A.
Pengertian
Perbandingan mazhab dalam bahasa
arab disebut muqaranah al-mazahib Kata muqaranah [1] menurut
bahasa, berasal dari kata kerja qarana-yukarinu muqaranatun yang mempunyai arti
mengumpulkan, membandingkan, dan menghimpun. Sedangkan muqaranah mazhab sendiri
adalah mengumpulkan pendapat para imam mujtahid dengan dalil-dalilnya tentang
suatu masalah yang diperselisihkan padanya, kemudian membandingkan dalil-dalil
itu satu sama lainnya, agar nampak setelah dimunaqasyahkan pendapat mana yang
terkuat dalilnya. Jadi muqaranah mazhab adalah ilmu pengetahuan yang membahas
pendapat-pendapat fuqaha’ (mujtahidin) beserta dalil-dalilnya mengenai berbagai
masalah, baik yang disepakati, maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan
dalil masing-masing yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang
dikemukakan oleh Mujtahidin untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya.
Dikalangan umat islam ada empat
mazhab yang paling terkenal, Mazhab Hanafi (80 – 150 H), Mazhab Maliki (93 –
179 H), Mazhab Syafi’I (150 – 204 H), dan Mazhab Hambali (164 – 241 H).
Adapun
bahasan objek ilmu perbandingan mazhab adalah membandingkan,
baik permasalahannya, maupun dalil-dalilnya. Sedangkan yang menjadi sasaran
permasalahannya atau ruang lingkup bahasannya adalah sebagai berikut:
1.
Hukum-hukum
amaliyah, baik yang disepakati, maupun yang masih
diperselisihkan
antara para mujtahid, dengan membahas cara berijtihad mereka dan sumber-sumber
hukum yang dijadikan dasar oleh mereka dalam menetapkan hukum.
2.
Dalil-dalil
yang dijadikan dasar oleh para mujtahid, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah,
atau dalil-dalil lain yang diakui oleh syara’.
3.
Hukum-hukum
yang berlaku di Negara tempat Muqarin hidup, baik hukum nasional maupun hukum
positif, maupun hukum internasional. Dari sedikit pembahasan tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa masalah muqaranah mazahib [2] (perbandingan mazhab) bukanlah masalah yang mudah, karena disamping harus mengetahui dalil-dalil yang dipedomani mujtahidin juga harus mengetahui
cara mereka mengistinbath hukum.
Kalau kita
memperhatiakn metode penulisan fikih islam semenjak dahulu sampai hari ini ada
beberapa metode dan diantaranya:
1. Metode Fikih
Mazhab. Yang dimaksudkan dengan metode fikih mazhab ini dimana
para fukaha dalam menghimpunkan dan menulis fikih hanya terbatas pada satu
mazhab saja, tidak menyinggung pendapat dalam mazhab yang lain. Metode penulisan yang seperti ini dapat dillihat dalam “Al Um” yang ditulis
oleh Imam Syafei, yang merupakan pandangan-pandangan beliau dalam masalah
fikih.
2. Metode
Mazahib. Dalam metode ini para fukaha bukan saja menulis
berdasar pandangan satu mazhab saja, namun mereka kemukakan juga
pendapat-pendapat dari mazhab yang lainnya, namun dalam mengemukakan pendapat
itu tidak disinggung-singgung dalil dimana pendapat itu terambil. Sebagai
contoh penulisan fikih dalam metode ini dapat dilihat dalam “Kitab Al Fiqhi
Alal Mazahibil Arbaah” oleh Abdul Wahab Khalaf, dan “Kitabul Fiqhi Alal
Mazahibil Arbaah” oleh Abdurahman Al Jariry.
3. Metode
Muqaratul Mazahib. dalam metode ini para fukaha berusaha untuk mencari
masalah yang diperselisihkan para fukaha, dan dalam mengemukakan
pendapat-pendapat dari berbagai mazhab diikuti dengan sandaran dari
pendapat-pendapat itu, kemudian dikemukakan pula kritik dari pendapat-pandapat
lain, dengan demikian barulah nyata pendapat yang terkuat dalilnya. Metode ini
dapat dilihat dalam kitab “Muqaranatul Mazahib Fil Fiqhi” oleh Mahmud Muhammad
Syaltut dan Muhammad Ali Sais, dan kitab “Mujaz Fil Fiqhil Islamy Al Muqarin”
oleh Abdus Sami Ahmad Imam dan Muhammad Abdul Latif Syafe’i.
C. Kewajiban
Muqarin (Pelaku Muqaranah Mazahib)
Melakukan muqaranah terhadap ijtihad
atau pendapat para imam mazhab adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah, oleh
sebab itu tidak semua orang dapat melakukannya, karena studi perbandingan ini
akan menentukan sikap setelah menilai pendapat setiap mazhabnya, [4]
untuk mengambil pandapat mana yang lebih relevan dan lebih kuat argumentasinya.
Tugas ini menghendaki agar si muqarin itu hendaklah memiliki ilmu pengetahuan
yang luas dan pandangan yang obyektif disertai pengambilan pendapat mazhab yang
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan atas kebenaran pendapat itu kepada
mazhab yang diperbandingkan.
Disamping itu juga perlu didasari
oleh sikap toleransi dan obyektivitas serta kesadaran akan tanggung jawabnya.
Karena itu, seorang muqarin harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Memiliki
sifat teliti dalam mengambil mazhab dari kitab-kitab fiqih mu’tabar dan
benar-benar dikenal, bahwa pendapat itu memang benar pendapat ashhab
al-mazahib. Kemudian hendaknya mengambil dari pendapat mazhab tersebut yang
terkuat dalilnya dan tidak mengambil yang lemah dalilnya supaya mudah
menolaknya.
2.
Mengambil
dan memililh dalil-dalil yang terkuat dari setiap mazhab serta tidak membatasi
diri pada dalil yang lemah dalam menyelesaikan suatu masalah.
3.
Memiliki
pengetahuan tentang ushul dan qaidah yang dijadikan dasar oleh setiap mazhab
dalam mengambil dan menentukan hukum (thuruq al-istinbath). Hal ini perlu, agar
ia mengetahui betul latar belakang pandangan mereka dalam menentukan hukum dari
dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh mazhab yang akan dibandingkan itu.
4.
Mengetahui
pendapat-pendapat ulama yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih disertai
dalil-dalilnya dan harus pula mengetahui cara-cara mereka beristidlal dan
dalil-dalil yang mereka jadikan pegangan.
5.
Hendaklah
muqarin setelah mendiskusikan pendapat mazhab-mazhab tersebut dengan
dalil-dalilnya yang terkuat, mentarjih salah satunya secara obyektif, tanpa
dipengaruhi oleh pendapat mazhabnya yang sudah terbiasa dia pegang (anut). Ini
dimaksudkan, agar kesimpulan yang diambilnya itu benar-benar adil, tanpa
dipengaruhi apapun, selain demi kebenaran dan keadilan semata.
Adapun
tujuan dan manfaat mempelajari perbandingan mazhab antara lain sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
pendapat-pendapat para imam mazhab (para imam mujtahid) dalam berbagai masalah
yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan-alasan yang
dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara-cara istinbath hukum dari
dalilnya oleh mereka. Dengan mempelajari dalil-dalil yang digunakan oleh para
imam mazhab tersebut dalam menetapkan hukum, orang yang melakukan studi
perbandingan mazhab [6]
akan mendapatkan keuntungan ilmu pengetahuan secara sadar dan meyakinkan akan
ajaran agamanya, dan akan memperoleh hujjah yang jelas dalam melaksanakan
ajaran agamanya, sehingga ia tergolong kedalam kelompok orang yang disebut
dalam al-Quran surat yusuf ayat108 sebagai berikut:
Artinya :
“inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci
Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (Q.S Yusuf: 108).
2.
Untuk
mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan setiap imam mazhab
(imam mujtahid) dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalilnya, dimana setiap
imam mujtahid tersebut tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil
Al-Quran atau As-Sunnah. Sebagai hasil dari cara ini, orang yang melakukan
studi tersebut, akan menjadi orang yang benar-benar menghormati semua imam
mazhab tanpa membedakan satu dengan lainnya, karena pandangan dan dalil yang
dikemukakan masing-masing pada hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan
ijtihad. Maka sepantasnyalah orang yang mengikuti (bertaklid) kepada salah satu
imam mazhab itu mengikuti pula jejak dan petunjuk imamnya dalam menghormati
imam lain.
3.
Dengan
memperhatikan landasan berpikir para imam mazhab, orang yang melakukan studi
perbandingan mazhab dapat mengetahui, bahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya
tidak keluar dari nushush al-Quran dan sunnah dengan perbedaan interpretasi,
atau mereka mengambil qiyas, maslahah mursalah, istishab, atau prinsip-prinsip
umum dalam nash-nash syari’at islam dalam menyelesaikan persoalan yang ada
dalam masyarakat, baik ibadah maupun mu’amalah, yang dalil-dalil ijtihad itupun
digali dari nash-nash al-Quran dan sunnah rasul.dengan demikian orang yang
melakukan studi perbandingan mazhab tersebut akan memahami, bahwa perbuatan dan
amalan sehari-hari dari pengikut mazhab lain itu, bukan diatur oleh hukum di
luar islam, karena itu mereka tidak mengkafirkannya. Disamping itu, mereka akan
mengetahui bahwa tidak benar-benar bahwa anggapan sebagian orang yang
mengatakan, bahwa apa yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih itu, seluruhnya
hanya berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Timbulnya anggapan semacam ini adalah
akibat kurangnya pengetahuan dan penghayatan terhadap prinsip-prinsip syariat
islam.padahal, sebenarnya diantara isi kitab-kitab fiqih itu ada yang sudah
tidak relevan dengan kondisi dimana kita hidup dewasa ini. Selain itu, jika
diperhatikan dan dipelajari secara teliti dan mendalam, akan didapatkan suatu
pengertian dan pengetahuan, bahwa kebanyakan isi kitab fiqih itu adalah masalah
ijtihadyah sebagai hasil pemahaman ulama terhadap nash-nash al-Quran dan
sunnah.
E. Hukum
Mengamalkan Hasil Perbandingan Mazhab (Muqaranah Mazahib)
Hukum melakukan studi perbandingan
mazhab [7]
untuk mendapatkan dalil yang terkuat dan mengamalkan hasilnya adalah wajib.
Meskipun sebagian ulama muta’akhirin berpendapat, bahwa mengamalkan hasil
muqaranah akan mengakibatkan perpindahan mazhab atau talfiq dan tidak
dibenarkan. Pendapat itu dianggap lemah, karena tidak berdasarkan dalil yang
kuat. al-Quran dan as-Sunnah tidak melarang untuk pindah mazhab atau talfiq.
Hasil studi perbandingan yang baik
adalah mengamalkan apa yang menurut muqarin paling kuat dalilnya, baik bagi
sisi muqarin sendiri, maupun bagi orang yang melakukan studi perbandingan, atau
yang sedang meneliti dalil-dalil yang terkuat untuk masalah tertentu.
Hukum yang didapat dari hasil
perbandingan itu adalah merupakan hasil penelitian obyektif dan terkuat
dalilnya, oleh sebab itu wajib mengamalkannya. Akan tetapi islam tidak
mewajibkan umatnya untuk bertaklid dan mengikat diri pada pendapat suatu
mazhab, melainkan memerintahkan untuk mengikuti hukum-hukum yang diambil dari
sumbernya yang kuat.
F. RUANG
LINGKUP BAHASAN MUQARANAH AL-MAZHAB
Karena bidang garapan ilmu ini
menyangkut perbandingan ushul fiqih, [8] maka ruang
lingkup bahasannya memfokuskan daripada dasar-dasar atau landasan yang
digunakan oleh berbagai mazhab dalam melakukan istinbat hukum.
Sebagai telah disinggung, di muka,
bahwa dari mazhab-mazhab hukum yang berkembang dan dianut oleh masyarakat
islam, ternyata mereka mempunyai cara-cara yang berbeda dalam melakukan
istinbat hukum.
Perbedaaan istinbat ini meliputi berbagai segi, seperti
sistem istinbat dan sistematika sumber yang digunakan, posisi Al-Qur’an dan
Sunnah sebagai sumber dan dalalahnya, pemahaman tentang lafaz nash dan
karakteristiknya, penggunaan dalil selain nash - Al-Qur’an Sunnah dan
kedudukannya dalam istinbat hukum, maslahah mursalah dan tarjih serta ta’wil.
Kesemua unsur yang disebabkan ini
dapat disebut dengan Ushul Mazahib Fil Istinbat Al-Ahkam (pokok-pokok pegangan
mazhab-mazhab dalam istinbat hukum).
Hasbi Ash
Shidqi,[9]
dalam bukunya, Pokok-Pokok Pegangan
Imam-imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam. Telah menceritakan dengan
panjang lebar, tentang sistem istinbat berbagai mazhab hukum serta perbedaan
satu sama lainnya. Demikian pula Muhammad Ali as-Sayis,[10]
telah menguraikan secara detail corak dan perbedaan metode berbagai mazhab
dalam melakukan istinbat hukum.
Dengan kata lain, ruang lingkup
bahasan Muqaranah Mazahib Fil Ushul adalah
menyangkut aspek metodologi atau cara-cara yang ditempuh oleh berbagai mazhab
dalam mengistinbatkan hukum serta perbedaan-perbedaan satu sama lainnya.
[6] Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqh. Diterjemahkan
oleh Ismuha, Jakarta;
Bulan Bintang, 1978 Hal. 10.
[9] Hasbi Ash
Shidqi, menguraikan dalam bukunya berbagai bentuk cara istinbat hukum dan
sistematika sumber dalil dari mazhab-mazhab hukum serta perbedaan satu sama
lainnya, perbedaan cara pemahaman nash, dan pengaruhnya pada
ketentuan-ketentuan yang dihasilkan. Buku dengan judul Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam membina Hukum Islam, ini
terdiri dari dua jilid, untuk pertama kalinya diterbitkan oleh PT. Bulan
Bintang. Jakarta, 1973.
[10] Lebih
lanjut dalam Ali as-Sayis, Tarikh al-Fiqh
al-Islami, Kairo; Maktabah Wa Matba’ Muhammad Ali-Sabih Wa Auladuh, t.t.
Halaman 91-110.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar