000 orang pengawal berkuda. Tentu bila dibandingkan dengan pola
kekuasaan abad ini, justru pegawai terbayak adalah pegawai istana pemerintahan,
kecuali bila dihitung aparatur pemerintah setiap daerah dari yang teratas
hingga paling bawah.
Al-Muiz melakukan tiga
kebijakan besar, yaitu pembaruan di bidang administrasi, pembangunan ekonomi,
dan toleransi beragama.[9]
Di bidang administrasi, ia mengangkat seorang menteri (wazir) untuk
melaksanakan tugas kenegaraan. Di bidang ekonomi, ia memberikan gaji khusus
kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Di bidang
agama, di Mesir didirikan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Sy’iah dan
dua lagi untuk Sunni. Ini memperlihat kerukunan dua aliran di Dinasti
Fathimiyah.
Al-Aziz kemudian memunculkan
program baru dengan mendirikan masjid, istana, jembatan dan kanal sehingga
Dinasti Fathimiyah akhirnya dikenal dengan kekuatan maritim yang tangguh.
Kenyataannya, mereka berhasil membangun pertahanan maritim dan menjadi pusat
perdagangan laut ketimbang menyebarluaskan ajaran dan ideologi mereka.[10]
Sementara itu, pada masa
Khalifah al-Hakim, mendirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga pusat pengkajian
dan pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi. Ia juga mendirikan Dar al-Ilmi,
sebuah lembaga dengan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada
tahun 1013, al-Hakim membentuk majelis ilmu pengetahuan di istana sebagai
tempat berkumpulnya para ilmuwan untuk berdiskusi. Pada masa ini, muncul Ibnu
Yunus (958-1009), seorang astronom besar yang menemukan pendulum dan alat ukur
waktu. Karyanya, Zij al-Alibar al-Hakimi diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa. Temuan Ibnu Yunus kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Al-Nabdi dan Hasan
Haitani (965-1039), seorang astronom, fisikawan dan opoteker.[11]
Kemajuan yang tinggi pada
peradaban Islam masa Fathimiyah dapat disimpulkan meliputi bidang :
1- Administrasi
dan pemerintahan
2- Ekonomi
3- Seni dan
kemegahan pembangunan fisik
4- Ilmu
pengetahuan dan kesusastraan
Dinasti Fathimiyah juga
terkenal dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah tidak mencoba
melakukan tekanan agar penganut sunni menyeberang ke Syi’ah Ismailiyah. Mereka
juga sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya
pengecualian adalah pada masa khalifah al-Hakim, karena ia melakukan
pembantaian terhadap penganut agama Kristen, menghancurkan gereja, membunuhi
anjing serta mengharamkan jenis makanan tertentu. Di samping itu, ia
memproklamirkan sebagai Tuhan dan ia dianggap gila.[12] Inilah
titik awal dan alasan terjadinya perang dingin dan meletus menjadi perang Salib
nantinya.
Mesir dengan segera menjadi
pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah, menyaingi Dinasti
Abbasiyah di Baghdad. Mesir juga menjadi pusat pengembangan intelektual dan
keilmuan dengan keberadaan Universitas al-Azhar (970). Pada awal didirikan
hingga dua abad kemudian al-Azhar telah memainkan peranan penting, sebagai pusat
propaganda ajaran Ismailiyah oleh Dinasti Fathimiyah, Sampai nanti Salahuddin
al-Ayyubi menguasai Mesir dan menjadikan Sunni sebagai mazhab pengganti Syi’ah.
Namun begitu, Kairo tetap mampu menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di
Dunia Islam.
Namun pada periode sesudahnya,
dinasti ini melemah, terutama saat menghadapi tentara perang salib dan kaum
sunni. Disamping itu, khalifahnya sering kali berusia muda dan suka
berfoya-foya. Sementara itu, kalangan pejabatan terjadi perebutan kekuasaan.
D. KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN
Kemunduran yang dialami Dinasti Fathimiyah sudah mulai
ada pada masa al-Hakim Masa pemerintahannya, ditandai dengan sifat aneh, karena
ia membuat kebijakan menghancurkan gereja suci di Yerusalem, yang kelak
akhirnya menjadi salah satu peristiwa yang melatar belakangi pecahnya perang
salib. Ia juga secara umum menyatakan diri sebaga Tuhan, sebuah klaim yang
menimbulkan polemik yang dahsyat di kalangan umat Islam dan ia dipaksa mencabut
pernyataan tersebut. Inilah akhirnya menjadi akar melemahnya dukungan politik
terhadap kepemimpinan al-Hakim, sehingga pada tahun 1094 terjadi perebutan
kekuasaan yang dilakukan oleh panglima militer, al-Afzal Sahinsyah.
Sementara itu terjadi
kekacauan sekitar permasalahan suksesi di masa pemerintahan khalifah
al-Musta’ali. Nizar, putera Musta’ali yang tertua dihukum penjara hingga
meninggal, namun pengikut Nizar meyakini bahwa Nizar masih hidup. Ini
menimbulkan kekacauan dan melahirkan dua kubu yang saling bersaing, yaitu kubu
Must’aliyah dan kubu Nizariyah.
Keretakan antara Nizariyah dan
Musta’aliyah menimbulkan cabang baru Islamiyah. Putra Al-Musta’ali yang bernama
al-Amir menggantikan ayahnya sebagai penguasa di Mesir masih berusia anak-anak,
al-Amir akhirnya menjadi korban pembunuhan pada tahun 1130. Sepeninggal
al-Amir, Dinasti Fathimiyah semakin mengalami kemunduran. Pada saat itu, timbul
pertentangan paham keagamaan antara kalangan penguasaan dengan mayoritas
masyarakat yang menganut Sunni. Sejumlah kelompok kecil mengikuti imam mereka
masing-masing dan mengabaikan klaim penguasa Fathimiyah.
Pada masa pemerintah al-Adid,
Dinasti Fathimiyah mendapat kesulitan untuk menahan masuk tentara salib ke
Mesir. Maka pada khalifah al-Adid meminta bantuan kepada Nurddin Zanki. Nurddin
akhirnya mengutuskan Shalahuddin al-Ayubi yang membawa tentara ke Mesir untuk
menghalau tentara Salib. Karena keberhasilannya, dia diangkat menjadi menteri
di Mesir, di bawah Fathimiyah tentunya. Namun khalifah al-Adid amat tua untuk
memimpin dan tekanan politik makin tinggi, sementara keberhasila Shalahuddin
al-Ayubi membuat dukungan atasnya menjadi khalifah sangat kuat. Pada akhirnya,
Shalahuddin al-Ayubi bisa menjadi khalifah dan mengakhiri Dinasti Fathimiyah.
Faktor yang menyebabkan kemunduran Fathimiyah terlebih
sesudah berakhirnya masa al-Aziz,adalah khalifah yang diangkat pada usia masih
sangat belia.hal ini membuat mereka menjadi boneka para wazir dan timbul
konflik kepentingan di kalangan pejabat istana serta di kalangan militer antara
unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan, dan Sudan. Terlebih
lagi, para penguasa itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan adanya
pemaksaan ideologi Syiah kepada rakyat yang mayoritas sunni.
Kepemimpin Shalahuddin
al-Ayubi mengubah corak kekuasaan sebelumnya, dari Syi’ah beralih ke Sunni. Sehingga
disebut Dinasti Sunni al-Ayyubiyah. Shalahuddin al-Ayubi sebagai pendirinya.
Sekalipun Fathimiyah runtuh di
Mesir, namun beberapa kelompok kecil Ismailiyah masih bertahan di Syiria,
Persia dan Asia Tengah. Serta ia mengalami perkembangan pesat di India.
Artinya, setelah runtuh, sebuah kekuatan tidak serta merta lenyap, tetapi masih
ada dan bertahan, atau setidaknya tumbuh di tempat lain.
A.
Sejarah Munculnya Dinasti Ayyubiyyah
Pendiri dinasti ini adalah
Shalahudin Al-Ayyubi, lahir di takriet 532 H/1137 M meninggal 589 H/ 1193 M
dimasyurkan oleh bangsa Eropa dengan nama saladin pahlawan perang salib dari
keluarga ayyubiyah suku kurdi.
Dinasti
Ayyubiyah di Mesir berkuasa tahun 1169 sampai akhir abad ke-15 M. menggantikan
dinasti Fatimiyah. Pendiri dinasti ini adalah Salahuddin. Ia menghapuskan
sisa-sia Fatimiyah di Mesir yang bercorak Syi’i dan mengembalikannya ke faham
sunni-ahlu sunnah wal jama’ah-. Reputasi Salahudin bersinar setelah sukses
melawan tentara Salib dengan mempersatukan pasukan Turki, Kurdi dan Arab. Kota
Yerussalem pada tahun 1187 kembali ke pangkuan Islam dari tangan tentara Salib
yang telah menguasainya selama 80 tahun.
Gangguan politik terus-menerus dari
wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada 564 Hijriah atau
1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kekuasaan Fathimiyah[1]. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut
membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang
semakin lemah.
Kehidupan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi penuh dengan perjuangan dan
peperangan. Semua itu dilakukan dalam rangka menunaikan tugas negara untuk
menghapus sebuah pemberontakan dan juga dalam menghadapi tentara salib.Perang
yang dilakukannya dalam rangka untuk mempertahankan dan membela agama.Selain
itu Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga seorang yang memiliki toleransi yang tinggi
terhadap umat agama lain, hal ini terbukti:
- Ketika ia menguasai Iskandariyah ia tetap mengunjungi orang-orang kristen
- Ketika perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengijinkan orang-orang kristen berziarah ke Baitul Makdis.
Keberhasilan beliau sebagai tentara mulai terlihat ketika ia mendampingi
pamannya Asaduddin Syirkuh yang mendapat tugas dari Nuruddin Zanki untuk
membantu Bani Fatimiyah di Mesir yang perdana menterinya diserang oleh
Dirgam. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berhasil mengalahkan Dirgam, sehingga
ia dan pamannya mendapat hadiah dari Perdana Menteri berupa sepertiga pajak
tanah Mesir. Akhirnya Perdana Menteri Syawar berhasil menduduki kembali
jabatannya pada tahun 1164 M.
Tiga tahun kemudian, Salahuddin Yusuf
al-Ayyubi kembali bergabung pamannya ke Mesir.Hal ini dilakukan karena Perdana
Menteri Syawar berafiliasi / bekerjasama dengan Amauri yaitu seorang panglima
perang tentara salib yang dulu pernah membantu Dirgam. Maka terjadilah perang yang sangat sengit antara pasukan
Shalahuddin dan tim Syawar yang dibantu oleh Amauri.
Dalam peperangan
tersebut pasukan Shalahuddin berhasil menduduki Iskandariyah, tetapi ia
dikepung dari darat dan laut oleh tentara salib yang dipimpin oleh
Amauri.
Akhirnya perang ini
berakhir dengan perjanjian damai pada bulah Agustus 1167 M, yang isinya adalah
sebagai berikut:
- Pertukaran tawanan perang
- Salahuddin Yusuf al-Ayyubi harus kembali ke Suriah
- Amauri harus kembali ke Yerusalem
- Kota Iskandariyah diserahkan kembali kepada Syawar.
Pada tahun 1169,
tentara salib yang dipimpin oleh Amauri melanggar perjanjian damai yang
disepakati sebelumnya yaitu Dia menyerang Mesir dan bermaksud untuk
menguasainya. Hal itu tentu saja sangat membahayakan kondisi umat islam di
Mesir, karena:
- Mereka banyak membunuh rakyat di Mesir
- Mereka berusaha menurunkan Khalifah al-Adid dari jabatannya
Khalifah al-Addid
mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana Menteri Mesir pada tahun 1169
M. ini merupakan pertama kalinya keluarga al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri,
tetapi sayang beliau menjadi Perdana Menteri hanya dua bulan karena meninggal
dunia.Khalifal al-Adid akhirnya mengangkat Salahuddin Yusuf al-Ayyubi menjadi
Perdana Menteri menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh dalam usia 32
tahun. Sebagai Perdana Menteri diketahui gelah al-Malik an-Nasir artinya
penguasa yang bijaksana. [2]
Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada
tahun 1171 M, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penyh untuk menjalankan peran
keagamaan dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai
berkuasa sampai sekitar 75 tahun lamanya.
Salahudin sebenarnya mulai menguasai
Mesir pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan
Daulah Fatimiyah pada tahun 567H/1171M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah
menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap
mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah ditandai
dengan pengakuan Shalahudin atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan
penggantian Qadi Syi’ah dengan Sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175, Shalahudin
mendapat pengakuan dari Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika
Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan .
Sepeluh tahun kemudian ia menaklukan Mesopotamia dan menjadikan para penguasa
setempat sebagai pemimpinnya.
Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahudin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. [2] http://smpnu2gresik.sch.id/?p=503
Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahudin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. [2] http://smpnu2gresik.sch.id/?p=503
Dalam peperangan ini, pasukan Perancis dapat
dikalahkan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah tiga bulan berikutnya,
tepatnya pada bulan Oktober 1187 M, pada saat itulah suara azan menggema
kembali di Mesjid Yerussalem.
Jatunya pusat kerajaan Haatin ini
memberi peluang bagi Shalahudin al-Ayyubi untuk menaklukkan kota-kota lainya di
Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat ditaklukkan pada taun 1189 M,
sementara kota-kota lainnya, seperti Tripol, Anthakiyah,Tyre an beberapa kota
kecil lainnya masih berada di bawah kekuasaan tentara Salib.
Setelah perang besar
memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua pasukan hidup
dalam keadaan damai. Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian damai
secara penuh pada bulan 2 November 1192 M. Dalam perjanjian itu disebutkan
bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan daerah pedalaman
dikuasai oleh kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gangguan terhadap
umat Kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini benar-benar membawa
kedamaian dan dapat dinikmati oleh Shalahudin al-Ayyubi hingga menjelang akhir
hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di Damaskus dan wafat dua
belas hari kemudian dalam usia 55 tahun.
Dalam catatan sejarah, Shalahudin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang
yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang angat
memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun
bendungan, menggali terusan, serta mendirikan sekolah dan masjid. Salah satu
karya yang sangat monumetal adalah Qal’ah al-Jabal, sebuah benteng yang
dibangun di Kairo pada tahun 1183. Secara umum, para Wazirnya adalah
orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan al-Katib al-Isfahani. Sementara
itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian juga dikenal
sebagai penulis biografinya. Kekayaan Negara tidak digunakan untuk kepentingan
dirinya, tetapi dibagi-bagikan terutama kepada para prajurit dan pensiunan,
selain untuk membiayiai pembangunan. Dia hanya mewariskan empat puluh tujuh
dirham dan sebatang emas.
Setelah Shalahudin al-Ayyubi meninggal, daerah kekuaannya yang terbentang dari
sungai Tigris hingga sunagi Nil itu kemdian dibagi-bagikan kepada keturunannya.
Al- Malik al-Afdhal Ali, putera Shalahudin memperoleh kekuasaan untuk
memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, al-Malik al-Jahir berkuasa
di Aleppo (Halab) , dan al-Adil, adik Shalahudin, memperoleh kekuasaan di
al-Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al-‘Adil berhasil
menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk
Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-‘Adil yeng bergelar Saifuddin itu
mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni
Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan
kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman.
Sejak itu, sering terjadi konflik internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir
dengan Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah.
Kemudian al-Kamil Muhammad, putera al’Adil, yang menguasai Mesir ( 615 – 635 H/
1218 -1238 M) termasuk tokoh Bani Ayub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk
melindungi daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah
menaklukkan Dimyat, tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan
ayahnya. Tentara Salib memang nampaknya terus berusaha menaklukan Mesir dengan
bantuan Italia. Penaklukan Mesir menjadi sangat penting, karena dari negeri
itulah mereka akan dapat menguasai jalur perdagangan Samudera Hindia melalui
Laut Merah. Setelah hampir dua tahun (November 1219 hingga Agustus 1221 M)
terjadi konflik antara tentara salib dengan pasukan Mesir, tetapi al-Kamil
dapat memaksa tentara Salib untuk meningalkan Dimyati.
Di samping memberikan perhatian serius pada dalam bidang politik dan militer,
al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang memberikan perhatian
terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya yang cukup menonjol
ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan lahan pertanian serta
menjalin hubungan perdagangan dengan Eropa. Selain itu, ia juga dapat menjaga
kerukunan hidup beragama antar umat Islam dengan Kristen Koptik, dan bahkan
sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik.
Pada masa itu kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah tahun 1240 – 1249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nil ditaklukan kembali oleh tentara salib yang dipimpin oleh
Pada masa itu kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah tahun 1240 – 1249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nil ditaklukan kembali oleh tentara salib yang dipimpin oleh
Raja Louis
IX ari Perancis.Ketika pasukan Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil dalam
keadaan pasang, sehingga mereka menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat
dikalahkan oleh pasukan Ayyubiyah pada April 1250. Raja Louis IX dan beberapa
bangsawan Perancis ditawan, tetapi kemudian mereka dibebaskan kembali setelah
Dimyati dikembalikan ke tangan tentara muslim, disertai dengan sejumlah bahan
makanan sebagai bahan tebusan. Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik
al-Saleh meninggal dunia. Semula ia akan digantikan oleh putera mahkota,
Turansyah. Untuk itu, Turansyah dipanggil pulang dari Mesopotamia (Suriah)
untuk menerima tampuk kekuasaan ini. Untuk menghindari kevakuman kekuasaan,
sebelum Turansyah tiba di Mesir, ibu tirinya yaitu Sajaratuddur. Akan tetapi,
ketika Turansyah akan mengambil alih kekuasan ia mendapat tantangan dai para
Mamluk, hamba sahaya yang dimiliki tuannya, yang tidak menyenanginya. Belum
genap satu tahun turansyah berkuasa, ia kemudian dibunuh oleh para mamluk
tersebut atas perintah ibu tirinya, Sajaratuddur. Sejak saat itu, Sajaratddur
menyatakan dirinya sebagai Sultanah pertama di Mesir. Pada saat yang bersamaan,
seorang pemimpin Ayubiyah bernama al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyatakan
dirinya sebagai sultan Ayyubiyah meskipun hanya sebatas lambang saja tanpa
kedaulatan atau kekuasaan yang riel. Kekuasaan yang sebenarnya justeru berada
di tangan seorang mamluk bernama Izzuddin Aybak, pendiri dinasti Mamluk
(1250-1257 ) . Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M,
berakhirlah masa pemerintahan dinasti al-Ayubiyah, dan kekuasaan beralih ke
pemerintahan Dinasti Mamluk ( 1250-121517 M).
Selama lebih kurang 75 tahun dinasti Al-Ayyubiyah berkuasa, terdapat 9 orang
penguasa, yakni sebagai berikut:
- Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi(1171-1193 M)
- Malik Al-Aziz Imaduddin (1193-1198 M)
- Malik Al-Mansur Nasiruddin (1198-1200 M)
- Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
- Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
- Malik Al-Adil Sifuddin, pemerintahan II (1238-1240 M)
- Malik As-Saleh Najmuddin (1240-1249 M)
- Malik Al-Mu’azzam Turansyah (1249-1250 M)
- Malik Al-Asyraf Muzaffaruddin (1250-1252 M)
B. Politik dan Pendidikan Islam Dinasti Ayyubiyah
Keberhasilan
Shalahudin dalam perang Salib , membuat para tentara mengakuinya sebagai
pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir
tahun 1169 M. Ia tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan
oleh Dinasti Fatimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah
menjadi Sunni.
Penaklukan atas Mesir oleh Shalahudin pada 1171 M, membuka jalan politik bagi
pembentukan madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir. Madzhab Syafi’i tetap
bertahan di bawah pemerintahan Fatimiyah, sebaliknya Shalahudin memberlakukan
madzhab-madzhab Hanafi. Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya untuk
menjadi penguasa otonom di Mesir.
Sebelumnya, Shalahudin masih menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahudin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Dengan jatuhnya Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi madrasah sebagai penyebaran faham Syi’ah. Salah satu penyebaran faham Syi’ah pada saat itu adalah melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang menganut faham Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang memasukkan faham politik syi’ah ke lembaga pendidikan, Shalahudin kemudian mendirikan madrasah-madrasah sebagai pusat penyebaran faham Sunni. Selain itu, banyak pihak swasta yang mendirikan madrasah-madrasah dengan maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka mencari keridhaan Allah Swt. serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang tidak dapat disalurkan lewat mesjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau politik, yang semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan dalam masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Sebagai contoh adalah madrasah-madrasah berikut ini:Berbeda dengan kuttab dan mesjid, madrasah sudah mempunyai bangunan fisik tertentu seperti sekarang ini, yang bentuknya dirancang sesuai fungsinya untuk melanjutkan pendidikan mesjid. Bangunan madrasah tersebut meliputi tiga unit, yaitu; Unit madrasah, unit asrama, dan unit mesjid. Unit asarama dijadikan tempat murid-murid, guru-guru dan para pegawai madrasah sehingga membentuk keluarga besar, dengan demikian murid-murid dapat diberikan program-program belajar yang intensif dan membahas secara bersama-sama masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, keagamaan, kemasyarakatan, dan penghidupan.
Sebelumnya, Shalahudin masih menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahudin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Dengan jatuhnya Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi madrasah sebagai penyebaran faham Syi’ah. Salah satu penyebaran faham Syi’ah pada saat itu adalah melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang menganut faham Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang memasukkan faham politik syi’ah ke lembaga pendidikan, Shalahudin kemudian mendirikan madrasah-madrasah sebagai pusat penyebaran faham Sunni. Selain itu, banyak pihak swasta yang mendirikan madrasah-madrasah dengan maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka mencari keridhaan Allah Swt. serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang tidak dapat disalurkan lewat mesjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau politik, yang semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan dalam masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Sebagai contoh adalah madrasah-madrasah berikut ini:Berbeda dengan kuttab dan mesjid, madrasah sudah mempunyai bangunan fisik tertentu seperti sekarang ini, yang bentuknya dirancang sesuai fungsinya untuk melanjutkan pendidikan mesjid. Bangunan madrasah tersebut meliputi tiga unit, yaitu; Unit madrasah, unit asrama, dan unit mesjid. Unit asarama dijadikan tempat murid-murid, guru-guru dan para pegawai madrasah sehingga membentuk keluarga besar, dengan demikian murid-murid dapat diberikan program-program belajar yang intensif dan membahas secara bersama-sama masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, keagamaan, kemasyarakatan, dan penghidupan.
Tujuan pendidikannya selain untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agama
dan membentuk kader-kader yang mempunyai misi keagamaan dalam masyarakat, juga
untuk mencetak tenaga-tenaga yang kreatif yang ahli dalam bidangnya
masing-masing.
Perbedaan-perbedaan lainnya adalah madrasah sudah merupakan salah satu organisasi resmi Negara di mana dikeluarkan pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintahan. Pelajar-pelajar disitu juga resmi, dijalankan menurut peraturan-peraturan dan undang-undang, serupa yang dikenal selama ini. Segala sesuatu diatur seperti kehadiran dan kepulangan murid, program-program pelajaran, staf pengajar, perpustakaan dan gelar-gelar ilmiah. Di Mesir ketika itu hanya terdapat satu buah perguruan tinggi yaitu Universitas al-Azhar yang masih berdiri hingga sekarang.
Selain itu, di masa pemerintahan Shalahudin, ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam.
Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah kedudukan Shalahudin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.Sampai ia meninggal (1193 M) , Shalahudin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir.Selain hal di atas, aroma-aroma politik yang di jalankan pada masa Dinasti Ayyubiyah sampai juga di salah satu mesjid sekaligus madrasah ternama yakni al-Azhar. Disana disebarkan paham-paham Sunni yang semakin lama semakin menjamur.
Perbedaan-perbedaan lainnya adalah madrasah sudah merupakan salah satu organisasi resmi Negara di mana dikeluarkan pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintahan. Pelajar-pelajar disitu juga resmi, dijalankan menurut peraturan-peraturan dan undang-undang, serupa yang dikenal selama ini. Segala sesuatu diatur seperti kehadiran dan kepulangan murid, program-program pelajaran, staf pengajar, perpustakaan dan gelar-gelar ilmiah. Di Mesir ketika itu hanya terdapat satu buah perguruan tinggi yaitu Universitas al-Azhar yang masih berdiri hingga sekarang.
Selain itu, di masa pemerintahan Shalahudin, ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam.
Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah kedudukan Shalahudin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.Sampai ia meninggal (1193 M) , Shalahudin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir.Selain hal di atas, aroma-aroma politik yang di jalankan pada masa Dinasti Ayyubiyah sampai juga di salah satu mesjid sekaligus madrasah ternama yakni al-Azhar. Disana disebarkan paham-paham Sunni yang semakin lama semakin menjamur.
C.
Universitas Al-Azhar Pada Masa Dinasti Ayyubiyah
Segera setelah dinasti Fatimiyah runtuh (1171M) Shalahudin al-Ayyubi
meng-hapuskan dinasti tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya sebagai
penguasa baru atas Mesir, dengan nama dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini lebih berorientasi
ke Baghdad, yang Sunni.
Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Shalahudin berkuasa, ia mengeluarkan beberapa kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijakan itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar tidak boleh lagi dipergunakan untuk shalat Jum’at dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syi’ah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu mazhab Sunni.
Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukum-hukum mazhab Syafi’i. Di antaran fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan shalat Jum’at di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i tidak boleh ada dua khutbah Jum’at dalam satu kota yang sama.Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jum’at dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Shalahudin berkuasa sampai khutbah Jum’at dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.Meskipun begitu, penutupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari para penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan universitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al-‘Iz, al-Kulliyat al-‘Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al- Fadiliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah, dan al-kulliyat al- ‘Asuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya.Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian mereka yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut.Keadaan demikian tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik al-Aziz Imaduddin Usman, putra Shalahudin al-Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/589H. Beliau mengajar di al-Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi mantiq dan Bayan.Kedatangan al- Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din al- Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan.Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al- Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi dan sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir.Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran.dan penyebaran ajaran mazhab Sunni adalah al-Azhar.
Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Shalahudin berkuasa, ia mengeluarkan beberapa kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijakan itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar tidak boleh lagi dipergunakan untuk shalat Jum’at dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syi’ah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu mazhab Sunni.
Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukum-hukum mazhab Syafi’i. Di antaran fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan shalat Jum’at di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i tidak boleh ada dua khutbah Jum’at dalam satu kota yang sama.Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jum’at dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Shalahudin berkuasa sampai khutbah Jum’at dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.Meskipun begitu, penutupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari para penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan universitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al-‘Iz, al-Kulliyat al-‘Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al- Fadiliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah, dan al-kulliyat al- ‘Asuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya.Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian mereka yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut.Keadaan demikian tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik al-Aziz Imaduddin Usman, putra Shalahudin al-Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/589H. Beliau mengajar di al-Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi mantiq dan Bayan.Kedatangan al- Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din al- Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan.Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al- Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi dan sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir.Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran.dan penyebaran ajaran mazhab Sunni adalah al-Azhar.
Selain itu, masih banyak lagi perkembangan-perkembangan yang diciptakan pada
masa Dinasti Ayyubiyah ini dalam berbagai bidang, seperti dapat kita baca pada
pembahasan di bawah ini.
D. Kemajuan-keamajuan Pada Masa Dinasti Ayyubiyah
Sebagaimana
dinasti-dinasti sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan yang
gemilang dan mempunyai beberapa peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu
mencakup berbagai bidang, diantaranya adalah :
1. Bidang
Arsitektur dan Pendidikan
Penguasa
Ayyubiyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini
ditandai dengan dibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat
pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. Dibangunnya Dar
al Hadist al-Kamillah juga dibangun (1222 M) untuk mengajarkan pokok-pokok
hukum yang secara umum terdapat diberbagai madzhab hukum sunni. Sedangkan dalam
bidang arsitek dapat dilihat pada monumen Bangsa Arab, bangunan masjid di
Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.
Shalahuddin juga membangun benteng setelah menyadari bahwa ancaman pasukan
salib akan terus menghantui, maka tugas utama dia adalah mengamankan Kairo dan
sekitarnya (Fustat). Penasihat militernya saat itu mengatakan bahwa Kairo dan
Fustat masing-masing membutuhkan benteng pertahanan, tapi Shalahuddin memiliki
ide brilian, bahwa dia akan membangun benteng strategis yang melindungi secara
total kotanya. Selanjutnya, dia memerintahkan untuk membangun benteng kokoh dan
besar diatas bukit Muqattam yang melindungi dua kota sekaligus Kairo dan
Fustat. Proyek besar Citadel dimulai pada 1176 M dibawah Amir Bahauddin
Qaraqush. Shalahuddin juga membangun dinding yang memagari Kairo sebagai kota
residen bani Fatimiyyah, sekaligus juga memagari benteng kebesarannya serta
Qata’i-al Fustat yang saat itu merupakan pusat ekonomi Kairo terbesar.
2. Bidang Filsafat dan Keilmuan
2. Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti
konkritnya adalah Adelasd of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang
Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang
kedokteran ini telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat
pikiran.
3. Bidang
Industri
Kemajuan di
bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih
canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan
pabrik gelas.
4. Bidang Perdagangan
4. Bidang Perdagangan
Bidang ini
membawa pengaruh bagi Eropa dan negara–negara yang dikuasai Ayyubiyah. Di Eropa
terdapat perdagangan agriculture dan industri.
Hal ini
menimbulkan perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu Dunia
ekonomi dan perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter
of Credit (LC), bahkan ketika itu sudah ada uang yang terbuat dari emas.
5. Bidang
Militer
Selain
memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga
memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping
itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang
industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
- A. Asal Mula Berdirinya Dinasti Murabithun dan Muwahhidun
- 1. Dinasti Murabithun
Murabithun atau Al-Murawiyah
(448-541/1056-1147), merupakan salah satu Dinasti Islam yang berkuasa di
Maghrib. Nama Al-Murabithun berkaitan dengan nama tempat tinggal mereka (ribath).[1]
Murabithun (ribath) sejenis benteng pertahanan Islam yang berada di
sekitar masjid. Masjid mempunyai multifungsi sebagai tempat ibadah, penyebaran
dakwah sekaligus sebagai benteng pertahanan. Anggota pertamanya berasal dari
Lamtuna bagian dari suku Sanhaja yang suka mengembara di padang Sahara.[2] Salah satu
kebiasaan mereka menggunakan cadar yang menutupi wajah di bawah mata, kebiasaan
ini dinamakan Mulatstsamun (para pemakai cadar) yang
kadang-kadang menjadi sebutan lain bagi kaum Murabithun.
Ibu kota al-Murabithun ialah
Marakesy yang didirikan oleh pemimpin mereka yang kedua, Yusuf ibn Tasyfin,
454/ 1062. Mereka juga berjasa mengIslamkan penduduk pantai barat Afrika, dan
melintasi Sahara hingga ke Sudan di timur benua Afrika itu. Mereka mengakui khilafah
Abbasiyah dan menganut mazhab Maliki yang tersebar luas di Afrika Utara.
Akhirnya, al-Murabithun ditundukkan oleh al-Muwahhidun yang telah menguat di
Afrika Utara.[3]
Pada abad ke sebelas pemimpin
Sanhaja, Yahya bin Ibrahim, melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Dan
sekembalinya dari Arabia, ia mengundang Abdullah bin Yasin seorang alim
terkenal di Maroko, untuk membina kaumnya dengan keagamaan yang baik, kemudian
beliau dibantu oleh Yahya bin Umar dan saudaranya Abu Bakar bin Umar.
Perkumpulan ini berkembang dengan cepat, sehingga dapat menghimpun sekitar 1000
orang pengikut.
Di bawah pimpinan Abdullah bin Yasin
dan komando militer Yahya bin Umar mereka berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya sampai ke Wadi Dara, dan kerajaan Sijil Mast yang dikuasai oleh
Mas’ud bin Wanuddin. Ketika Yahya bin Umar meninggal dunia, jabatannya diganti
oleh saudaranya, Abu Bakar bin Umar, kemudian ia menaklukkan daerah Sahara Maroko.
Setelah diadakan penyerangan ke Maroko tengah dan selatan selanjutnya menyerang
suku Barghawata yang menganut paham bid’ah. Dalam penyerangan ini Abdullah bin
Yasin wafat (1059 M). Sejak saat itu Abu Bakar memegang kekuasaan secara penuh
dan ia berhasil mengembangkannya.
Abu Bakar berhasil menaklukkan
daerah Utara Atlas Tinggi dan akhirnya dapat menduduki daerah Marakesy
(Maroko). Kemudian ia mendapat berita bahwa Buluguan, Raja Kala dari Bani
Hammad mengadakan penyerangan ke Maghrib dengan melibatkan kaum Sanhaja.
Mendengar berita itu ia kembali ke Sanhaja untuk menegakkan perdamaian. Setelah
berhasil memadamkan, ia menyerahkan kekuasaanya kepada Yusuf bin Tasyfin pada
tahun 1061.
Pada tahun 1062 M, Yusuf bin Tasyfin
mendirikan ibu kota di Maroko. Dia berhasil menaklukkan Fez (1070 M) dan
Tangier (1078 M). Pada tahun 1080-1082 M, ia berhasil meluaskan wilayah sampai
ke Al-Jazair. Dia mengangkat para pejabat Al-Murabithun untuk menduduki jabatan
Gubernur pada wilayah taklukannya, sementara ia memerintah di Maroko. Yusuf bin
Tasfin meninggalkan Afrika pada tahun 1086 M dan memperoleh kemenangan besar
atas Alfonso VI (Raja Castile Leon), dan Yusuf bin Tasfin mendapat dukungan
dari Muluk At-Thawa’if dalam pertempuran di Zallaqah. Ketika Yusuf bin Tasfin
meninggal dunia, ia mewariskan kepada anaknya, Abu Yusuf bin Tasyfin. Warisan
itu berupa kerajaan yang luas dan besar terdiri dari negeri-negeri Maghrib,
bagian Afrika dan Spanyol. Ali ibn Yusuf melanjutkan politik pendahulunya dan
berhasil mengalahkan anak Alfonso VI (1108 M). Kemudian ia ke Andalusia
merampas Talavera Dela Rein.
Lambat laun Dinasti Al- Murabithun
mengalami kemunduran dalam memperluas wilayah. Kemudian Ali mengalami kekalahan
pertempuran di Cuhera (1129 M). kemudian ia mengangkat anaknya Tasyfin bin Ali
menjadi Gubernur Granada dan Almeria. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
menguatkan moral kaum Murabithun untuk mempertahankan serangan dari raja
Alfonso VII. Masa terakhir Dinasti Al-Murabithun tatkala dikalahkan oleh
Dinasti Muwahhidun yang dipimpin oleh Abdul Mun’im. Dinasti Muwahhidun
menaklukkan Maroko pada tahun 1146-1147 M yang ditandai dengan terbunuhnya
penguasa Al-Murabithun yang terakhir, Ishak bin Ali.
Dinasti Al- Murabithun memegang
kekuasan selama 90 tahun, dengan enam orang penguasa yaitu: Abu Bakar
bin Umar, Yusuf bin Tasyfin, Ali bin Yusuf, Tasyfin bin Ali, Ibrahim bin
Tasfin, Ishak bin Ali. Penguasa-penguasa di Afrika Utara ini menjadi
pendukung para penulis, filosofis, para penyair, dan arsitektur bangsa Spanyol.
Masjid agung di Themsen dibangun tahun 1136. Memperbaiki masjid Qairuwan
menurut desain Spanyol, dan membangun kota Maroko menjadi ibu kota kerajaan dan
pusat keagamaan. Daulah Murabithun inilah yang pertama membuat dinar memakai
huruf Arab dengan tulisan Amirul Mukminin dibagian depan mencontoh uang
Abbasiyah dan bertuliskan kalimat iman dibagian belakang. Pembuatan uang ini
dicontoh oleh Alfonso VIII dengan kalimat Amir al-Qatuliqun
(Pemimpin Katolik) di bagian depan dan Amam al-Bi’ah Almasihiyah
(pemimpin gereja Kristen) pada bagian belakang.[4]
- 2. Dinasti Muwahhidun
Sama halnya dengan dinasti Murabithun yang
memulai propagandanya dibidang keagamaan. Atau setidak-tidaknya menjadikan
agama sebagai dasar gerakan tersebut. Pelopor dan sekaligus sebagai pendiri
adalah Muhammad ibn Tumart yang lahir di Atlas tahun 1082 M.[5] Dia berasal
dari suku Masmudah pegunungan Atlas Maroko. Dia merupakan seorang pengelana
yang haus ilmu pengetahuan. Dia belajar dari satu tempat ke tempat lain, mulai
dari Cordoba, Alexandaria, Mekkah dan akhirnya di Baghdad.
Setelah kembali dari perantauannya
di Maroko, Ibn Tumart mulai mengadakan propaganda pembaruan terhadap tradisi
Islam yang dogmatis kepada pentauhidan yang murni dan tegas. Sebutan yang
diberikan kepada pengikutnya adalah al-Muwahhidun yang berarti Penegak KeEsaan
Tuhan. Dalam bidang teologi ia berpaham al Asy‘ariyah,
sedangkan dalam bidang tasawuf ia memilih paham yang dikembangkan oleh
imam al-Ghazali, dan bidang Fiqh dia menganut madzhab Maliki. Ibn Tumart sangat
keras dan terkadang kasar dalam menanamkan moral dan kepercayaan agama, ia
pernah memukul saudara perempuan dari gubernur dinasti Murabithun di kota Fez
karena tidak mengenakan kerudung.
Gerakan Muwahhidun semakin
lama semakin banyak pengikutnya di Aghmat. Ibn Tumart berhasil memikat suku
Barber Atlas. Suku itu sebelumya sudah memeluk agama Islam tapi sangat minim
pengetahuan terhadap Islam. Dari gerakan keagamaan kemudian berubah menjadi
gerakan politik, dan para pengikutnya menyebutnya sebagai Imam Mahdi. Gerakan
ini semakin sukses karena dibantu oleh Abdul Muin, orang yang ahli dalam hal
strategi dan militer. Di kota Tin Malal (Tinmal) mendirikan masjid sebagai
pusat pengajaran dan propagannya, dan di kota ini pada tahun 1121 M dijadikan
sebagai ibu kota pertama al Muwahhidun.[6]
Setelah Ibn Tumart meninggal dunia
tahun 1130 gerakan ini dipimpin oleh Abdul Mu’min yang kemudian menggunakan
gelar khalifah bagi dirinya. Dia berhasil menaklukan, mengusai
kerajaan Hammiyah di Bejaya, Ziridiyah di
Ifriqiyah, Teluk Sidra, dinasti Murabithun dan ibu kotanya
Marrakesh (Maroko) Afrika Utara pada tahun 1147, Padang Pasir Libya 1149. Pada
tahun 1170 dia melakukan ekspansi ke Spanyol dan berhasil menguasainya.
Kemudian dia menjadikan Sevillle sebagai ibu kota Dinasti Muwahhidun.
- B. Perkembangan yang Dicapai oleh Dinasti Murabithun dan Muwahhidun di Andalusia.
- 1. Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Murabithun
- Kemajuan
Dinasti Murabithun memegang
kekuasaan selama 90 tahun dengan enam orang penguasa yang telah disebutkan
di atas. Murabithun memegang peran penting mempersatukan bangsa Barber
dalam satu kesatuan. Dinasti Murabithun banyak mengalami kemajuan di bidang
ilmu pengetahuan arsitektur bangunan masjid.
Dinasti inilah yang pertama membuat
dinar memakai huruf Arab dengan tulisan Amir al-Mu’minin dibagian depan
mencontoh uang Abbasiyah dan bertuliskan kalimat iman di bagian belakang.
Terkait dengan ekonomi, di bawah
kekuasaan Yusuf ibn Tasyfin berkembang dengan pesat. Ia dapat mengumpulkan
penghasilan untuk negara sebesar 120.000 pound emas. Ia juga menghapus pajak
karena tidak ada perintah dalam Al-Qur’an, dan kehidupan amat murah dan
bersahaja sedang masyarakat menikmati kedamaian. Kehadiran agama Kristen dan
Yahudi sedikit sulit namun mereka menikmati kebebasan beragama, tapi tidak
boleh mendirikan gereja atau sinagong. Kebebasan berpikir pada zamannya
dihalang-halangi, mereka menentang teologi dan sufisme. Dinasti Murabithun
merupakan dinasti Sunni dengan mazdhab hukumnya Maliki. Namun dalam soal
dekorasi bentuk puisi populer dan lagu berkembang.[7]
- Kemunduran
Dinasti Murabithun mengalami
kemunduran dan kehancuran pada tahun 541 H/ 1147 M. Sebab-sebab kehancuran
mulai terasa ketika Ali, anak Yusuf menduduki jabatan Amir, karena tidak
secakap ayahnya ia banyak menggunakan waktunya untuk beribadah, didominasi
istrinya. Hal ini membuat masyarakat tidak bergembira, bangsawan berebut
kekuasaan, tentaranya ceroboh, orang kaya Barber mengikuti jalan setan.[8]
Adapun secara terperinci, diantara
faktor-faktor penyebab runtuhnya pemerintahan dinasti Murabithun adalah:
1)
Lemahnya disiplin tentara dan merajalelanya korupsi yang melahirkan
disintegrasi.
2)
Berubahnya watak keras pembawaan Barber menjadi lemah ketika memasuki kehidupan
Maroko di Andalusia yang mewah.
3)
Mereka memasuki Andalusia ketika kecemerlangan intelektual kalangan Arab telah
mengganti kesenangan berperang.
4)
Kontak dengan peradaban sedang menurun dan tidak siap mengadakan asimilasi.
5)
Dikalahkan oleh dinasti dari rumpun keluarganya sendiri, yaitu al-Muwahhidun.
Sedangkan menurut Abdul Hamid,
sebagaimana yang dikutip oleh Taufiqurrahman, kehancuran Murabithun disebabkan
juga diantaranya karena: 1) Ketidaksukaan sekelompok kalangan terdidik dari
Andalusia terhadap pemerintahan Murabithun yang dianggap keras, bodoh, tidak
bisa memahami sastra budaya, menolak filsafat dan kalam dan hanya mengagungkan
fiqih dan tafsir. Sifat inilah yang menyulut kebencian orang-orang Andalusia;
2) Murabithun tidak bisa mempertahankan sikap keberanian, kekuatan, dan
kefanatikan pada agama. Hal ini dapat dilihat setelah 20 tahun menguasai
Andalusia mereka menjadi pemalas, pemabuk, pemuas hawa nafsu, perampok dan
pencuri dan penguasanya bergelimang dengan kecantikan wanita.[9]
- 2. Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Muwahhidun
- a. Kemajuan
Pada masa Muwahhidun, Spanyol
mencapai puncak kejayaannya, terutama pada Zaman Mu’min, perkembangan peradaban
Islam, terutama pengembangan ilmu politik dan ekonomi.[10]
1)
Dalam Bidang politik, dinasti Muwahhidun telah mampu menguasai wilayah
kepulauan Atlantik sampai ke daerah teluk Gebes di Mesir dan Andalusia.
2)
Dalam bidang ekonomi, dinasti Muwahhidun telah berhasil menjalin hubungan
perdagangan dengan beberapa daerah di Italia, seperti perjanjian perdagangan
dengan Pisa pada tahun 1154 M, Marseie, Voince, dan Sycilia pada tahun
1157 M yang berisi ketentuan tentang perdagangan, izin mendirikan gudang,
kantor, loji dan bentuk-bentuk pemungutan pajak.
3)
Dalam bidang arsitektur, dinasti Muwahhidun banyak menghasilkan karya-karya
dalam bentuk monumen, seperti Giralda, menara pada masjid Jami’ Sevilla, Bab
Aquwnaou, dan Al-Kutubiyah, menara yang sangat megah di Marakiyah serta menara
Hasan di Rabbath.
4)
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, banyak ilmuwan yang muncul pada
masa dinasti Muwahhidun ini terutama pada masa kepemimpinan Abdul Mu’min dan
Abu Yakub Yusuf adalah sebagai berikut :
a)
Ibrahim bin Malik bin Mulkun adalah seorang pakar al-Qur’an dan ilmu Nahwu.
b)
Al-Hafidz Abu Bakrbin al-Jad seorang ahli fikih, dan Ibnu al-Zuhr ahli
kedokteran.
c) Ibn
Bajjah (533H/1139 M), seorang filosof dengan karyanya The Rule of Solitary. Ia
juga ahli di bidang musik yang disebut Avenpace atau Abenpace.
d) Ibnu
Thufail (581 H/1105-1185 M), seorang filosof dengan karyanya Hayy bin Yaqzhan.
Ia juga dikenal sebagai seorang dokter, ahli geografi dan juga dianggap sebagai
penyair Andalusia atau yang dikenal dengan nama Al-Andalusi, Al-Kurtubi, atau
Al-Isibily.
e)
Ibnu Rusyd (1126-1198 M), ia adalah seorang filosof, dokter, ahli matematika,
fikih, ahli hukum, ahli astronomi atau dikenal dengan sebutan Averrous/
Averroisme di Barat.
1.
b.
Kemunduran
Setelah mengalami kekalahan selama
satu abad (113-1169 M), Dinasti Muwahhidun mengalami kemunduran dan akhirnya
hancur. Kemunduran ini terasa setelah an-Nashir wafat yang selanjutnya dipimpin
oleh pimpinan yang lemah. Adapun faktor kemunduran dinasti Muwahhidun ini
disebabkan oleh:[11]
1)
Perebutan tahta dikalangan keluarga.
2)
Melemahnya kontrol terhadap penguasa daerah.
3)
Mengendurnya tradisi disiplin.
4)
Memudarnya keyakinan akan keagungan misi al-Mahdi bin Tumart, bahkan namanya
tidak disebut lagi dalam dokumen Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar